Indonesia merupakan negara majemuk yang mempunyai ragam budaya, adat, agama, ras, etnis, dan kepentingan lainnya. Minangkabau merupakan salah satu bagian dari kemajemukan adat dan budaya Indonesia. Kemajemukan inilah yang rawan akan konflik. Dalam masyarakat Minangkabau  terdapat sebuah filosofi, yaitu adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah yang dijadikan sebagai pandangan hidup atau way of life bagi masyarakat Minangkabau. Tujuannya untuk mengatur masyarakat Minagkabau mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat serta hubungan antara adat dan agama.

Secara harfiah adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah dapat kita bagi menjadi dua kalimat yaitu  adaik basandi syarak mengatur bahwa seluruh adat yang digunakan oleh masyarakat Minangkabau harus “bersendikan” kepada syariat, yang pada gilirannya didasarkan pada Al-Quran dan Sunnah (Syarak basandi Kitabullah). Artinya adat di Minangkabau dapat bersanding dengan agama yang mana agama harus bersumber dari Al-quran dan hadis.  Dimana dalam hal ini Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah menjadikan Islam sebagai sumber utama dalam tata dan pola perilaku yang melembaga dalam masyarakat Minangkabau.

Menurut sejarah, filosofi Minangkabau mengalami berbagai pergulatan. Sebelum islam masuk ke wilayah Sumatra Barat, pada masa animisme dan dinamisme  masyarakat Minangkabau menggunakan Alam Takambang Jadi Guru sebagai pedoman hidup yang mengandung pengertian bahwa melihat alam sebagai guru dan dijadikan sebagai landasan hidup. Namun ketika agama Islam masuk ke Sumatra Barat, masyarakat Minangkabau dapat menerimanya dengan baik karena ajaran islam sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang sudah dianut oleh masyarakat minang itu sendiri.

Seperti yang kita ketahui pada masa penjajahan Belanda terjadi pertentangan dan perbedaaan pendapat antara sekelompok ahli agama islam (kaum padri) dengan kaum adat di wilayah kerajaan Pagaruyung karena adu domba dari kolonial Belanda. Maka dilaksanakanlah piagam Bukik Marapalam yang disebut juga sumpah sati bukik marapalam. Perjanjian ini berujung pada lahirnya filosofi adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. 

Lalu, bagaimana hubungan antara pluralisme dalam hal ini bhineka tunggal ika, toleransi dengan filosofi agama islam di dalam adat Minangkabau? Adat di Minangkabau itu tidak hanya minang secara monoton, contohnya jika di pulau jawa ada ragam Jawa Timur, ragam Jawa Tengah, dan ragam Yogjakarta. Namun, di Minangkabau jauh lebih kompleks, ada banyak suku seperti koto, piliang, jambak, minang melayu, tanjuang, sikumbang, caniago dan lain sebagainya. nah bayangkan saja dari berbagai keberagaman suku dan adat yang dimiliki oleh Minangkabau, filosofi tersebut tidak menuntut dan memaksakan menjadi monoton. Adat di persilahkan berkreasi sebanyak mungkin tetapi dengan satu syarat, jangan pernah langgar syariat Islam. Dalam hal tersebut sudah sangat terlihat bahwa masyarakat Minangkabau sangat menghargai dan bertoleransi akan adanya keberagaman.

Dalam toleransi beragama, orang Minangkabau dahulu beranggapan bahwakata kitabullah dalam filosofi adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah yang dimaksud adalah Al-quran. Namun dalam pemahaman masyarakat Minang sekarang, kata kitabullah berarti kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah kepada rasulnya, oleh karena itu kitab disini tidak hanya Al-quran, tetapi juga ada injil, taurat, dan zabur. Dari filosofi tersebut sudah sangat terlihat adanya toleransi yang dari dulu sudah ditanamkan dari dalam diri masyarakat Minangkabau.

Di Sumatra Barat sebaran penduduknya masih dominan dan hampir di atas 80 persen adalah masyarakat asli Minangkabau dan beragama Islam. Sisanya adalah masyarakat bukan orang Minangkabau dan beragama selain Islam. Namun tetap tinggal dan bisa hidup berdampingan dengan rukun. Hanya saja, kehadiran orang non-Minangkabau di Sumbar tidak berbaur secara langsung. Contohnya di Kota Padang. Di sana terdapat beberapa kampung yang dihuni oleh masyarakat etnis lain dan rata-rata bukan beragama Islam, yaitu Kampung Nias, Kampung Cino, Kampung Jawa dan lainnya. Tidak ada gesekan antara penduduk pribumi dan pendatang di Sumbar. Mereka bisa membangun daerah bersama-sama. Baik dari sisi ekonomi, pemerintahan, sosial, dan sebagainya. Pendatang dan pribumi hidup rukun dan tenteram. Kedamaian di Sumbar tidak terlepas dari filosofi yang dianut oleh masyarakat Minangkabau yang penuh dengan toleransi dan menghargai perbedaan.

Oleh : Dhiya Alifya

Menilik Syukur dari Daerah yang kurang Mujur

Previous article

Tahukah Anda Bahan Pembuatan Rendang Memiliki Filosofi yang Unik?

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *