Ust. Andri Ardiansyah

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah nikmat kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari nikmat-Ku, maka pasti azab-Ku sangat pedih.”  (QS. Ibrahim (14);7) 

Pada bulan Agustus ini bangsa Indonesia kembali memperingati hari kemerdekaannya yang ke-76. Ketika kita membuka kembali lembaran-lembaran sejarah bangsa ini, maka kita akan menemukan jejak Islam di setiap lembarannya. Ya, jejak perjuangan kaum muslimin dan para ulama yang menentang penindasan dan mengagungkan nama Islam. Bahkan perjuangan kemerdekaan tersebut telah ada jauh sebelum terbayangnya sebuah komunitas bernama Indonesia. Jadi jelas, bahwa kemerdekaan yang hingga saat ini kita rasakan dan hari ini kita peringati, adalah berkat rahmat Allah. Oleh sebab itu semua harus mensyukuri berkah atau nikmat Allah ini dengan sebaik-baiknya.

Kata syukur berasal dari bahasa Arab, diambil dari kata “syukron” yang berarti terima kasih. Dalam bahasa Syari, syukur atau bersyukur adalah kewajiban seorang muslim terhadap Allah, atas segala nikmat yang diberikan-Nya, sebagaimana ditegaskan dalam kutipan ayat di awal tulisan ini. Mengucapkan kata syukur ini sangat mudah, tetapi dalam prakteknya sulit. Sebab bersyukur adalah melaksanakan segala perintah Allah, dan meninggalkan segala larangannya, serta menggunakan nikmat yang diberikan Allah itu untuk fi sabilillah (di jalan Allah).
Kenyataanya sulit mencari orang bersyukur ini. Mereka yang diberi amanah untuk menyelenggarakan negara ini juga banyak yang tidak bersyukur. Mereka masih senang mengerjakan yang dilarang Allah, dan meninggalkan yang diperintah-Nya. Tantangan terbesar bangsa ini adalah dari internal kita sendiri. Bangsa yang kaya sumber daya alam dan sumber daya manusia, tetapi rakyatnya masih belum hidup sejahtera. Sikap dan prilaku koruptif telah merajalela, mulai dari elit hingga rakyat jelata. Suap-menyuap telah menjadi budaya, sehingga mental bangsa menjadi rusak. Ini tantangan serius yang dihadapi bangsa ini. Para pejabat masih banyak yang korupsi, menyalahgunakan jabatan dan melanggar hukum. Padahal Allah telah mengingatkan kita dalam firman-Nya:
“Apabila datang pertolongan Allah berupa kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuanmu, dan mohonlah ampun kepadaNya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima Tobat”. (QS. An-Nashr 1-4)
Sebab turun (asbabun nuzul) surat ini adalah ketika Rasulullah menaklukkan kota kelahirannya yang sudah lama ditinggalkan. Waktu itu Rasulullah bersama panglima perangnya Khalid bin Walid berhasil menggempur pasukan kafir Quraisy, dan memperoleh kemenangan yang gilang gemilang. Waktu itu orang berbondong-bondong masuk Islam, yang dulunya membenci Nabi. Rasulullah SAW merasa gembira menyaksikan kenyataan itu. Pada waktu itu turunlah ayat dari Surah An Nashr itu, guna mengingatkan Rasulullah dan umat Islam, agar mereka mensyukuri nikmat kemenangan itu dan jangan lupa dengan Allah SWT.

Mensyukuri kemerdekaan adalah dengan mengisinya melalui pembangunan dan kemakmuran. Allah SWT mengingatkan kepada kita yang hidup saat ini agar jangan sampai mewariskan generasi yang lemah, yang tidak sejahtera hidupnya. Sebagaimana dahulu para pejuang kemerdekaan RI mewariskan kemerdekaan kepada kita.

Cara pertama yang bisa dilakukan untuk menyambut hari kemerdekaan ini adalah mensyukuri secara sungguh-sungguh dan sepenuh hati atas anugerah keamanan atas agama dan negara kita dari belenggu penjajahan yang menyengsarakan. Sebab, nikmat agung setelah iman adalah aman. Lalu, bagaimana cara kita mensyukuri kemerdekaan ini? Pertama, mengisi kemerdekaan selama ini dengan meningkatkan ketakwaan kepada Allah. Umat Islam Indonesia harus mensyukurinya dengan senantiasa mendekatkan diri kepada Sang Khaliq dan berbuat baik kepada sesama. Perlombaan yang paling bagus di momen ini adalah perlombaan menjadi pribadi paling takwa karena di situlah kemuliaan dapat diraih.

Yang kedua, mencintai negeri ini dengan memperhatikan berbagai kemaslahatan dan kemudaratan bagi eksistensinya. Segala upaya yang memberikan manfaat bagi rakyat luas kita dukung, sementara yang merugikan masyarakat banyak kita tolak. Sebaliknya, mencegah mudarat berarti menjauhkan bangsa ini dari berbagai marabahaya, seperti bencana, korupsi, kriminalitas, dan lain sebagainya. Inilah pengejawantahan dari sikap amar maruf nahi munkar dalam pengertian yang luas. Ajakan kebaikan dan pengingkaran terhadap kemungkaran dipraktikkan dalam konteks pembangunan masyarakat. Tujuannya, menciptakan kehidupan yang lebih harmonis, adil, dan sejahtera.

Al-Imam Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihya Ulumid Din, mengatakan: “Kekuasaan (negara) dan agama merupakan dua saudara kembar. Agama adalah landasan, sedangkan kekuasaan adalah pemelihara. Sesuatu tanpa landasan akan roboh. Sedangkan sesuatu tanpa pemelihara akan lenyap.”

Pernyataan Al-Ghazali ini seolah ingin menegaskan bahwa ada hubungan simbiosis yang tak terpisahkan antara agama dan negara. Alih-alih bertentangan, keduanya justru hadir dalam keadaan saling menopang. Negara membutuhkan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam agama, sementara agama memerlukan “rumah” yang mampu merawat keberlangsungannya secara aman dan damai.

Kita bersyukur dasar negara kita senafas dengan substansi ajaran Islam. Mensyukuri kemerdekaan adalah mensyukurinya dengan lisan-lisan kita, dalam bentuk kalimat tahmid, berterima kasih dan menyebut jasa serta mendoakan para pahlawan, semoga amalnya diterima Allah SWT. Menyebut jasa baik tersebut juga menjadi bagian dari syukur kita kepada Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang tidak berterima kasih kepada manusia, berarti tidak bersyukur kepada Allah” (HR. Abu Daud. Di-shahih-kan oleh Syaikh Ahmad Syakir).

Mensyukuri kemerdekaan adalah dengan mengisi masa kemerdekaan dengan amalan yang disyariatkan Allah Subhanahu wa Taala, dalam berbangsa dan bernegara, bukan dengan mengisinya dengan kemaksiatan kepadaNya. Dengan tegas Allah SWT telah memberi arahan kepada bangsa ini bagaimana seharusnya mengisi kemerdekaan dan mensyukuri nikmat kepemimpinan.

Allah SWT berfirman dalam surat Al-Hajj ayat 41,

”(yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat maruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” Kalimat ”kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi” dapat berarti suatu bentuk kemerdekaan dari penjajahan.

Mari kita syukuri kemerdekaan ini dengan mempertahankan keutuhan jati diri bangsa ini dengan nilai-nilai Islam yang tinggi dan cinta kepada negeri ini. Dengan itu, kita akan mampu meraih kejayaan dan meneruskan sejarah bangsa ini menjadi sebuah “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur“ yaitu sebuah negara dan bangsa yang meraih maghfirah (ampunan), kesejahteraan dan kedamaian. []

Ust. Andri Ardiansyah, Dosen Ibn Khaldun, Bogor

dutadamaisumbar

KETIKA DUNIA BUNGKAM, KAMI HARUS KEMANA?

Previous article

MAARIF Institute adakan Workshop Lintas Agama dengan Tema : Penguatan Kolaborasi Lintas Agama untuk Mempromosikan Toleransi dan Pencegahan Ekstrimisme Kekerasan

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Umum