Penulis : Ernawati Ernawati

Banyak kalangan awam yang mencampuradukkan antara dakwah dengan perang. Seolah berdakwah sedang berperang dengan penuh ketegasan dan keras. Dakwah lalu dimaknai sebagai media propaganda umat dalam menghadapi musuh, sehingga dakwah harus dilakukan secara keras dan tegas. Dakwah seolah ingin menegaskan diri bahwa Islam agama yang tegas dan keras yang harus ditakuti oleh musuh agamanya. Tentu saja, kata-kata nyaring, keras, berapi-api dan bahkan kadang penuh provokasi banyak disukai.

Padahal, sejatinya dakwah adalah ruang mengajak dan mengedukasi. Dakwah dan perang itu entitas yang berbeda. Karena perbedaan tersebut tentunya cara pendekatannyapun berbeda. Dakwah harus mampu mengajak umat untuk memahami Islam dan menanamkan Islam sebagai agama yang penuh kedamaian. Dengan tujuan itulah, bahasa yang digunakan haruslah menyentuh hati umat, supaya mereka bisa bersimpati kepada Islam.

Sementara peperangan merupakan sebuah pilihan terakhir yang dipilih Islam untuk membela diri dari serangan musuh. Namun jika tidak di serang, Islam tidak mengajarkan umatnya untuk menimbulkan keributan apalagi peperangan. Dalam perang pun Islam menghendaki aturan dan tidak brutal.

Kedua, hal tersebut memang membutuhkan ketegasan dalam membela agamanya. Namun sayangnya, kini banyak ulama atau da’I yang mengutarakan materi dakwahnya seolah mereka sedang berperang. Materi dakwah memang sangat mempengaruhi penerimaan umat. Karena itulah mental dari pendakwah sangat perlu diperhatikan.

Terdapat beberapa etika dalam dakwah yang perlu di perhatikan. Etika dakwah secara gamblang telah ditegaskan Allah melalui firmannya dalam surat An-Nahl 125, “Berserulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan nasihat yang baik dan berikan bantahan menggunakan cara yang baik”. Seorang dai harus mampu membawa tiga etika dalam berdakwah, yakni, dengan memberikan nasihat yang baik, keteladanan, dan bantahan yang baik dan terpuji.

Seorang pendakwah harus mampu mengedepankan ilmu, supaya materi yang didakwahkan memiliki makna yang dapat diambil oleh umat. Seorang pendakwah juga harus memperhatikan keadaan orang yang didakwahi, dengan berbicara atau memberikan materi sesuai dengan pemahaman dan kemampuan mereka. Itulah, pentingnya berdakwah dengan kata-kata yang mudah untuk dipahami dengan lembut dan halus.

Pedakwah juga harus mampu memberikan nasihat yang baik dan perkataan yang menyentuh, mereka juga harus mampu memerintahkan sesuai syariat dan melarang hal yang dilarang agama. Seperti contohnya, menerangkan maslahat dan pahala dari mengerjakan perintah dan menerangkan madharat dan azab apabila mengerjakan larangan.

Dalam konteks dakwah jika pun harus berhadapan dengan musuh tetap harus memegang prinsip di atas, yakni memberikan bantahan yang baik dan terpuji. Jika ulama memberikan bantahan yang tidak baik , maka justru akan memberikan contoh bahkan memicu kerusuhan di dalamnya. Inilah alasan Nabi Musa dan Harun berdakwah di hadapan Firaun yang terkenal sebagai raja paling kejam dan juga musuh Allah, namun mereka tetep memerintahkan dan mengajarkan kebaikan.

Allah berfirman, “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia ingat atau takut” (Surat Taha: 43-44). Karena itulah, dalam konteks berdakwah terhadap musuh pun etika dakwah harus tetap melekat. Allah memerintahkan untuk menggunakan kata lemah lembut walaupun di depan raja yang dzalim. Konteks berhadapan dengan musuh tersebut dalam konteks dakwah bukan berperang. Karena itulah, etika dakwah tetap harus dikedepankan.

dutadamaisumbar

Hentikan Siar Kebencian Berdalih Kebebasan

Previous article

Ritel Terbesar Di Sumatera Barat

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Opini