Ust. Benni Setiawan

Semarak Idul Fitri di Indonesia terus berdenyut. Salah satu bentuknya adalah acara syawalan. Syawalan merupakan kearifan lokal (local genius) masyarakat Indonesia. Syawalan menjadi sarana bertemu, berkumpul, dan bersukacita antar anggota keluarga. Acara ini biasanya dihelat saat bulan syawal, sebagai penanda kerekatan dan kelanjutan acara Idul Fitri. Syawalan mempunyai makna positif. Apalagi saat ini bangsa Indonesia sedang menghadapi sebuah masalah. Salah satunya adalah pandemi Covid-19 yang belum kunjung berakhir. Syawalan menjadi sarana bertemu (walaupun secara virtual) dengan tetangga, sanak saudara, handai taulan, yang lama tidak bersua dalam dialog kebahagiaan. Covid-19 “telah memisahkan” jarak antar manusia. Syawalan merekat dalam bingkai pemanusiaan yang hangat dan penuh makna.

Syawalan merentang kalimah sawa’ (kata sepakat) (QS. Ali Imran, 64). Semua mengaku salah dan saling memohon maaf, baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Sebuah ucapan tulus yang mungkin hanya bisa hadir di tengah perayaan Idul Fitri. Laku itu sesuai dengan perintah Allah dalam Surat Ali Imran, 3: 134. “(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan”.

Spirit memaafkan membuat seseorang terhormat. Tidak ada yang merasa kalah dan terkalahkan. Inilah sikap hidup bermartabat. Manusia akan mampu menjadi teladan. Manusia pun kukuh sebagai teladan kepemimpinan (QS, Al-Baqarah, 30). Amanat Kepemimpinan perlu dirawat dengan cara yang beradab. Hal ini dikarenakan memimpin bukan perkara yang mudah. Memimpin berarti mampu mempertanggungjawabkan semua pekerjaan kepada bangsa Indonesia dan Tuhan. Aspek inilah yang sepertinya perlu terus ada dalam jiwa bangsa Indonesia.

Jiwa kepemimpinan, merawat kemanusiaan, dan rasa keadaban telah diasah melalui momentum puasa Ramadan. Puasa Ramadan mengajarkan kepada kita untuk selalu berbagi dan merasa. Berbagi penderitaan dan merasa bahwa kehadiran kita perlu bermanfaat bagi orang lain. Pasalnya, hidup ini bukan untuk diri sendiri. Hidup adalah untuk menebarkan kemanfaatan bagi makhluk hidup yang lain.

Pribadi Lumrah
Lebih lanjut, Syawalan menjadi momentum tepat untuk mengubur permusuhan. Hal ini dikarenakan syawalan mendorong setiap insan untuk mengakui sebagai pribadi lumrah, pribadi biasa yang pasti melakukan kesalahan dan memikul dosa. Pribadi lumrah merupakan fitrah kemanusiaan manusia. Manusia sebagai makhluk lemah yang pasti bergelimang salah dan dosa. Saat syawalan semua mengakui itu. Manusia kembali kepada fitrah kemanusiaan sebagai makhluk pemaaf. Pasalnya Tuhan adalah Dzat Yang Maha Pemaaf. Saat Tuhan saja Maha Pemaaf, maka manusia juga selayaknya mudah memaafkan kesalahan orang lain.

Maaf tentu merupakan sebuah ungkapan jiwa yang hebat. Maaf tidak hanya sekadar ucapan lisan. Namun, perlu mewujud dalam tindakan. Seseorang yang memaafkan berarti menghapus segala kenangan buruk yang telah orang lain dilakukan. Seorang pemaaf dengan demikian sudah melupakan dan menghapus semuanya dalam ingatan dan hati. Saat itu bisa dilakukan oleh manusia, maka kehidupan akan bermartabat. Manusia akan mudah bergandengan tangan tanpa membedakan latar belakang.

Pribadi Pemaaf
Bangsa Indonesia tidak akan lagi dipenuhi oleh permusuhan. Pasalnya, pribadi pemaaf bertemu dalam syawalan, berkumpul dalam bingkai keadaban. Mereka tidak sekadar bertemu dalam sebuah pertemuan di ruangan atau tempat tertentu. Mereka telah mendialogkan diri dalam ruang publik yang bermartabat. Ruang publik itulah yang kemudian mewujud menjadi tatanan masyarakat beradab (baldatun thoyyibatun wa rabbun ghofur). Sebuah tatanan masyarakat yang saling menghargai, mengakui keberadaan orang lain, dan saling mendukung satu sama lain.

Masyarakat beradab meniadakan permusuhan, rasa curiga, dan keterasingan (saling mengasingkan). Semua merasa menjadi bagian manusia yang hidup rukun dalam bingkai kemanusiaan utama. Semua merasa nyaman, damai, dan bahagia jika saudaranya hidup berdampingan. Hidup berdampingan dengan penuh cinta inilah spirit keindonesiaan yang kini sudah mulai menghilang. Seakan-akan bangsa Indonesia tidak merasa dalam satu kesatuan jiwa yang telah terpatri lama. Spirit keindonesiaan perlu kembali disuarakan ditengah riak perbedaan pilihan. Perbedaan selayaknya menjadikan diri kita semakin dewasa, bukan malah menjadikan bangsa Indonesia tercerai berai.

Perjumpaan Kemanusiaan
Saat syawalan keindonesiaan mewujud. Syawalan menjadi medium perekat persaudaraan. Persaudaraan yang mungkin sudah mulai rapuh, melalui syawalan dapat kembali terajut. Syawalan mempertemukan semuanya. Tidak hanya kepentingan sesaat, namun semua atas nama kemanusiaan.

Kemanusiaan manusia perlu kembali menjadi laku bangsa Indonesia. Kemanusiaan yang menyatu dalam satu tarikan nafas. Nafas bangsa Indonesia yang berdaulat dalam bingkai ragam suku, agama, ras, dan antar golongan. Syawalan mengisahkan perjumpaan kemanusiaan yang erat dan tulus. Ketulusan itulah yang akan menyelamatkan manusia dari permusuhan. Permusuhan hanya akan mengembalikan manusia pada watak asli saling bermusuhan dan merusak tatanan dunia. Sebagaimana “gugatan’ malaikat saat Tuhan ingin menciptakan manusia.

“Dan (ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada Malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah. Berkata mereka: Apakah Engkau hendak menjadikan padanya orang yang merusak di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau? Dia berkata: Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (Q.S. al-Baqarah, 30).

Manusia merupakan pilihan Tuhan untuk memimpin di bumi. Sebagai makhluk pilihan maka ia mengembang amanat penciptaan Tuhan Yang Agung. Saat manusia mengingkari amanat itu, dan kemudian terus melakukan permusuhan dengan sesamanya, maka kehidupan bumi akan hancur. Bumi akan dipenuhi oleh amarah dan pertumpahan darah.

Syawalan ingin mengembalikan spirit kepemimpinan manusia yang mulia. Manusia mempunyai kelebihan sehingga kerusakan dapat dicegah dengan mau saling bertemu dan berkasih sayang. Syawalan menghapus sekat primordial perbedaan pilihan. Pasalnya, mereka bertemu dengan hati yang lapang dan saling mengaku saudara satu sama lain. Pilihan politik tidak akan mampu memisahkan ikatan dan kehangan persaudaraan.

Pada akhirnya, syawalan menjadi salah satu pintu masuk membangun kebangsaan dan keindonesiaan. Syawalan mendorong setiap pribadi untuk berdamai dengan dirinya sendiri yang kemudian saling mengakui, menghargai, dan merangkul satu sama lain. Tidak ada yang beda di antara kita. Cara pandang boleh beda, namun cita rasa kemanusiaan tetaplah sama, yaitu persatuan Indonesia. []

Benni Setiawan, Dosen Universitas Negeri Yogyakarta, Anggota Majelis Pendidikan Kader (MPK) Pimpinan Pusat Muhamamdiya

dutadamaisumbar

Memaknai Hari Kebangkitan Nasional Ditengah Pandemi

Previous article

Bahasa Indonesia Sebagai Jembatan Pengenalan Bahasa dan Budaya Nagari Limbanang Kabupaten Lima Puluh Kota ke Negeri Gajah Putih Thailand

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Umum