Tangan Nana gemetar ketika mendengar suara-suara keras yang dilontarkan kepadanya. Gadis berusia tujuh tahun itu menutup telinga dengan kuat sambil berjongkok. Deru napas semakin menjadi-jadi ketika dua orang wanita tua menghardiknya.

“Apa yang kamu lakukan kepada anakku, ha?!” tanya seorang wanita yang langsung mendekati Nana. Wanita yang bernama Amira itu langsung memeluk sang anak, meminta bocah kecil itu untuk tenang.

“Apakah kamu tidak bisa mendidik anakmu, ha? Anak cacat seperti itu jangan disuruh keluar dari rumah! Lihat! Lihat! Dia mengganggu orang-orang berbelanja!” hardik salah satu wanita yang ada di sana, menatap ke arah Nana yang sedari tadi ketakutan.

Amira bergeming ketika mendengar wanita itu menyebut sang anak dengan sebutan yang tidak pantas. Wanita berumur 35 tahun itu langsung bangkit dan melayangkan satu tamparan. Tidak hanya itu, ia pun langsung menjambak wanita yang menghina anaknya tadi.

Pertarungan tidak bisa dielakkan lagi. Amira pun berkelahi, saling jambak, dan sesekali mengeluarkan kata-kata kasar, membuat Nana semakin takut dan gemetar. Anak kecil itu meremas kuat telinga agar pertengkaran itu tidak didengar.

Aksi tersebut tentu menjadi tontonan gratis bagi khalayak umum yang tengah membeli keperluan dapur di pagi itu. Sebagian mereka tidak peduli, sebagian mereka merekam adegan tersebut untuk diposting di media sosial mereka.

Di satu sisi, melihat adanya kegaduhan di ujung pasar, petugas keamanan langsung berlari ke arah mereka. Kedua pria itu melerai, menyuruh mereka untuk berhenti. Tidak sampai di sana, mereka pun mengancam akan melaporkan kejadian tersebut kepada polisi jika tidak mengakhiri pertengkaran tersebut.

Beberapa menit berlalu, dua wanita itu akhirnya pergi dengan wajah masam, meninggalkan Amira yang tengah menenangkan sang anak. Amira membantu Nana berdiri, kemudian mendudukkan gadis itu ke bangku kayu yang tidak jauh dari sana.

“Mama di sini, Sayang,” ucap Amira, menenangkan sang anak.

Nana membuang pandangan, tidak melihat ke arah sang mama. Gadis itu memainkan jari jemari, memainkan bibir, kemudian mengerjap beberapa kali untuk menenangkan diri. Lalu, ia pun melihat ke wajah sang mama.

“Ap–apakah Mama baik-baik saja?” tanya gadis itu tanpa melihat sang mama. Tangan putih itu masih setia mengembang dan memainkan jari jemari satu per satu.

Mendengar pertanyaan sang anak, membuat Amira tersenyum kecil. Wanita itu menggigit bibir bawah, menahan rasa sesak di dada. Tidak ada jawaban selain belaian lembut serta senyuman tulus yang diberikan oleh wanita itu kepada sang anak.

Setelah mendudukkan diri dan melihat Nana sudah baik-baik saja, Amira memutuskan untuk kembali ke gerai kecil tempat dirinya menjual makanan serta minuman. Ia mengajak sang anak, tetapi langsung ditolak. Ia pun menyuruh Nana untuk tidak pergi ke mana-mana.

Mendengar perintah tersebut, Nana tidak merespons. Mata indah itu melihat dengan saksama manusia-manusia yang tengah berlalu lalang. Ia menatap punggung Amira yang semakin menjauh.

Menjadi anak yang memiliki spektrum autisme membuat Nana tidak berkomunikasi, berteman, dan berinteraksi dengan siapa pun. Gadis kecil itu memiliki dunia sendiri dan abai dengan orang sekitar. Bahkan, ketika orang lain tengah berbicara, ia cenderung langsung pergi tanpa mendengar orang itu hingga akhir.

Kendati demikian, gadis kecil itu rentan dengan suara-suara keras. Ketika ada seseorang menghardik, berkata kasar, berkata dengan nada yang keras, bahkan membanting sesuatu sehingga menghasilkan bunyi yang cukup kuat, membuat Nana ketakutan, lalu sindrom tourette pun keluar tanpa diminta.

Nana tidak bisa mengekspresikan perasaan yang dirasakan kepada siapa pun. Ketika orang tertawa, menangis, atau hal lain, gadis itu benar-benar tidak bisa menilai. Akan tetapi, satu hal yang tahu oleh gadis itu, ia tidak suka ketika sang mama harus beradu mulut dengan orang-orang yang mencacinya.

Nana memainkan bibir dan juga tangan, kemudian langsung berdiri. Kaki kecil itu dilangkahkan ke gerai milik sang mama, lalu gadis itu berdiri, menatap sang mama yang tengah menghidangkan makanan untuk pembeli.

“Ada apa, Nana? Apakah kamu membutuhkan sesuatu? Atau, apakah kamu ingin makan sesuatu?” tanya Amira.

Nana tidak melihat sang mama, tetapi mengeluarkan kertas dari saku celana. Ia pun memberikan kertas tersebut, kemudian pergi dari sana.

Amira yang bingung, membuka kertas tersebut. Ia bergeming ketika melihat gambar sederhana dari sang anak. Air mata pun keluar tanpa diminta. Ia melihat gambar ibu dan anak, sedangkan di sudut kanan kertas tersebut tertulis kalimat, “Mama, maaf dan terima kasih untuk semua”.

Indonesia, 29 Juli 2022.

Yui
Penulis dan Pengarang

    INIKAH 77 TAHUN KEMERDEKAAN INDONESIA?

    Previous article

    Dewi Centong, Kisah Pilu Camat Payakumbuh Timur yang Dipecat Gara-Gara Komentar MUI

    Next article

    You may also like

    Comments

    Leave a reply

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    More in Cerpen