Oleh: Yui

Bagaimana cara menilai bentuk profesional dalam bekerja? Apakah bertahan dalam lingkup kerja yang penuh dengan manusia-manusia sampah? Apakah harus makan hati setiap si empu pemilik kuasa tertinggi membuat status sindiran? Atau apakah harus bertahan karena upah besar, padahal harga diri diinjak-injak layaknya tuan memberi anjing makan dengan tai manusia?

Lucu memang jika berbicara mengenai profesional dalam bekerja. Bukan tanpa sebab, ada manusia yang bisa bertahan untuk sesuap nasi, ada manusia yang mementingkan harga diri. Toh, setiap pekerjaan ada rezeki, pun termasuk pekerjaan yang hina.

Beberapa waktu lalu, ada dua manusia yang bercerita denganku mengenai masalah pekerjaan mereka. Patut diketahui, mereka bekerja bukan di perusahaan besar, bukan pula di perusahaan ternama, anggap saja,  mereka bekerja di tempat yang disebut pelarian. Pelarian dalam masalah sehari-hari yang tidak bisa diakhiri dengan mengakhiri nyawa.

Manusia pertama memiliki masalah ekonomi yang cukup genting. Sayangnya, dia bekerja di lingkungan yang penuh dengan manusia-manusia sampah. Apa yang dia lakukan? Menjilat lebih dalam seperti anjing, menurunkan harga diri, membiarkan hina datang pada diri. Miris, benar-benar miris.

Dia memang melakukan itu, tetapi bersumpah dalam diri akan membeli mulut-mulut sampah itu jika sudah sukses. Iya, itu angannya. Akan tetapi, dia masih begitu saja, makan ala kadarnya, mengumpat tiada kira.

Aku hanya memberikan saran. Tetaplah bertahan jika itu membuatmu senang. Bahkan, manusia zaman sekarang bekerja layaknya kerbau dan kuda. Dua binatang itu disuruh bekerja terus menerus, sedangkan makan tetap segitu jua. Tidak berlebih, palingan kurang yang ada. Dia terdiam, aku terbahak-bahak.

Ucapku lagi, tidak perlu menjatuhkan harga diri di depan manusia yang tidak tahu diri. Melihat manusia itu menjilat, mengingatkanku pada anjing yang menjilat tuannya untuk sebongkah tulang kering. Sungguh miris perlakuan si tuan, kasihan pula si anjing yang sudah hina dari awalnya di mata si tuan.

Masuklah pesan dari manusia kedua. Dia tidak memiliki masalah ekonomi, tetapi beban dalam hidup sungguh luar biasa. Tidak banyak dia bercerita kepada orang lain. Karena aku bukan orang lain, berceritalah manusia ini dari pagi hingga malam, dari Palung Mariana hingga Langit Tujuh. Aku yang mendengar, sedikit iba. Akan tetapi, ibalah aku karena bekerja layaknya bermain-main. Jika ada panggilan, aku bekerja, jika tidak, aku ongkang-ongkang kaki.

Manusia kedua memiliki upah yang lumayan, tetapi, ya, namanya juga bekerja seperti diriku, tentu tidak terikat pekerjaan apa pun. Lingkungan tempat dia bekerja tidak terlalu sampah, tetapi banyak juga manusia sampah yang senang sindir menyindir tanpa tahu bagaimana orang lain untuk bertahan hidup.

Puncak komedi, manusia kedua meminta saran kepadaku. Ia telah lelah dalam beberapa hal dan ingin fokus untuk menata hidup. Dia ingin keluar dari tempatnya bekerja, padahal dia baru saja memegang satu projek yang katakanlah tidak terlalu besar.

Aku sampaikan baik-baik, “Jangan keluar karena pekerjaan itu tanggung jawabmu. Kamu tahu aku, bukan? Aku manusia yang menilai seseorang dari tanggung jawab. Maka dari itu, peganglah pekerjaan itu walaupun kamu tidak mampu.”

Manusia kedua menarik napas dalam. “Pekerjaan itu baru saja dimulai, temanku mau mengambil alih. Aku bukan lari dari tanggung jawab. Jika aku lari, tidak akan aku berikan pekerjaan itu ke teman satu timku. Bukankah kamu tahu bahwa upah yang aku terima bisa membuatku makan satu minggu? Aku sudah memberi tahu kepada tuan rumah. Tuan rumah mempersilakan aku pergi baik-baik karena aku datang pada saat itu dengan baik-baik.”

Aku terdiam saat manusia ini membahas panjang lebar masalah hidupnya. Aku akhiri percakapan malam itu dengan wejangan manis, “Keluarlah dari rumah jika itu membuatmu tenang dan damai. Akan tetapi, jika ada anjing yang menggonggong dan menyalak, tutuplah telingamu serapat mungkin. Terkadang anjing-anjing yang menyalak di malam hari, ingin memberi tahu bahwa dirinya berkuasa di wilayah itu. Jika dilihat dengan mata telanjang, dia masih pesuruh si tuan rumah. Akan tetapi, lagaknya seperti tuan rumah.”

Manusia kedua tersenyum senang, lalu memberi tahu kepada tuan rumah mengenai keadaan hati. Dengan derai air mata dan sedikit rasa kecewa, dia keluar dari rumah. Kesenangan yang pernah didapatkan dari rumah tersebut, harus sirna. Mungkin, jika tidak ada masalah, dia tetap bertahan.

Sayang seribu kali sayang, benar adanya. Anjing pun menggonggong dan ada pula yang hampir menggigit. Binatang-binatang itu terlihat membabi buta dan sangat menakutkan. Beruntung binatang itu terikat dengan tali. Jika tidak habislah manusia lain digigit.

Manusia kedua mendekati anjing dengan liur paling banyak, sepertinya anjing itu memang haus bangkai manusia. Manusia kedua berkata dengan lemah lembut, bagaimana tidak lemah-lembut, anjing yang didatangi pernah dekat dengan manusia kedua, bahwa hidupnya benar-benar harus ditata lagi.

Apa yang didapat oleh manusia kedua ini? Anjing itu terus menyalak dan menyalak, seakan-akan memberi tahu bahwa manusia kedua ini tidak profesional dalam bekerja. Bahkan, lucunya, sepertinya anjing lapar itu seolah-olah berkata bahwa dirinya pembuat masalah sehingga manusia kedua keluar dari rumah tersebut.

Sebenarnya dapat diakui bahwa anjing ini memang terlibat dalam masalah manusia kedua. Sejak manusia kedua dekat dengan anjing pemilik air liur terbanyak ini, ada manusia yang ingin mendekati anjing ini pula. Anjing ini seolah-olah lupa harga diri dan memainkan pantat di depan manusia lain untuk mencari kesenangan. Mungkin si anjing ini berpikir bahwa dirinya adalah rubah ekor sembilan yang bisa menarik perhatian orang banyak.

Sudah-sudah tinggalkan itu. Berbicara tentang anjing, tidak akan ada habisnya. Beda rumah, beda pula anjing penjaga. Beda tuan, beda pula sikap anjing penunggu.

Manusia kedua mengirim pesan singkat mengenai gonggong si anjing. Aku tertawa lagi. Bukankah sudah kukatakan dari awal untuk menutup telinga. Dia saja yang bebal karena tidak mengindahkan nasihatku.

Manusia kedua bertanya mengenai profesional dalam bekerja, dan aku menjawab bahwa profesional itu tidak harus menyelesaikan pekerjaan yang ada di tangan dengan menjatuhkan harga diri. Kuberi tahu manusia ini bahwa tidak perlu menjadi anjing untuk menjilat, tidak perlu menjadi kuda untuk membawa beban berat, tidak perlu menjadi bunga bangkai di hadapan orang lain, tampak indah di luar, menakutkan di dalam. Jadilah dirimu sendiri. Setiap pekerjaan ada risiko, setiap manusia yang hidup, pasti ada masalah.

Aku tambahkan lagi wejangan itu dengan sedikit untaian yang mungkin menggelitik hati.

“Kamu keluar dengan baik-baik. Kamu carikan manusia lain yang mau mengambil alih pekerjaanmu. Itu merupakan tanggung jawabmu kepada tuanmu karena kamu yang pernah memulai pekerjaan itu dulunya. Toh, jika dilihat-lihat, pekerjaanmu di sana tidak terlalu penting, hanya pesuruh yang bertugas mengumpulkan kertas. Jika kertas sesuai pesanan, tuanmu senang, kamu mendapatkan upah. Pekerjaanmu tidak membuat sistem di rumah itu rusak. Kamu hanya orang luar yang disuruh singgah dan diberi upah.”

Dia murung dan berkata, “Akan tetapi, anjing yang kutemui seolah-olah berkata bahwa aku tidak profesional dalam bekerja. Aku lepas dari tanggung jawab dan membuat orang kalang kabut.”

Wah, aku baru tahu jika temanku ini paham bahasa binatang. Akan tetapi, tidak dipungkiri juga bahwa terkadang aku juga paham bahasa binatang. Buktinya, sering aku berbicara dengan mereka walaupun tidak pernah diindahkan sedikit pun.

Aku ucap dengan pelan, “Itu gonggong anjing, tidak perlu digubris. Jika kamu menjawab, takutnya tidak hanya gonggongan yang kamu dapat, melainkan gigitan dan hal buruk lainnya.

Yui
Penulis dan Pengarang

    Suara-Suara dari Tuan-Tuan yang Kehilangan Harga Diri

    Previous article

    Pemilu Damai : Debat Hebat Tanpa Saling Babat

    Next article

    You may also like

    Comments

    Leave a reply

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    More in Cerpen