Penulis Nur Atikah Rahmy

Kebebasan sering ditafsirkan sebagai sesuatu yang tanpa ada aturan. Seolah-oleh kebebasan itu adalah bebas melakukan apa saja, tanpa mengindahkan kaidah pergaulan antar manusia dan rambu-rambu dalam berbangsa dan bernegara.  

Provokasi dan aspirasi, misalnya, keduanya sering kali tidak bisa dibedakan atau malah dikaburkan. Padahal, keduanya adalah hal yang sangat berbeda. Yang pertama adalah aksi anarkis yang ingin membuat suasana menjadi ruwet, tak terkontrol, dan memanas. Yang kedua merupakan pendapat publik yang terakumulasi dalam satu gagasan rasional atas dasar kemaslahatan bangsa.

Di era media sosial, ketika semua orang mempunyai kesempatan untuk bersuara, tidak jarang antara keduanya sangat sulit dibedakan. Ada sebagian oknum, atas ambisi pribadi atau kelompok, sengaja memprovokasi tetapi berlindung dengan nama kebebasan.

“Kita hanya menyapaikan pendapat kok”, “Negara ini negara demokratis”, “Semua orang mempunyai kebebasan untuk menyuarakan pendapatnya” –adalah sederet pernyataan kelompok tertentu yang mengatasnamakan kebebasan, padahal isi dan tindak-tanduknya tak lain adalah provokasi.

Kenyataan inilah yang menjadi problem di era digital. Kita kesulitan membedakan mana opini publik dan mana opini pribadi tetapi mengatasnamakan publik. Kita sangat susah menyaring mana kebebasan yang tulus yang berangkat dari realitas masyarakatdan mana gagasan palsu yang membajak nama rakyat.

Sebagai negara demokrasi, tentu hak warga negara mengekspresikan pendapat di muka umum dilindungi oleh negara.  Hak itu dalam konstitusi dihormati. Namun demikian, hak berekpresi itu bukan tanpa cara dan etika. Ada tatacara, etika, kepatutan, dan hukum yang harus dipatuhi. Semua eksperesi kebebasan itu harus selalu dalam kerangka damai.

Kerangka Damai

Satu-satunya standar utama menilai mana kebebasan mana provokasi adalah damai. Damai di ini harus dimaknai sebagai kata kerja yang selalu berproses dan menuju bentuk yang ideal. Damai adalah kata koentji. Jika ada pendapat, opini publik, kebebasan atau entah apapun namanya tetapi tidak didasarkan pada kerangka damai, sejatinya itu adalah pendapat, opini, dan kebebasan yang perlu dipertanyakan.

Kebebasan yang hakiki adalah kebebasan yang  mengedepankan aspek-aspek kreatif dalam menyuarakan pendapat, berunjuk rasa, dan melakukan akasi tanpa bermuara pada bentuk aksi kekerasan. Suara-suara provokatif, aksi anarkis, tindak-tanduk yang menimbulkan kekerasan semuanya harus ditolak.

Penyampaian pesan berkeadilan yang tidak menimbulkan kesan provokatif dan kekerasan dapat dilakukan dengan cara kreatif. Dengan begitu, dapat menimbulkan simpati dari masyarakat untuk ikut menegakkan keadilan dalam berdemokrasi.

Jika semuanya berdasarkan pada kerangka damai,  simpatidan partisipasi  masyarakat akan segara muncul dan masyarakat akan segara mendukung. Tetapi jika sebaliknya, yang ada malah provokasi dan kekerasan, masyarakat akan antipati dan menolak keras. Dengan demikian, substansi adalah damai.

Solidaritas Kebangsaan

Kerangka damai itu dengan sendiri adalah khittah kebangsaan. Yakni bangsa yang bersaudara, bersatu, bertanggujawab, dan menghargai keberagaman. Poin-poin ini sangat relevan untuk kembali diaktualisasikan dalam laku kehidupan kita bersama. 

Pertama, persaudaraan. Sikap ini terlihat dari falsafah bangsa ini. semuanya adalah sudara yang harus saling membantu dalam segala hal. Tidak ada kelebihan antara satu suku dengan suku lain; antara laki dan perempuan; antara kaya dan miskin. Semuanya melebur menjadi warga sesuai dengan konsensus bersama.

Sikap persaudaraan itu juga harus menjadi teladan sesama anak bangsa untuk saling menghargai dan saling memberdayakan. Semua suku, etnis, ras, agama dan keyakinan semuanya adalah bersaudara. Bersaudara artinya sedarah, yakni sama-sama lahir dan hidup dalam bumi ibu pertiwi.

Setiap usaha yang bisa mencederai rasa persaudaraan sesama anak bangsa harus dilawan. Kasus rasisme, sentimen isu SARA, hubungan antara dan antar umat beragama harus tetap dirawat oleh segenap komponen anak bangsa. Jika ada provokasi, berita bohong, ujaran kebencian, dan polarisasi yang berpotensi terjadinya disintegrasi harus segera diakhiri. Kita harus meletakkan persaudaraan di atas segalanya.

Kedua, persatuan. Selanjutnya yang dibenahi adalah rasa persatuan. Kesatuan kita sebagai anak manusia yang hidup di bumi Nusantara ini harus tetap pada sikap saling menguatkan dan men-support, bukan saling merongrong dan menegasikan. Satu bahasa, satu bangsa, dan satu tanah air harus tetap dijaga bersama.

Kerja-kerja kolektif harus digalakkan, bahwa Indonesia adalah milik bersama, bukan milik sekelompok organisasi, partai politik, atau agama tertentu saja. Indonesia menaungi dan mengakomodir semua. Semuanya adalah warga-negara, yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Tidak ada kelas satu, dua, dan seterusnya; semuanya sama di depan hukum dan negara.

Ketiga, tanggungjawab. Setiap anak bangsa harus sadar bahwa tugas merawat, menjaga, dan memajukan negeri ini adalah tugas bersama. Kita harus saling bahu-membahu, saling memberdayakan, saling asah dan asuh dalam mewujudkan Indonesia yang lebih baik.

Ini adalah tanggungjawab kita bersama. Tanggungjawab itu harus kita pikul bersama. Semua anak bangsa harus berkontribusi dalam mewujudkan cita-cita luhur dan amanat UUD 1945.

Keempat, menghargai keberagamaan. Indonesia adalah kota heterogen, banyak suku, agama, dan latar belakang ekonomi-sosial yang berbeda-beda. Meskipun demikian, kita harus saling menghargai.

Nilai ini  harus terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Meskipun kita memiliki banyak suku, bahasa, budaya, adat-istiadat, kita tetap Indonesia. Semangat itu sudah disimpulkan oleh para pendiri bangsa dengan slogan bhineka tunggal ika.

dutadamaisumbar

Stop Ujaran Kebencian, Sebarkan Ujaran Mencerdaskan!

Previous article

Hentikan Siar Kebencian Berdalih Kebebasan

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Opini