Ahmad Syafii Maarif atau lebih dikenal dengan sebutan Buya Syafii merupakan mantan Ketua Umun PP Muhammadiyah yang mendapat gelar sebagai Bapak Moral Bangsa. Disamping itu, beliau juga dikenal sebagai tokoh lintas agama, beliau merupakan salah satu dari “Tiga Pendekar dari Chicago” yang terkenal dengan sosok-sosok penggerak toleransi antar umat beragama di Indonesia, tak terkecuali Buya Syafii Maarif. Baginya, keberagaman adalah sunnatullah yang tak bisa kita pungkiri, kita harus menerima dengan hati lapang dan terbuka bahwa Indonesia adalah negara yang plural, dari segi suku, ras, bahasa, adat, tradisi, bahkan agama.

Untuk itu sebagai makhluk sosial yang hidup dalam keberagaman ini maka kita harus mengedepankan sikap terbuka dan adil terhadap semua perbedaan yang ada. Memberikan hak serta kebebasan kepada penganut agama lain untuk mengekspresikan keberagamaannya, sehingga dengan demikian akan tercipta perdamaian antar sesama manusia.
Kebebasan beragama pada hakikatnya adalah dasar demi terciptanya kerukunan antar umat beragama.

Tanpa kebebasan beragama tidak mungkin ada kerukunan antar umat beragama. Kebebasan antar umat beragama adalah hak bagi setiap orang, untuk itu dengan mengakui dan memberikan kebebasan kepada setiap orang dalam menjalankan agamanya adalah salah satu bentuk toleransi yang perlu kita lestarikan, agar setiap penganut beragama bisa saling menghargai satu sama lainnya.


Satu tahun yang lalu, saya berkesempatan berdiskusi secara langsung bersama Buya Syafii di masjid Nogotirto di kediaman beliau.

Awalnya pertemuan saya dengan beliau adalah sebagai salah satu tugas untuk menyelesaikan wawancara tesis saya yang kebetulan meneliti tentang Humansime Buya Syafii Maarif. Dengan modal nekad saya langsung terbang ke Yogyakarta untuk menemui beliau. Kenapa saya bilang nekad? Karena memang saya tidak melakukan perjanjian terlebih dahulu untuk mewawancarai Buya.


Sesampainya di Jogya saya ditemani oleh dua orang teman saya yang kebetulan sedang kuliah megister di salah satu kampus di sana. Di sore hari yang disertai cuaca yang agak mendung, kami bertiga menelusuri kota Jogya hingga sampailah kami di perumahan Elok II Nogotirto Yogyakarta tepatnya rumah kediaman sang Buya. Bermodalkan arahan dari penduduk setempat akhirya kami menemui rumah Buya yang kelihatannya begitu nyaman, rumah minimalis berwarna coklat kala itu semakin asri dengan adanya tumbuhan bunga-bunga yang berjajar rapi di teras rumah tersebut, serta kursi-kursi yang mungkin saja sudah diduduki oleh berbagai tokoh-tokoh penting di negeri ini untuk sekedar sowan bersama Buya.


Singkat cerita saya dan teman-teman mendapatkan izin untuk bisa berdiskusi bersama beliau di Mesjid dekat rumahnya setelah selesai Magrib. Setelah magrib, saya dan teman-teman langsung memperkenalkan diri kepada Buya serta maksud dan tujuan untuk bertemu Buya. Sebenarnya untuk ketemu Buya tidaklah terlalu sulit bagi siapapun yang ingin sekedar berdiskusi bersama beliau, sebab beliau adalah salah satu tokoh cendikiawan Muslim Indonesia yang sangat mudah ditemui tanpa adanya perjanjian terlebih dahulu. Biasanya jika Buya tidak sedang keluar kota, Buya selalu menghabiskan waktu magrib dan isyanya di masjid Nogotirto tersebut, sehingga akan mudah untuk menemui beliau di sana.


Jujur saja, pertama kali bertemu beliau secara langsung saya begitu takjub dengan kesederhanaan serta kesholehan beliau. Dengan sikap ramah serta tubuh yang mulai ditopang tongkat akibat umur yang sudah mulai dimakan usia beliau masih saja semangat untuk berbagi cerita dan berdiskusi apapun. Saya merasa beruntung bisa berdiskusi langsung bersama beliau, banyak sekali pencerahan yang Buya berikan kepada saya dan teman-teman perihal toleransi serta menyikapi perbedaan-perbedaan yang ada di negeri ini. sepanjang diskusi saya dengan Buya, beliau selalu menekankan kepada saya sebagai anak muda harus mengambil andil untuk menjadi pencerah di negeri yang berbhineka ini.


Keadilan adalah salah satu tonggak utama yang mesti kita terapkan dalam perbedaan ini ujar Buya, sebab tanpa keadilan maka kita takkan mampu memberikan kebebasan kepada orang yang berbeda untuk melakukan keberagamaannya secara penuh. Serta sikap lapang dada harus kita kedepankan untuk merajut keberagaman ini. menurut Buya Syafii keadilan adalah hak setiap orang, dan sebagai mayoritas sudah tugas kita memberikan hak itu kepada minoritas agar mampu bersikap saling menghormati satu sama lain.

Jika kita mampu bersikap adil kepada semua orang maka negeri ini akan jauh dari permasalahan-permasalahan agama yang sebenarnya sudah selesai secara teori, karena masih banyak lagi persoalan-persoalan krusial yang harus menjadi konsen utama kita dinegeri ini selain permaslahan agama, yaitu perihal kemiskinan dan kesejahteraan masyarakatnya.

Walau pada praktiknya hari ini, isu agama tetap saja menjadi topik hangat untuk dibicarakan. Semoga kita mampu meneladani sikap Buya Syafii Maarif ini dalam melestarikan toleransi dengan keadilan serta lapang dada dalam menyikapi setiap perbedaan ini, sehingga tiada lagi perpecahan atas nama agama, namun sebagai mayoritas kita diharapkan mampu menjadi pelindung bagi minoritas, serta saling bersinergi untuk menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa ini.

Nuraini Zainal

Makna Keris Minang Di Depan di era globalisasi

Previous article

ISIS Yang Hancur, Ideologinya?

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Opini