Sumber Foto : Arsip DD Sumbar
Oleh : Onriza Putra
Ini kali ketiga saya berkunjung ke Tanah Batak. Provinsi yang tidak hanya kaya akan wisata dan budaya, tapi juga ragam bahasa dan agamanya. Bagi saya pribadi, berkunjung kesini nuansanya tidak sama dengan berkunjung ke daerah wisata yang ada di provinsi lain, saya merasa ada ikatan batin dengan Tano Batak.
Kunjungan pertama terjadi 7 tahun yang lalu, tepatnya Desember 2014. Perjalanan pertama ini kami sebut Tour Minang-Batak. Karena memang waktu itu konsepnya touring dengan sepeda motor. Perjalanan dadakan dan nekat ini memakan waktu lebih kurang 1 minggu. Memulai perjalanan dari Kota Padang, melewati Padang Panjang, Bukittinggi, Pasaman, Madina, Padang Sidempuan, Tarutung, Balige, Parapat, Simalungun, Pematang Siantar, Tebing Tinggi, Lubuk Pakam hingga Kota Medan. Tanpa perhitungan jadwal yang matang, akurasi waktu kedatangan di tiap-tiap kota/kabupaten tidak akan berjalan sesuai jadwal. Ini harus dilakukan mengingat perjalanan menggunakan motor dan kita akan melewati Jalur Lintas Sumatera Bagian Barat, yang dibeberapa titik berada di jalur Bukit Barisan. Cerita lengkap tour ini bisa dibaca disini (https://palalaindonesia.wordpress.com/2016/05/25/touring-minang-batak/)
Dibulan dan tahun yang sama, saya kembali mengunjungi Kota Medan. Memang kunjungan pertama dalam rangka mempersiapkan kunjungan kedua ini. Moda transportasi yang kita gunakan adalah Bus Wisata dengan peserta sekitar 40 orang. Jalur yang kita gunakan sedikit berbeda dari tour pertama. Dari Padang Sidempuan, bus berbelok arah menuju Jalur Lintas Sumatera Bagian Timur, tepatnya menuju Kota Kisaran/Asahan. Dari sini ke Kota Medan tinggal mengikuti Jalur Lintas Sumatera (Jalinsum). Saat pulang, jalur yang kami lewati adalah menuju Berastagi-Parapat-Balige-Tarutung dan seterusnya menuju Kota Padang.
Tahun 2021, tepatnya beberapa hari yang lalu, saya kembali mendatangi Parapat. Rute yang ditempuh sangat berbeda dan jarang diambil sebagai pilihan. Menggunakan transportasi udara dari Kota Padang menuju Jakarta, dari Jakarta menuju Sibolangit, Tapanuli Utara. Rute ini dipilih dengan pertimbangan tidak adanya rute penerbangan dari Kota Padang (BIM) menuju Sibolangit (DTB). Rute umum yang ada hanya BIM (Kota Padang) – KNO (Kota Medan), sayangnya lokasi yang saya tuju bukan Kota Medan, tetapi Danau Toba, Parapat. Jarak antara Kota Medan dan Danau Toba berkisar 5-6 jam.
Rute lain yang sebenarnya bisa diambil adalah jalur darat, bisa dari Kota Padang ataupun via Kota Pekanbaru. Opsi ini memang sengaja tidak diambil karena transportasi yang diminta adalah transportasi udara. Bahkan bisa saja dari SSK II (Kota Pekanbaru) – KNO (Kota Medan). Atau ada rute SSK II – Sibolangit?
Yang sama dari ketiga perjalanan ini ialah kunjungan ke Pulau Samosir, yang terletak di tengah-tengah Danau Toba dan secara administrasi menjadi bagian dari Kabupaten Samosir. Uniknya, saat kita naik kapal penyeberangan, sebenarnya kita sudah berpindah kabupaten, dari Kabupaten Simalungun ke Kabupaten Samosir. Langkah kaki pertama masuk pulau, kita akan disambut Desa Tomok dan berbagai tawaran wisatanya.
Berdasarkan keterangan pemandu, Bangso Batak bermula dari sini. Kemudian untuk penghidupan yang lebih baik, mulai berpindah-pindah dan terbagi-bagi. Menyeberangi danau dan mendiami beberapa tempat. Yang ke daerah Karo disebut Batak Karo, yang ke daerah perbatasan Aceh sebut Batak Fakfak, yang ke Simalungun disebut Batak Simalungun, yang ke Tapanuli disebut Batak Mandailing/Tapanuli. Sejarah juga mencatat, Parmalim sebagai agama lokal mulai tergantikan oleh agama lain seperti Kristen dan Islam. Di Desa Tomok, kita disuguhi Museum, Kuburan Raja, Rumah Adat, ,Tarian Sigale-Gale dan Pasar Oleh-Oleh.
Diawal saya mengatakan seakan-akan ada ikatan batin dengan provinsi ini, karena memang saya lahir dan besar di daerah yang berbatasan langsung dengan Sumatera Utara, tepatnya di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat. Sebagai daerah perbatasan, Pasaman menjadi pertemuan budaya Minang-Melayu-Batak, yang tidak hanya bersinggungan dibagian luar saja tetapi sudah mengakar ke bagian-bagian dalam/inti. Kalau lah misal inti nilai budaya adalah adat/kebiasaan, kebiasaan-kebiasaan masyarakat Pasaman hampir sama dengan masyarakat Tapanuli. Atau jika bahasa adalah nilai utama suatu kebudayaan, maka bahasa/logat di Pasaman berdiri sendiri, tidak berbahasa Minang dan tidak juga berbahasa Batak Mandailing/Tapanuli atau malahan campuran keduanya.
Persinggungan Minang dan Batak, khususnya penyebaran agama Islam ke utara, tidak terlepas dari Perang Paderi di awal abad 19. Gerakan pemurnian agama lslam yang dibawa oleh Tuanku Nan Renceh, Haji Miskin, Haji Sumanik, Haji Piobang dan lain-lain, berhadapan dengan adat Minangkabau yang masih berbalut kebiasaan lama. Konflik ini diperparah oleh politik etik yang dilakukan oleh Pemerintahan Kolonial. Di utara, “invasi” ini dilakukan oleh Tuanku Rao, Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai. Khusus Tuanku Rao (Rao adalah kecamatan terbesar di Pasaman), jejak sejarahnya tidak jelas dan kontroversial, terkait siapa dan bagaimana perjuangannya.
Dalam tulisan Ir. Mangaradja Onggang Parlindungan berjudul “Tuanku Rao”, Tuanku Rao adalah kemenakan Sisingamangaraja yang disia-siakan, yang berarti bahwa dia berasal dari marga Batak. Tulisan ini dibalas Buya Hamka dalam “Bantahan Terhadap Tulisan-Tulisan Ir. Mangaradja Onggang Parlindungan : Antara Fakta dan Hayal Tuanku Rao”. Menurut Hamka, Tuanku Rao adalah ulama Minangkabau. Sampai saat ini perdebatan ini masih belum selesai dan menyisakan tanya bagi anak cucu Tuanku Rao, termasuk saya.
Menyusuri Kaldera Toba bagi saya adalah wisata sejarah, tempat belajar dan menyaksikan perbedaan dengan saling menghormati satu sama lain. Seperti bangunan pintu dalam rumah adat Batak, didesign sangat kecil dan bertangga-tangga, agar kita menundukkan kepala saat masuk, yang dimaknai sebagai penghormatan kepada pemilik rumah.
Mari ke Danau Toba, danau yang melegenda, destinasi wisata andalan Sumatera dan Indonesia.
Comments