Siang itu waktu bagian Malaysia, karena memang saya lagi berada di negeri Jiran Malaysia untuk beberapa urusan. Tiba-tiba saya menerima notif pesan singkat dari grup Whatshapp, tepatnya grup alumni Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif angkatan dua tentang kabar bahwa pendiri Maarif Institute tersebut telah tiada, kabarnya beliau menghembuskan nafas terakhir di salah satu rumah sakit di kota Jogjakarta, di mana beliau tinggal bersama keluarga beliau.

Awalnya saya tak percaya, bahwa kabar itu benar, karena memang dari beberapa sumber yang saya ikuti dari berbagai media perihal beliau, memang beliau dikabarkan sakit waktu itu, tapi kondisi beliau sudah mulai membaik, itu kabar yang saya peroleh dari teman-teman yang memang cukup dekat dengan beliau. Rasa tidak percaya saya, akhirnya membuat saya menghubungi beberapa teman dan juga mencari berita tentang beliau, dan seketika itu salah satu pihak dari Maarif Institute membenarkan kabar tersebut adalah benar, masih tidak percaya donk, saya pikir teman-teman lagi bercanda.
Akhirnya saya buka media yang menyiarkan tentang kabar bahwa beliau memang telah tiada, seketika air mata saya  langsung berlinang dan mulai membasahi pipi akibat rasa tidak percaya, bahwa beliau telah tiada. Mungkin kedengaran klise, saya yang bukan siapa-siapa beliau, mungki  tidak sedekat orang-orang di luar sana dengan beliau, tapi tak kuasa menahan air mata ketika mendengar kabar beliau telah tiada.
Bagi saya, beliau adalah salah satu tokoh intelektual muslim Indonesia yang juga ikut andil dalam transformasi pemikiran saya akan makna keberagaman Indonesia ini sesungguhnya. Jujur, dulu sebelum saya bisa bertemu dan berdiskusi dengan Buya, saya adalah salah satu anak muda yang ikut kekeh untuk menegakkan negara Islam di Indonesia atau yang sering kita dengar sebagai pengusung sistem khilafah di Indonesia, karena memang saya belum banyak bersentuhan dengan bacaan-bacaan dan pengalaman bertemu dengan mereka yang berbeda, sehingga minim sekali akan makna keberagaman Indonesia ini secara praktik, begitupun ketika Buya memberikan tanggapan perihal kasus Ahok beberapa waktu lalu yang begitu viral di Indonesia. 
Sayapun juga menjadi salah satu pembenci statement Buya yang seolah lebih mendukung mereka yang minoritas. Tanpa unsur periksa terlebih dahulu, memang benar kata orang, kalau dalam hati hanya dipenuhi rasa benci terhadap sesuatu dan seseorang, maka tidak akan mau menerima pendapat orang lain tersebut, sekalipun itu benar. Hingga suatu hari, tepatnya di akhir 2018 lalu, Tuhan memberikan kesempatan kepada saya bisa bertemu langsung dengan Buya di masjid dekat kediaman beliau, di Nogotirto, Jogyakarta. 

Itulah pertemuan perdana saya dengan Buya yang memang face to face, bisa berdiskusi secara langsnung dengan beliau, menerima nasehat beliau, melihat beliau yang begitu taat dengan Tuhannya, sosok sepu yang begitu sederhana, berwibawa, lembut, dan terlihat selalu semangat jika sudah mulai bicara, walaupun pada saat itu beliau dalam kondisi sakit. Tak sampai disitu, dengan kebaikan beliau, beliau memberikan saya akses untuk memperoleh buku-buku beliau yang memang sangat saya butuhkan dalam pembuatan tesis kala itu. Hingga beliau mengarahkan saya untuk ke MI, sehingga hampir semua buku-buku beliau yang mungkin saat ini tidak lagi dperjual belikan di pasaran, saya miliki, lagi-lagi, semua itu adalah atas kebaikan hati beliau.


Singkat cerita, ternyata itu bukan pertemuan terakhir saya dengan Buya, semesta kembali mempertemukan saya dengan Buya dan diskusi kembali, tepatnya di kantor pusat PP Muhammdiyah Jakarta, hingga pertemuan itu membawa saya menjadi salah satu alumni dari SKK ASM MI angkatan 2, yang semakin membuat saya merasa terhormat adalah MI memberikan kepercayaan kepada saya untuk menjadi bagian dari perayaaan milad Buya yang ke-85 dan ke-86, yang ternyata itu adalah perayaan terakhir untuk beliau, karena diumur beliau yang ke-87, Tuhan telah memanggil beliau lebih dulu.
 
Buya, surat ini saya tulis untukmu, dari seorang anak muda yang berasal sama dengan daerah lahirmu, yaitu ranah Minang, walaupun saya tahu, jamak masyarakat Minang yang salah kaprah akan perjuanganmu perihal kemanusiaan. Buya, terima kasih telah menyadarkanku bagaimana memanusiakan manusia di tengah-tengah kemajemukan bangsa ini. Terima kasih telah telah menjadi inspirasi akan makna kesederhanaan bagi jamak orang, mengajarkan arti pentingnya literasi walaupun usia tak lagi lekang oleh waktu, sepertimu yang tetap produktif dan gelisah di usia yang seharusnya digunakan leye-leye oleh mereka seusiamu. Selamat jalan Buya, teruslah menjadi pelita bagi generasi muda bangsa ini, kini, esok, dan nanti.

Ranah Minang, 23 Juni 2022

Nuraini Zainal

Waspada Brain Frog!

Previous article

Hari Anti Narkoba Internasioal

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *