Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik secara resmi di terapkan pada tahun 2008. Selama penerapannya UU ITE telah banyak mendapat sorotan dari berbagai pihak di indonesia mulai dari orang berkedudukan rendah sampai pada individu yang memiliki kedudukan tertinggi di negeri ini. UU ITE bagi sebagian orang dianggap mengekang kebebasan berpendapat di negara dengan corak demokrasi. Dilain pihak ada sebagian masyarakat yang beranggapan UU ITE dinilai sangat bagus untuk pelajaran bagi warga negara indonesia bagaimana seharusnya cara mengemukakan pendapat di depan umum.

UU ITE kembali menjadi sorotan akhir-akhir ini karena statment dari orang nomor satu di negeri ini yaitu presiden Joko Widodo. Jokowi menyebutkan jika UU ITE menjadi penghambat dalam kebebasan berpendapat di negeri ini maka sudah seharusnya DPR RI merevisi undang-undang tersebut. Banyak tanggapan dari statment presiden Jokowi tersebut, ada yang menanggapi positif dan ada juga yang menanggapi negatif.  Namun kita kesampingkan tanggapan tersebut dan kita fokuskan pada pelajaran apa yang didapat dari Penerapan UU ITE selama lebih dari 12 tahun tersebut.

Berdasarkan laporan dari Institute for Criminal Justice Reform, terdapat problematika pada Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (1) UU ITE, karena sejumlah istilah dalam pasal tersebut, seperti mendistribusikan dan transmisi, merupakan istilah teknis yang dalam praktiknya tidak sama di dunia teknologi informasi dan dunia nyata. Model rumusan delik dalam Pasal 27 ayat (3) ko. Pasal 45 ayat (1) UU ITE membawa konsekuensi tersendiri karena pada praktiknya pun Pengadilan memutuskan secara berbeda-beda terhadap rumusan delik tersebut.

Berdasarkan paparan dari Southeast Asia Freedom of Expression Network, beberapa persoalan terhadap UU ITE adalah Pasal 27 hingga Pasal 29 UU ITE dalam bab Kejahatan Siber, dan juga Pasal 26, Pasal 36, Pasal 40, dan Pasal 45. Persoalan yang terdapat di antaranya adalah mengenai penafsiran hukum, dimana rumusan pasal-pasal dalam UU ITE tersebut tidak ketat (karet) dan tidak tepat serta menimbulkan ketidakpastian hukum (multitafsir).

Selain itu, pada penerapannya, kurangnya pemahaman Aparat Penegak Hukum di lapangan. Terakhir adalah dampak sosial yang ditimbulkan, dimana pasal-pasal tersebut dapat menimbulkan konsekuensi negatif seperti ajang balas dendam, barter kasus, serta menjadi alat shock therapy dan memberi chilling effect.

Penerapan UU-ITE memiliki dua mekanisme dan bergantung pada peristiwa hukum yang terjadi. Hanya saja perdebatan yang kerap kali terjadi adalah penentuan unsur kerugian, apakah bentuk kerugian itu harus berupa materi atau bentuk kerugian bisa termasuk kerugian imateril. Dalam hal ini seharusnya bentuk kerugian haruslah nyata, namun demikian tidak harus material, bisa juga reputasi. Hal ini didasarkan pada argumentasi bahwa aturan hukum bentuknya kongkret yang digunakan untuk menjawab permasalahan kongkret. Oleh sebab itu ketika menentukan suatu jenis kerugian, maka kerugian tersebut haruslah kongkret, bukan hanya berdasarkan pada apa yang dirasakan olehnya secara subjektif.

Pada akhirnya UU ITE menjadi pelajaran penting bagi bangsa indonesia bahwa setiap undang-undang yang ada dapat dipakai untuk meraih kepenting tertentu oleh inividu, kelompok ataupun pemerintahan. Ketika kebebasan berpendapat hanya dibiarkan tanpa ada koridor-koridor tertentu maka lambat laun kebebasan berpendapat akan menjadi bom waktu di kemudian hari. Namun ketika koridor telah dibentuk melalui undang-undang atau peraturan, suatu saat dapat dipakai alat untuk menjerat seseorang yang telah keluar dari koridor tersebut.

Dapat disimpulkan bahwa UU ITE masih belum sempurna dan sudah saatnya UU ITE direvisi agar sesuai dengan perkembangan zaman dan dapat mengakomodir kebebasan berpendapat di negeri ini. Seharusnya setiap warga negara indonesia yang mengunakan media sosial dan sering mengemukakan pendapat di jejaring sosial harus lebih memahami akan keberadaan UU ITE ini. Agar UU ITE tidak hanya menjadi alat untuk saling melaporkan karena tindakan berpendapat di depan umum yang kebablasan sehingga menimbulkan kerugian baik secara materil atau non materil terhadap orang lain.

Gusveri Handiko
Blogger Duta Damai Sumbar Tamatan Universitas Andalas Padang Menulis Adalah Salah Satu Cara Untuk Berbuat Baik

    Husein Hadar : Menyebar Perdamaian Merupakan Bentuk Dakwah

    Previous article

    Perkuat Silaturahmi, Duta Damai Sumbar Kunjungi FKPT Sumatera Barat

    Next article

    You may also like

    Comments

    Leave a reply

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    More in Edukasi