Sebelum masuk ke pokok pembahasan, apakah sobat damai sekalian sudah tahu apa itu matrilineal?

Yaps, benar sekali. Matrilineal adalah sebuah adat yang menurunkan warisan kepada pihak perempuan atau garis keturunan dari ibu. Di Indonesia masyarakat yang menganut matrilineal hanyalah masyarakat Minagkabau di Sumatera Barat.

Perempuan di Minangkabau merupakan harta pusaka bagi suatu keluarga sehingga keberadaannya mendapatkan posisi yang sangat terhormat bagi masyarakat. Minangkabau juga sarat dengan budaya dan ajaran muslim sehingga nilai-nilai kultural religius banyak mempengaruhi pola berpikir masyarakat di Minangkabau.

SEJARAH MATRILINEAL DI MINANGKABAU

Sejarah matrilineal secara turun-temurun berdasarkan cerita para tokoh di Minangkabau berawal pada masa kepemimpinan Datuk Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang di Minangkabau yang kemudian diserang oleh panglima perang kerajaan Majapahit Adityawarman. Majapahit berniat menyerang daerah Minangkabau karena daerah Minangkabau terkenal sebagai daerah yang cinta akan perdamaian sehingga tidak memiliki angkatan perang maupun kepolisian.

Karena kerajaan Minangkabau memang kerajaan yang tidak menyukai peperangan dan lebih menyukai cara-cara damai, maka Datuk Katumanggungan berupaya keras mencari cara agar peperangan benar-benar terhindar dan tidak terjadi di bumi Minangkabau. Hingga akhirnya Datuk Katumanggungan bersiasat pada saat panglima Adityawarman sampai di bumi Minangkabau, maka beliau tidak akan disambut dengan pasukan dan peperangan, melainkan disambut dengan keramah-tamahan dan akan dipinang untuk dijodohkan dengan adik kandungnya yang bernama putri Jamilah.

Akhirnya sampailah panglima perang Majapahit Adityawarman di ranah Minangkabau. Adityawarman yang datang dari Jawa merasa kaget dengan penyambutan yang dilakukan oleh tentara Minangkabau. Dirinya merasa heran karena Datuk Katumenggungan justru menyambutnya dengan penuh keramahan dan rasa persaudaraan, dan bukannya menyambut dengan bala tentara perang.

Utusan dari istana Pagaruyung datang menemuinya dan mengatakan niatnya untuk meminang panglima Adityawarman untuk dinikahkan dengan sang putri dari kerajaan yaitu putri Jamilah yang merupakan adik dari Datuk Katumenggungan. Dan tidak hanya itu demi menghindari perang yang dampaknya akan menyengsarakan rakyat, maka panglima Adityawarman akan diangkat menjadi raja di Minangkabau jika bersedia menikah dengan Putri Jamilah.

Tentu saja hal itu membuat sang panglima Adityawarman terkejut dan langsung menerima tawaran itu. Melihat gelagat bahwa panglima Adityawarman akan menerima tawaran itu, maka sang Datuk berusaha mencari cara agar keturunan Putri Jamilah nantinya tetap menjadi orang Minangkabau dan agar semua orang tahu bahwa keturunan Putri Jamilah mendapatkan warisan dari kerajaan Minangkabau dan bukannya mendapatkan warisan dan kekuasaan dari Adityawarman. Maka akhirnya ditetapkanlah adat Batali Bacambua yang langsung merubah struktur masyarakat Minangkabau.

Nan dikatokan adat nan batali cambua, iyolah hubungan mamak dengan bapak, dalam susunan rumah tango, sarato dalam korong kampuang. Dek Datuak Parpatiah nan Sabatang, didirikan duo kakuasaan, balaku diateh rumah tango, iyolah tungganai jo rajonyo, nan korong kampuang barajo mamak, rumah tango barajo kali, di rumah gadang batungganai. Dicambua tali malakek

Yang artinya: “Adat batali bacambua mengatur hubungan antara bapak dan mamak. Intinya, di dalam rumah tangga terdapat dua kekuasaan, pertama kekuasaan bapak, kedua kekuasaan Mamak, yaitu saudara laki-laki dari pihak ibu. Pemikiran itu dibawa Datuk Parpatiah Nan Sabatang pada musyawarah dengan cerdik pandai di balairung sari. Menyadari penting perubahan mufakat didapatkan”.

Sejak saat itu susunan aturan masyarakat berubah. Dahulu bapak mewariskan kepada anak sekarang harus kepada kemenakan. Dahulu suku didapat dari bapak, sekarang dari ibu. Ini tidak lebih dari kecerdikan Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuk Katumenggungan. Dengan datangnya Adityawarman, ia tetap menginginkan agar kekuasaan tetap berasal dari Datuak Katumanggungan.

Dengan garis turun dari mamak, bukan dari bapak ini, nantinya akan memosisikan Adityawarman tidak lebih dari raja transisi bukan raja sebenarnya dari alam Minangkabau. Sebab Datuak Katumanggungan yang menyerahkan kekuasaan padanya, dengan sistem adat yang baru, terkesan hanya menitip kekuasaan. Hingga datang masanya nanti kemenakannya akan lahir dari perkawinan Puteri Jamilah, adiknya dengan Adityawarman.

Cerita tersebut yang secara turun-temurun dipercaya oleh masyarakat minangkabau sebagai cikal bakal dari gerakan matrilineal yang masih dijalani oleh masyarakat Minangkabau hingga sekarang terkait dengan garis keturunan dan warisan yang ditetapkan berdasarkan garis keturunan ibu. Hak perwalian secara adat dari seorang anak bukan terdapat pada ayah kandungnya atau ayah biologisnya, melainkan ada pada paman atau saudara laki-laki ibu yang dalam bahasa Minangkabau disebut mamak

Sistem sosial matrilineal di Minangkabau dibentuk berdasarkan kepada ketentuan-ketentuan alam yang kodrati. Secara alamiah yang mengandung, melahirkan, menyusui, mengajarkan anak berkata-kata dan mendidiknya adalah seorang ibu. Sedangkan ayah sedikit sekali mendapat kesempatan untuk bergaul dengan anak-anak dan memperhatikan kebutuhan-kebutuhannya. Seorang ayah lebih banyak berada di luar rumah karena harus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan istri dan anaknya. Konsekuensinya yang tidak jarang terjadi adalah anak-anak lebih dekat dan merasa nyaman ketika berada di samping ibunya.

Kondisi-kondisi alamiah seperti inilah yang dijadikan sebagai sumber dalam menetapkan suatu sistem sosial di Minangkabau. Sistem sosial yang ditetapkan berdasarkan kondisi-kondisi yang objektif alamiah tersebut menyebabkan sistem ini menjadi sistem yang universal dan sangat kuat mengakar dalam masyarakat Minangkabau. Sehingga betapapun derasnya arus perubahan yang dibawa merongrong kekokohan posisinya, dia tetap tegar. Misalnya arus perubahan yang dibawa oleh, arus modernisasi ataupun arus merantau. Faktor-faktor tersebut tidak mampu menggeser kedudukan ini, bahkan yang terjadi malah sebaliknya, faktor-faktor ini membuat posisinya semakin kuat.

Berdasarkan realitas tersebut, oleh karenanya kekhwatiran akan melemahnya sistem matrilineal dan akan bergeser oleh sistem patrilineal tidak perlu menjadi suatu ketakutan yang berkepanjangan sebab sistem ini akan tetap dianut oleh masyarakat Minangkabau, selama masih ada kaum ibu yang mempertahankan citranya dan kodratnya sebagai wanita. Meskipun banyak faktor-faktor yang bertentangan, seperti faktor agama Islam yang mencoba mempertentangkan dengan sistem patrilineal, tapi faktor ini tidak mampu menggoyahkan eksistensi ini.

Sampai sekarang masyarakat Minangkabau masih menganut agama Islam, akan tetapi dalam hal ini terjadi proses akomodasi yang seimbang. Pada satu pihak orang Minangkabau harus menjalankan esensi ajaran Islam yang murni dan pada pihak yang lain mereka tetap mempertahankan keaslian adat dan sistemnya.

REFERENCE :

Wawancara dengan para leluhur dan tokoh penting seperti bundo kanduang yang ada di masyarakat sekitar.

Husnul Hayati
Writing is a place for growing up.

    Permainan Tradisional Anak Indonesia

    Previous article

    Millenial Lawan Hoax

    Next article

    You may also like

    Comments

    Leave a reply

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *