Moderasi di jadikan sebagai soluktif untuk menyokong perdamaian. Moderat merupakan lawan kata dari radika. Moderat di artikan sebagai wasatiyah atau penengah, damai, titik temu, pengurangan kekerasan dan pengurangan ekstrimisme. Agama menjadi nilai utama yang fundamental berfungsi sebagai kekuatan transcendental yang luhur dan mulia bagi kehidupan bangsa. Dan jika kita mejauhi tersebut akan menjadi radikal.
Di Indonesia moderasi menjadi sosuli ideal mengenai mekanisme kontriversi masyarakat. Moderasi sebagai penjaga keseimbangan parpurna bangsa. Untuk menghadapi situasi darurat yang mengancam ideologi masyaratat moderasi sebagai penengah harus kritis, vershen,emik,ideografis dan tidak di dikonsrtuksikan secara dangkal. Tidak untuk golongan tertentu saja tetapi semua golongan yang ada di Indonesia. Radikalisme sejatinya gerakan politik kekuasaan ekstrimis dan radikal yang muncul sebagai “jawaban” di balik ketidakadilan, kemiskinan, krisis ekonomi, korupsi. Semua problematika ini memunculkan satu pandangan yang terstruktur, sistematis dan doktrin yang reformis “anti” kepada sesuatu yang pernah membuat sejarah yang penuh dengan luka dan darah.
Menurut saya di Sumatra Barat sudah ada bentuk moderasi beragama. Itu dapat dilihat dari keelokan dan rasa kekeluargaan dan keterbukaan masyarakat. Adanya 6 agama dan tempat ibadah di Sumatra Barat. Itu sudah termasuk bentuk perwujudtan moderasi agama. Namun ya itu tadi perdebatan mengenai paham, kitab suci yang tidak bisa di anggap remeh karna fundamental yang dimilikinya dan di anggap begitu oleh masyarakat. Contoh kasus adanya kitab suci injil minangkabau kemarin. Masyarakat minangkabau meninjaklanjutkan ke pada provinsi menganggap tidak memiliki “kitab injil minangkabau” karena orang minang semuanya beragama islam. Menjadi bentuk perlindungan atas keyakinan masyarakat. Namun jika dilihat lebih jauh lagi adanya faktor politik indentitas yaitu untuk mendapatkan mayoritas dari pada minoritas.
Di Sumatra Barat sangat menjamin sekali kebebasan beragama. Tetapi tentu mayoritas umat islam diminang itu jumlahnya 98% dan 2% lain lain, tetapi tidak benar adanya deskriminasi dalam hubungan sosial. Dibangku sekolah ternyata antara anak muslim dan non muslim bisa berteman, bisa makan bareng, bisa main bareng tidak ada masalah, yang jadi masalah adalah pada golongan tua, golongan tua yang fundamental, golongan tua yang konserfatif, dan adanya Perda-Perda Syariah seperti memakai jilbab bagi non muslim, ini merupakan bentuk-bentuk intoleransi di Sumatra Barat. Tetapi secara sosial digenerasi muda atau generasi milenial tidak mengenal kasta-kasta, miyoritas minoritas. Jadi harapannya di 2021 kedepan Sumatra Barat itu sudah bisa menunjukkan bahwa persoalan agama itu adalah persoalan sepele, kita sudah terlalu ketinggalan untuk membahas ini, mungkin kalo ada gesekan satu dua dan tiga itu wajar, dimana manapun ada, seperti di Bali mendiskriminasi umat islam dan di Papua juga ada, tetapi di Sumatra Barat dari dulu sudah ada Kristen, Hindu, Budha tetapi tetap ada. Nah gesekan itu jangan dinilai seperti Perda Syariah tadi, seperti kitab injil tadi, menilai bahwa masyarakat Sumatra Barat intoleransi, ada intoleransi tetapi tidak sampai mendiskriminsi suatu agama agama tertentu. Kita punya Buya Agus Salim, Buya Hamka, Bung Hatta, Sjahrir, Yamin mereka itu founding father semua yang menciptakan rumusan dasar negara, rumusan pancasila dan lain sebagainya.
Saya melihat narasi-narasi Radikalisme yang dilemparkan kepada pihak minang kabau di Sumatra Barat adalah narasi politis, tidak bisa kita dasarkan perda syariah, kitab injil, bahasa minang yang dilarang itu semua bentuk dari Radikalisme itu tidak ada seperti itu. Fadli Zon dan Karni Iiyas mereka itu orang minang, apakah mereka teroris ? tidak juga apakah mereka musuh bangsa ? tidak juga, itu narasi politik yang mana ada partai tertentu yang tidak menang disana dan menggaungkanlah partai itu bahwa daerah minang intoleransi, daerah minang tidak mendukung pancasila, itu narasi politik. Sejatinya kalau mau jujur-jujuran sejarah minang itu berkata bahwa minang itu mempertahankan indonesia ketika Soekarno-Hatta ditangkap di Jogja waktu peristiwa PDRI, sehingga jangan sekali sekali menuduh Minang intoleransi karena yang intoleransi itu adalah yang menuduh bahwa minang intoleransi.
ditulis oleh : Gustia annisa
Comments