Penulis Nurrochman
Dua kasus yang menyita perhatian publik, yakni penahanan Bahar bin Smith atas kasus penyebaran berita palsu dan pelaporan Ferdinan Hutahaen atas dugaan ujaran kebencian kiranya memberikan kita pelajaran. Yakni bahwa kebebasan berekspresi kiranya harus dipahami secara bijak.
Terbukanya ruang publik dan demokrasi di era Reformasi ini membawa sekian banyak konsekuensi. Salah satunya ialah maraknya ujaran kebencian berlatar isu sosial, politik, budaya, dan agama yang diklaim sebagai bagian dari kebebasan berekspresi. Belakangan ketika fanatisme agama dan politik kian menguat, ujaran kebencian pun seolah telah dinormalisasi sebagai bagian dari demokrasi. Cara pandang yang demikian ini jelas salah kaprah.
Demokrasi bukanlah sistem yang didesain untuk memberikan ruang bagi tumbuhnya ideologi kebencian dan kekerasan. Justru sebaliknya, demokrasi justru didesain sebagai sistem untuk mengelola perbedaan pandangan agar tidak berakhir menjadi konflik atau benturan. Di dalam sistem demokrasi, kebebasan tidak pernah bersifat absolut, alih-alih relatif. Kebebasan selalu dibatasi oleh setidaknya dua hal, yakni hukum dan etika.
Demokrasi memang menjamin setiap individu atau kelompok untuk bersuara, berekspresi dan berkumpul. Namun, satu hal yang perlu diingat bahwa di balik hak menyuarakan pendapat dan mengekspresikan diri itu ada tanggung jawab sosial dan etika yang harus dijunjung tinggi. Jangan sampai, ujaran atau ekspresi yang kita lontarkan ke ruang publik itu melanggar aturan hukum atau mencederai norma sosial yang membuat pubik gaduh atau resah.
Ujaran Kebencian Sebagai Penyakit Individu dan Sosial
Ironisnya, ujaran kebencian kini telah menjadi penyakit sosial yang menjangkiti siapa saja, mulai dari individu, kelompok, sampai korporasi media; pelakunya tidak hanya masyarakat awam, namun juga tokoh publik, agamawan, hingga elite politik. Jika dibaca dari sudut pandang pelaku individu, ujaran kebencian tampaknya merupakan akumulasi dari problem psikologi dan komunikasi. Individu yang gemar menebar ujaran kebencian umumnya merupakan pribadi yang temperamental, dan kurang memiliki kecakapan berbahasa (berkomunikasi) yang baik.
Sedangkan dari sisi kelompok, ujaran kebencian umumnya muncul dari perasaan iri dan dendam pada kelompok lain. Dalam ruang publik yang bebas di alam demokrasi, setiap gagasan maupun opini memang dimungkinkan untuk dikontestasikan secara terbuka. Adakalanya dalam kontestasi itu ada pihak yang kalah dan terpinggirkan. Kekalahan itulah yang kerap direspons dengan melontarkan ujaran kebencian pada kelompok arus-utama yang dominan.
Sementara dari sisi korporasi media, ujaran kebencian merupakan bagian dari industri media massa utamanya daring dalam mencari sebanyak mungkin keuntungan. Sudah bukan rahasia lagi bahwa banyak media massa online yang menjaring pembaca dengan judul-judul yang provokatif bahkan bernuansa ujaran kebencian. Diakui atau tidak, model media massa online yang demikian turut andil menciptakan perpecahan di masyarakat.
Memberantas Ujaran Kebencian
Maka, memberantas ujaran kebencian mengharuskan adanya pembenahan dari sisi individu, komunitas, serta industri media massa. Dari sisi individu, penting kiranya membangun kesadaran jiwa yang kuat; tidak mudah marah, dan pandai mengendalikan diri dalam menyikapi segala situasi. Penting juga bagi setiap individu untuk mengembangkan kecapakan berbahasa dan berkomunikasi. Dengan begitu, maka setiap gagasan, wacana, opini, bahkan kritik bisa disampaikan secara santun dan beretika.
Dari sisi kelompok, perlu dibangun sebuah kesadaran untuk memahami bagaimana mekanisme kontestasi wacana di ruang publik. Kontestasi wacana di ruang publik idealnya disikapi dengan kepala dingin. Perbedaan pendapat sepatutnya diselesaikan dengan mekanisme negosiasi dan kompromi dan menghindari cara-cara konfrontasi. Dengan begitu, ruang publik kita akan steril dari narasi provokatif dan kebencian.
Dari sisi korporasi media, diperlukan kesadaran untuk membangun ekosistem industri media massa (daring) yang sehat, demokratis, dan bersih dari unsur provokasi serta kebencian. Media massa harus menjalani perannya sebagai the clearing house, alias institusi penjernih. Ini artinya, ketika ruang publik kita penuh sesak oleh berita palsu, kebencian, dan adu-domba, media massa seharunya hadir sebagai penjernih dan pencerah masyarakat.
Menghentikan ujaran kebencian berdalih kebebasan memang tidak mudah. Tersebab, ujaran kebencian ini telah menjadi semacam virus yang menyebar ke seluruh kelompok dan lapisan masyarakat. Di satu sisi, kita memerlukan penegakan hukum yang tegas kepada seluruh pelaku ujaran kebencian. Penegakan hukum tanpa pandang bulu bagi pelaku ujaran kebencian merupakan prasyarat mutlak untuk menghentikan ujaran kebencian.
Di sisi lain, kita tentu juga membutuhkan pendekatan kultural ke setiap individu dan komunitas agar memiliki kecerdasan dalam menyampaikan pendapat. Satu hal yang penting, masyarakat harus memiliki pemahaman bahwa ujaran kebencian dan kebebasan ialah dua hal yang berbeda dan tidak dapat ditumpang-tindihkan.
Comments