Oleh: Suyadi

Sumber Gambar : Dokumen Pribadi

Baru-baru ini masyarakat Indonesia kembali di hebohkan dengan berita yang terindikasi praktik atau perbuatan intoleransi, hal tersebut tentunya memicu kemarahan dari berbagai kalangan masyarakat. Kemarahan bermula dari beredarnya video di media sosial yang memperlihatkan seorang pria dengan rompi hitam dengan Lambang Merah Putih didadanya melempar dan menendang sesaji yang terletak di tepian sungai bekas aliran lava Gunung Semeru di daerah Lumajang Jawa Timur. Sebelum aksi itu dilakukan pria tersebut sempat mengucapkan bahwa masyarakat tidak sadar jika kegiatan tersebut memicu kemarahan Allah. Kemudian pria tersebut juga membuang sesaji yang terletak di Pura. Video viral tersebut juga sudah di unggah ke YouTube oleh akun berita yang cukup ternama seperti Tribun Timur maupun Kompas TV.

Pimpinan Pengurus Prajaniti Daerah Jawa Timur melaporkan tindakan tersebut ke pihak yang berwajib untuk dapat menangkap pelaku dan di proses secara hukum, karena hal tersebut dianggap telah menciderai Budaya Bangsa yang di wariskan oleh nenek moyang serta melakukan penodaan terhadap Agama Hindu, dengan membuang sesaji yang di katakan di Pura yang merupakan salah satu sarana peribadatan Agama Hindu.

Berkat kerja keras dari pihak terkait akhirnya pelaku pelemparan dan penendangan sesaji dapat di tangkap, pelaku berisial HF ternyata masih menyandang status sebagai mahasiswa. Kini perlu sedang menjalani proses hukum, namun demikian ada kelompok yang sangat menyayangkan hal tersebut dan menganggap pihak kepolisian terlalu dini jika pelaku diproses secara hukum.

Pada kesempatan ini, pertama-tama penulis ingin mengkoreksi pelaku HF. Pelaku HF sebagai generasi penerus bangsa yang kini menyandang status sebagai mahasiswa seharusnya menjadi orang yang cerdas dan penuh toleransi, apa jadinya Negara Kesatuan Republik Indonesia jika kelak di kemudian hari di pimpin oleh generasi yang intoleran? Niscaya persatuan dan kesatuan bangsa yang sudah di perjuangkan dengan harta, darah, kelurga, bahkan kelurga dari para pejuang kemerdekaan akan menjadi sia-sia. Penulis juga jadi ingat kata-kata yang pernah di ungkapkan oleh Presiden Pertama Republik Indonesia Soekarno mengatakan “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, Perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”.

Kata-kata tersebut nampaknya benar adanya, banyak sekali ujaran-ujaran kebencian atau diskriminasi yang terjadi di lingkungan masyarakat terkait perbedaan Suku, Budaya, Ras, Agama, maupun perbedaan pandangan Politik. Tentunya kita juga masih ingat berapa kali Bumi Pertiwi menangis karena telah terjadi perang saudara antar Suku maupun antar Agama.

Sebagai mahasiswa yang terpelajar hendaknya HF paham akan sejarah, bahwa sebelum keenam Agama Besar yang di akui oleh Pemerintah Indonesia, Bumi Pertiwi ini telah memiliki sistem kepercayaan dengan menyembah Gunung, Goa, Laut, Hutan ataupun pohon-pohon besar. Para leluhur bangsa mengajari anak cucunya untuk menghormati dan menjaga alam dengan cara sederhana, melalui sesaji maupun ungkapan kata pamali.

Nenek moyang bangsa Indonesia meletakkan sesaji di bawah pohon agar anak cucunya tidak merusak / menebang pohon bahkan hanya sekedar untuk kencing dibawah pohon tersebut, Nenek moyang kita sadar dan tahu jika Pohon ditebang sembarang akan mendatangkan bencana alam seperti banjir maupun tanah longsor. Tetapi kini ketika banyak generasi penerus bangsa yang katanya lebih berpikir maju justru membawa kerusakan pada lingkungan. Pohon ditebang sembarang, gunung jadi gundul semua demi kekayaan yang berimbas pada bencana alam.

Pelaku HF juga harusnya sadar, dirinya menggunakan rompi dengan simbol bendera Merah Putih yang merupakan bendera Indonesia lambang kebanggaan, lambang pemersatu segala perbedaan. Tapi sepertinya pelaku HF tidak paham akan arti bendera merah-putih, dan justru memaknai simbol di rompinya sebagai aksesoris semata atau untuk tampil lebih gagah.

Selanjutnya penulis juga ingin mengkoreksi kelompok yang mengatakan bahwa kasus tersebut dibawa ke jalur hukum sebagai hal yang prematur sepertinya juga tidak tahu dan tidak paham tentang adanya undang-undang pencemaran agama, dan kelompok ini juga sepertinya tidak tahu tempat peribadatan agama-agama di Indonesia itu apa dan seperti apa bentuknya.

Penulis berharap agar aparat penegak hukum dapat menjalankan tugas dan fungsi nya sebagai mana mestinya, dan tidak berat sebelah dalam menangani kasus yang berkaitan dengan budaya maupun agama. Penulis juga berpesan kepada generasi penerus bangsa, jadilah mahasiswa yang cerdas, perkaya literasi dan cari sumber literasi yang terpercaya. Jika dirimu menggantungkan semuanya pada satu buku, tak ubahnya dirimu seperti katak dalam tempurung.

Suyadi

Jeritan Suara Perempuan Mentawai

Previous article

Perjumpaan Etnis di Kota Padang

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Opini