Bangunan yang digunakan sebagai Pusat Informasi ini berbentuk rumah gadang bergonjong tujuh dengan empat rangkiang berleret di halaman depannya, dua dibagian kiri dan dua di kanan. Menurut petugas yang bertugas disana, rumah gadang ini pada mulanya digunakan sebagai perpustakaan yang didirikan atas prakarsa A. Hamid dan Bustanul Arifin.

Pembangunannya ditandai dengan peletakan batu pertama pada tanggalyang mudah diingat 8-8-88 dan diresmikan pada 17 Desember 1990, oleh Hasan Basri Durin Gubernur Sumatera Barat di masa itu, sekarang pengelolaannya diserahkan kepada Pemerintah Daerah.

Rumah gadang ini memiliki gonjong tujuh, maka disebut sebagai rumah gadang bagonjong tujuah, memiliki anjuang di bagian kiri dan kanan. Anjungan adalah bagian yang lebih tinggi dari bagian dasar rumah, ditandai dengan adanya anak tangga.

Bila dilihat dari bentuk rumah yang memiliki anjung, maka rumah gadang ini berasal dari Lareh Koto Piliang yang sistem pemerintahannya bersifat otokratis. “Titiek dari ateh” yang mengandung arti segala sesuatunya timbul dari atas dan rakyat menerima dan menjalankan apa yang telah diturunkan oleh penguasa.

Dari naskah yang disusun oleh Nusjirwan A dan staf BPSK mengenai rumah gadang ada 3 tipe rumah gadang, yaitu :

1. Rumah Gadang Gajah Maharam

2. Rumah Gadang Rajo Babandiang

3. Rumah Gadang Bapaserek

RUMAH GADANG GAJAH MAHARAM

Disebut sebagai rumah gajah maharam karena katanya rumah ini memiliki bentuk seperti gajah yang sedang mendekam (Maharam=mendekam). Rumah Gadang ini memiliki bagian yang lebih tinggi dari lantai rumah disebelah ujung kanan dan kiri pintu masuk yang disebut anjung, maka kadang ada yang menyebut tipe rumah gadang ini dengan sebutan Rumah Baanjuang. Rumah Baanjuang masih bisa kita temukan di Padang Panjang, miliki kaum Dt. Tan Majolelo.

RUMAH GADANG RAJO BABANDIANG

Rumah Gadang jenis ini tidak memiliki anjuang dan atapnya lebih tinggi dari Rumah Gadang tipe Gajah Maharam

RUMAH GADANG BAPASEREK

Rumah gadang ini hanya memiliki satu anjuang di sebelah kiri dan bagian yang ditinggikan tersebut dinamakan Tingkah atau Tindieh. Rumah Gadang ini bisa ditemukan di Kenagarian Koto Nan Ampek Payakumbuh, bangunannya memiliki bagian yang diseret sehingga ada bagian yang menonjol di belakang atau disamping.

Bagian belakang yang diseret digunakan sebagai kamar, sedangkan yang disamping digunakan sebagai dapur. Miniatur rumah gadang yang aslinya ada di Kanagarian Koto Nan Ampek milik dt Mangkuto Simarajo tersebut dapat dilihat di museum Adtiyawarman, Padang. Rumah ini memiliki 52 tiang yang dipasang berjejer, yang menurut pemiliknya rumah ini sudah berusia 250 tahun.

Dihalaman depan rumah Gadang  ini terdapat empat buah rangkiang yang memiliki nama sendiri-sendiri :

  1. Rangkiang Sitinjau Lauik adalah tempat penyimpanan padi yang digunakan untuk persediaan makan musafir dan tamu
  2. Rangkiang Sibayau-bayau adalah tempat penyimpanan padi yang digunakan untuk pangan sehari-hari.
  3. Rangkiang Sitangguang Lapa adalah tempat penyimpanan padi yang digunakan untuk membantu fakir miskin dan masa paceklik.
  4. Rangkiang Kaciak, sebagai tempat penyimpanan padi yang digunakan untuk benih pada saat masa bertanam tiba.

Sementara di Rumah Gadang Bodi dan Chaniago bersistem pemerintahan demokrasi. Selain itu, tak ada anjungan di kedua sisinya, semua lantai rata. Sehingga, bila ada musyawarah di sana, datuk dan keponakan duduk di lantai yang sejajar. Bila pimpinan suku meninggal, seluruh kemenakan laki-laki dikumpulkan, baru dipilih siapa yang pantas menjadi datuk.

Menariknya, ternyata alur kehidupan di rumah gadang cukup kompleks. Rumah Gadang suku Koto dan Piliang di masa lalu selalu memiliki jumlah ruang yang ganjil, misalnya, 3, 5, 7, atau 9. Ini untuk keseimbangan ruangan. Jumlah ruang yang dibuat melambangkan status sosial sebuah kaum. Makin banyak, makin kaya kaum tersebut. Rumah Gadang di Padang Panjang misalnya, memiliki 9 ruang kecil yang berjajar di antara anjungan, semuanya menghadap ke arah luar rumah.

Ini berarti, jumlah kamar tidur ada 8, sedangkan 1 ruang yang terletak di tengah-tengah berfungsi sebagai dapur. Setiap kamar, dihuni oleh satu keluarga. Namun, wilayah kekuasaan masing-masing keluarga hanya sebatas di depan kamar sampai ke serambi dan dibatasi oleh tiang di kanan-kiri.

Jadi, bila ada tamu datang, keluarga yang kedatangan tamu hanya boleh menjamu tamu di depan kamarnya, tidak boleh di depan kamar keluarga lain karena itu bukan wilayahnya. Yang boleh tidur di dalam kamar adalah kedua orangtua dan anaknya yang masih kecil. Anak laki-laki yang berusia 10 tahun tidurnya tidak lagi di Rumah Gadang, melainkan di surau. Di sana dia akan belajar agama, adat, dan pencak silat.

Anak laki-laki hanya datang ke Rumah Gadang untuk makan dan beganti pakaian. Siang hari, ia harus membantu orangtua di sawah dan malamnya tidur di surau. Anak laki-laki belajar di surau agar tak bodoh, karena dulu yang mendapat pendidikan hanya anak orang kaya. Sekolah tak ada di kampung. Letak surau tidak jauh dari Rumah Gadang. Surau ini disebut surau kaum atau surau suku. Jadi, pengawasan anak laki-laki tetap dari Rumah Gadang.

Kamar pertama di ujung kiri berfungsi sebagai kamar pengantin. Perempuan yang baru menikah akan tinggal di kamar ini. Bila ada yang menikah lagi, penghuni kamar ujung bergeser ke kamar sebelahnya. Begitu seterusnya. Bila menempati kamar paling ujung kanan, maka keluarga itu harus bersiap meninggalkan Rumah Gadang. Ketika menikah, anak laki-laki akan keluar dari Rumah Gadang ini dan tinggal di rumah istri.

Biasanya yang tinggal di Rumah Gadang adalah mereka yang ekonominya kurang mampu. Kalau keluarga itu kaya, maka belum sampai ujung biasanya dia akan keluar dan mendirikan rumah sendiri. Bukan Rumah Gadang, melainkan rumah biasa karena Rumah Gadang adalah rumah bagi suku. Setiap kamar yang sengaja dibuat berukuran kecil menjadi isyarat bagi suami untuk bekerja keras mencari uang agar bisa membuatkan rumah bagi anak-istri.

Tamu yang datang ke Rumah Gadang biasanya, duduk menghadap keluar rumah, sedangkan tuan rumah berhadapan dengannya. Ini dimaksudkan agar tamu tak melihat kekurangan yang ada di dalam rumah yang bisa menimbulkan pergunjingan atau fitnah. Tamu cukup melihat pemandangan yang indah saja di luar. Keuntungan bagi tuan rumah dengan menghadap ke arah dalam adalah bila menu dalam jamuan habis, misalnya, dia tak perlu berteriak untuk minta tambahan pada orang dapur, melainkan cukup memberi isyarat. Dapur yang ada di Rumah Gadang hanya ada satu, tapi di dalamnya terdapat tungku dari setiap keluarga yang tinggal di dalamnya. Masing-masing memasak dengan tungkunya sendiri.

Dari sisi konstruksi, tiang Rumah Gadang tidak lurus melainkan mengembang ke atas. Jendelanya pun sengaja dibuat mengikuti konstruksi tiang. Rumah ini juga dibangun tidak dengan dipaku, melainkan dengan sistem pasak. Konstruksi ini lebih tahan terhadap gempa bumi.  Ketika terjadi gempa besar tahun 2007 dan 2009, bangunan ini tidak rusak sama sekali. Bagian luar Rumah Gadang penuh ukiran indah yang melambangkan bahwa dalam pembuatannya orang Minang berguru pada alam. Kayu-kayu besar dijadikan tiang, sedangkan yang kecil dibuat ukiran. Jadi, tak ada yang terbuang.

Ukiran Sikambang Manih atau bunga yang indah melambangkan keramahan orang Minang dalam menyambut tamu. Sementara, ukiran Itiak Pulang Patang atau itik pulang sore melambangkan kedisiplinan. Mengacu pada karakter itik yang kalau berjalan selalu rapi berbaris meski tidak ada yang mengatur.

Ada lagi Pucuak Rabuang atau pucuk rebung, artinya sejak kecil sampai tua kita berguna untuk orang lain. Empat rankiang atau lumbung padi yang berjejer rapi di depan kanan dan kiri Rumah Gadang juga memiliki arti. Bentuk keempatnya sama, hanya saja jumlah tiang penyangganya berbeda. Dua di sebelah kiri masing-masing bertiang empat, sedangkan di sebelah kanan masing-masing bertiang enam dan sembilan. Padi di lumbung paling kiri digunakan untuk upacara adat, misalnya pernikahan. Padi di lumbung sebelahnya digunakan untuk membantu fakir miskin dan persediaan musim paceklik.

Sementara, lumbung bertiang enam menyimpan padi untuk makanan sehari-hari penghuni Rumah Gadang. Sedangkan padi di lumbung bertiang sembilan bisa dijual dan hasilnya untuk menyumbang pembangunan di kampung. Letak rankiang yang jauh dari Rumah Gadang juga memiliki arti bila terjadi kebakaran di rumah, padi masih tetap aman dan penghuni tidak kelaparan. Padi diambil dengan menggunakan tangga dan setelahnya tangga disimpan di bawah Rumah Gadang.

SUMBER : seluruh informasi didapatkan ketika penulis pergi mengunjungi lokasi dan berdiskusi langsung dengan pengurus setempat.

Husnul Hayati
Writing is a place for growing up.

    Korea berhasil lewat K-Pop, Indonesia Kapan?

    Previous article

    STRATEGI DAKWAH DI TENGAH MASYARAKAT YANG PLURAL

    Next article

    You may also like

    Comments

    Leave a reply

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *