Bahasa adalah identitas. Saya sangat setuju dengan pernyataan tersebut. Bahasa bisa menunjukan banyak hal dari seorang individual. Mulai dari intelektualitas, minat bakat, hingga kesopanan. Banyak sekali fenomena bahasa yang terjadi dalam lingkungan kehidupan kita sehari-hari, saking beragamnya mungkin secara tidak sadar kita juga menciptakan atau justru mengikuti fenomena tersebut. Pariaman sebagai salah satu kota wisata yang terkenal akan wisata pantai dan festival budayanya juga memilik anak-anak muda yang menciptakan tren berbahasa. Berikut akan dibahas 3 fenomena bahasa anak muda Pariaman.

  1. Memadupadankan bahasa Indonesia dengan bahasa Minang

Banyak sekali anak-anak muda yang sangat doyan berbahasa Minang lalu dicampurkan dengan kata dalam bahasa Indonesia. Padahal kata tersebut ada dalam bahasa Minang. Contohnya “Kamu dimana ha?” jika kita alihkan ke bahasa Minang maka seharusnya kalimat yang terdengar adalah “Sanak dima ha?”. Di kafe atau tempat berkumpul lainnya akan sering kita dapati anak muda yang berbahasa sakarek ula, sakarek baluik. Hal ini dianggap lazim, tapi tak sering juga yang mencibir fenomena yang eksis di kalangan anak muda ini.

  • ‘Memaksa’ bahasa Minang menjadi bahasa Indonesia

“E..Kerambir!” “Mencigok-cigok dia di balik tirai.” Ini juga hal yang akan sering kita dengar melalui percakapan anak-anak muda sekarang ini. Seolah-olah bahasa Minang dipaksa menjadi bahasa Indonesia dengan kaidah yang salah. Padahal padanan bahasa Minang juga banyak dalam bahasa Indonesia, contoh ‘karambia’ padanan bahasa Indonesianya yang tepat adalah ‘kelapa’, bukan ‘kerambir’. Banyak juga bahasa minang yang diadopsi atau diadaptasi ke bahasa Indonesia, contohnya ‘bagak’ adalah kosa kata bahasa minang yang diadopsi ke bahasa Indonesia yang mempunyai arti berani.

  • Bahasa Minang Kasar

Banyaknya anak-anak remaja yang menyatakan bahasa Minang sebagai bahasa kasar. Padahal nyatanya tidak sama sekali. Pernyataan tersebut pernah secara langsung saya dengar dari seorang anak Pariaman yang bersekolah di luar kota. Dia berdebat dengan ibunya mengenai bahasa Minang. Dia tidak ingin menggunakan bahasa Minang di dalam rumahnya karena itu adalah bahasa kasar. Dia beralasan “wa ang” dan “kau” itu kasar. Padahal intonasi dan konteks percakapan juga berpengaruh besar dalam pemaknaan bahasa. Lagian, ada kosa kata lain yang bisa dijadikan alternatif sebagai kata ganti orang di bahasa Minang, contohnya Ajo, Uniang, Sanak, Rang Mudo, atau Puti Bungsu. Faktor lain yang menjadikan banyak anak beropini bahasa Minang dan enggan untuk dituturkan oleh beberapa anak mudanya, karena sedari kecil orang tua mereka justru berbahasa Indonesia dalam berkomunikasi dengan sang anak, anak tidak diberi edukasi dan pemahaman terhadap bahasa ibunya, serta faktor yang lain banyak anak-anak yang dikirim ke sekolah full day school atau pesantren yang mewajibkan anak-anaknya hanya menggunakan bahasa Indonesia, Inggris, atau Arab.

Fenomena bahasa yang terjadi bisa mengarah pada hal yang negatif dan lunturnya nilai-nilai luhur dari bahasa Minang ataupun Indonesia. Hendaknya, kita sebagai menerapkan tri gatra bangun bahasa sebagai warga negara yang baik, yaitu utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing.

Penulis : Diko Arianto

dutadamaisumbar

How to be a Positive Vibes People?

Previous article

My First MABIT

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *