Baru-baru ini media dihebohkan dengan kasus kebebasan seorang pelaku kekerasan seksual yang kembali diberi wadah oleh sebuah stasiun televisi untuk berkarir di dunia pertelevisian. Ya, nama yang tak asing lagi bagi kita karena sosoknya yang merupakan seorang biduan dan public figure. Yaps, Saipul Jamil, baru-baru ini namanya menjadi trending topik di media sosial perihal kebebasannya dari kasus kekerasan seksual yang pernah dilakukannya kepada remaja pada beberapa tahun lalu.

Bukannya hanya kasusnya yang menjadi perhatian banyak orang, melainkan sambutan akan kebebasannya yang begitu meriah bahkan diarak dengan mobil layaknya seorang atlet yang memenangkan mendali emas dari pertandingan dunia. Sudah seperti penyambutan atlet Gresia Poli dan Apriani Rahayu yang memang telah mengukir kebanggaan membawa nama Indonesia meraih medali emas di ajang olimpiade Tokyo 2020.

Ini tentu dua kasus yang berbeda, namun penyambutannya seperti tidak kalah hebohnya. Padahal kita tahu ada sosok yang mungkin ketika melihat arak-arakan SJ dengan mobil tersebut semakin takut, psikologisnya terganggu, kebebasannya terbelenggu akibat luka dan trauma kekerasan seksual yang telah diterimanya dari seorang figur yang dieluh-eluhkan oleh masyarakat.

Adakah hati yang memikirkan hal demikian? Iya. Memang setiap orang memiliki kesalahan dan tidak sempurna, dan setiap kesalahan berhak mendapatkan kesempatan kedua untuk berubah, benar adanya, tetapi tidak dengan cara menormalisasi perbuatannya tersebutkan apalagi sampai disanjung-sanjung layaknya pahlawan.

Belum usai permasalahan Saipul Jamil dengan segala kasus kekerasan seksual yang dilakukannya namun seperti dinormalisasi saja tanpa ada rasa empati kepada si korban, namun muncul lagi kasus korban pelecahan seksual di KPI yang dikabarkan akan mencabut laporannya.

Yang membuat hati semakin berteriak adalah keinginan si korban untuk mencabut kasusnya adalah adanya indikasi pemaksaan untuk mencabut laporannya tersebut hingga pemaksaan untuk menandatangi surat damai. Korban malah dipaksa untuk memberikan pernyataan kepada public bahwa apa yang dialaminya tidak pernah terjadi bahkan hal demikian juga dilontarkan kepada Komnas HAM serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Bahkan korban juga diminta oleh yang terduga pelaku untuk memulihkan nama terduga pelaku yang pernah dirilis di media sosial.
Seolah dua kasus di atas menjadi permasalahan yang biasa saja sehingga bisa dinormalisasi tanpa memiliki rasa kemanusiaan kepada para korban yang mengalami berbagai ketakutan, gangguan kesehatan psikologis, dan tentunya banyak lagi traumatik-traumatik lainnya yang dirasakan korban.

Jika para pelaku dimaklumi dan dianggap biasa saja dengan dalih bahwa manusia tak ada yang sempurna, ini tentu menjadi tamparan bagi kita semua. Dimanakah rasa kemanusiaan kita kepada korban yang membutuhkan rasa aman untuk bangkit memulihkan rasa traumatiknya yang tak semua mampu memahaminya. Bagi korban ini tidaklah mudah, apalagi ketika ia berani untuk bersuara melaporkan kasusnya kepada pihak yang berwajib. Ini perlu kita apresiasi dan kita dukung ia untuk pulih, karna korban butuh kita untuk menguatkannya bangkit dari rasa ketakutannya akibat perundungan dan kekerasan seksual yang dirasakannya. Ketika korban kekerasan seksual mampu bersuara tentu ia telah melalui pergulatan batin yang panjang dan luar biasa untuk berani melapor.

Maka ketika kita sebagai pihak yang diharapkan mampu memberinya kekuatan malah banyak pihak-pihak tertentu seolah-olah menormalisasi saja keadaan yang ada. Tentu ini sebuah ketidakadilan yang sangat nyata bagi hukum di negeri ini.

Jika sikap menormalisasi pelaku kekerasan seksual dan perundungan kepada korban dibiarkan saja, maka tidak akan menutup kemungkinan akan semakin banyak pelaku-pelaku kekerasan seksual lainnya yang akan lahir di masa mendatang. Para predator-predator tak berhati kemanusiaan yang akan menyasar anak-anak bangsa yang seharusnya menjadi generasi penerus baik laki-laki maupun perempuan. Jika rasa empati kepada korban tidak lagi ada lalu kemana korban akan mengadukan nasibnya?.

Bagaimana bisa para oknum-oknum yang memiliki pengaruh yang menjadi contoh dan harapan bagai generasi muda untuk berjuang mencapai cita-citanya malah memberikan panggung kepada pelaku yang seharusnya ia dihukum dan merasakan bagaimana dampak dari perbuatannya yang tidak berprikemanusiaan itu.

Ayo kita sama-sama berpegang tangan untuk saling menguatkan, dan berdiri bersama korban untuk membersamainya dengan rasa empati dan mendorongnya untuk bangkit demi kesembuhannya, karena masa depannya masihlah panjang.

Nuraini Zainal

MENGENAL LEBIH DEKAT TENTANG POV DALAM NASKAH

Previous article

Apakah Kota Mu Sudah Menjadi Kota Inklusif?

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Opini