Onriza Putra – Duta Damai Dunia Maya Regional Sumatera Barat

Beberapa waktu yang lalu, penulis sempat mengikuti CakNurian Stay at Home Class yang mengangkat tema Spiritualitas Pancasila. Hadir sebagai pembicara ialah Yudi Latif (Dewan Pembina Nurcholish Madjid Society) dan Komaruddin Hidayat (Rektor UIII). Diskusi ini diadakan dalam rangka memperingati hari lahir Pancasila.

Saat ini, kita sering mendengar dan melihat Pancasila sering dibenturkan dengan agama. Pemaknaan Pancasila dewasa ini cenderung digunakan untuk kepentingan politik jangka pendek, padahal ruh Pancasila dicanangkan para pendiri bangsa sebagai alat pemersatu antar berbagai golongan. Kita juga sering melihat Pancasila hanya simbol semata, usang dan tidak kekinian. Dalam paparannya, Yudi Latif mengajak kita kembali untuk menemukenali dan memperkuat pemahaman dasar kita terhadap Spiritualitas dan Pancasila.

Apakah itu spiritualitas dalam Pancasila? Kang Yudi, memulainya dengan menjelaskan tentang hakikat manusia dalam Pancasila. Hakikat ini dikaitkan dengan 3 dimensi atau kodrat manusia. Pertama adalah dimensi fisik – biologis (tingkat otak, kedirian atau selfness). Kedua, dimensi rohani yang berkaitan dengan akal, etika, moralitas dan kebijaksanaan. Terakhir adalah dimensi sosial, berkaitan dengan relasi antar sesama manusia. Tiga dimensi inilah yang melekat pada hakikat manusia Indonesia dalam Pancasila.

Pertama, Sila “Ketuhanan yang Maha Esa”. Hakikat manusia dalam Sila Pertama ini harus dilihat dari pemahaman bahwa manusia adalah mahluk yang diadakan oleh Maha Pengada yang penuh kasih. Ada dimensi rohani dan sipiritual di sini. Karena diciptakan oleh Tuhan yang penuh kasih sayang, maka manusia hakikatnya juga merupakan mahluk yang penuh welas asih. Saat mendekatkan diri dengan Tuhan, manusia melakukannya dengan penuh kasih. Demikian pula selanjutnya, welas asih direfleksikan manusia terhadap sesama. Inilah yang disebut sebagai Ketuhanan yang berdasarkan pada welas asih.

Sila Kedua menjelaskan bahwa manusia pada hakikatnya merupakan mahluk yang selalu harus ada bersama yang lain, tidak hidup sendiri. Ada dimensi sosial pada diri manusia. Perlu dicatat bahwa “yang lain” di sini berarti cakupannya tidak hanya hidup dengan sesama manusia, tapi juga dengan mahluk lainnya, yakni, hewan, tumbuhan dan seluruh alam. Inilah yang disebut sebagai perikemanusiaan.

Sila Ketiga, manusia sebagai mahluk sosial perlu pergaulan dan ruang hidup. Karena perlu ruang hidup, maka manusia butuh mengembangkan kebangsaan atau nasionalisme. Mengingat begitu kayanya keragaman Indonesia, maka yang diperlukan di sini adalah nasionalisme yang inklusif (civic nationalism), yang mampu merangkul semua.

Sila Keempat, manusia sebagai mahluk sosial pasti berpotensi mengalami konflik dengan yang lain. Penyelesaian konflik dilakukan dengan cara yang penuh cinta kasih. Demikian pula halnya dengan pengambilan keputusan, yang sejatinya dilakukan dengan dasar cinta kasih.

Sila Kelima, perlu dipahami bahwa manusia adalah mahluk rohani yang menjasmani. Ada jiwa, ada raga. Maka tentunya, ada kebutuhan jasmani yang diperlukan manusia. Untuk memenuhi keperluan jasmaniah, manusia sebagai mahluk welas asih, sejatinya melakukannya dengan dasar cinta kasih.

Menguatkan kembali pemahaman spiritualitas dalam Pancasila yang hakiki sejatinya akan menjadi kunci untuk pengejawantahan Pancasila yang lebih baik dalam segala aspek kehidupan kita.

Onriza Putra

Ahmad Fuadi : Negeri 5 Menara dan Gila Beasiswa

Previous article

Dagang Isu SARA

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Opini