Kelompok radikal terorisme selalu memproduksi narasi yang bisa memprovokasi masyarakat dengan memanfaatkan sentimen agama sehingga masyarakat mudah terpecah-belah. Hal demikian bukanlah suatu candaan, melainkan fakta yang berbicara.
Kita tentunya masih ingat setiap kali ada kasus yang melibatkan isu agama, maka kelompok radikal selalu menungganginya. Misalnya dalam isu Covid-19 seperti yang saat ini terjadi. Bahwa lamanya wabah Covid-19 menyebabkan kebosanan karena pembatasan terjadi di mana-mana.
Kondisi masyarakat yang sudah mulai jenuh itu sangat ideal bagi kelompok radikalis untuk menyulut emosi masyarakat. Benar saja, di tengah wabah, justru narasi provokasi begitu meninggi. Upaya-upaya yang mengarah pada pembangkangan sudah mulai tercium, bahkan sudah terlihat jelas.
Kita lihat media sosial hari ini, isu Presiden Jokowi mundur (masih) menggema. Bahkan, ketika Presiden Jokowi melakukan sidak di beberapa apotek dan menemukan bahwa telah terjadi kelangkaan obat-obatan Covid-19 di sejumlah apotek, malah dibelokkan menjadi sebuah kegagalan pemerintahan saat ini.
“Harusnya Presiden menenangkan rakyat dengan menunjukkan obat-obatan tersedia. Kalau Presiden menunjukkan sebaliknya, yakni memamerkan tak ada kesediaan obat, bukankah berarti pemerintahannya gagal menyediakan obat untuk rakyat?” begitu diantara narasi provokasi yang menghiasi media sosial.
Jelas bahwa narasi di atas sangat memprovokasi rakyat. Justru narasi-narasi seperti ini yang menjadikan pandemi ini semakin bertambah lama karena masyarakat tidak lagi fokus pada penerapan prokes ketat, melainkan justru berdebat dan ‘cek-cok’ di media sosial.
Padahal, maksud Presiden Jokowi tersebut sejatinya baik, turun gunung untuk mengecek kondisi lapangan. Jika ternyata terjadi masalah seperti tidak tersedianya obat-obatan Covid-19, maka ini yang kemudian akan menjadi pekerjaan bersama untuk mencari solusinya. Jadi, seandainya Presiden tidak turun tangan langsung, mungkin masalah ketidaktersediaan obat di sejumlah apotek tidak akan segera selesai.
Dampak Mengerikan Provokasi Atas Nama Agama
Bila diamati dengan seksama, narasi radikal yang bermuatan provokasi yang belakangan ini begitu santer merupakan upaya-upaya jahat dari pihak atau kelompok radikalis teroris untuk mengganggu kinerja pemerintah yang sedang fokus menangi pandemi dan hendak memecah-belah masyarakat.
Dengan terganggu kinerja pemerintah ini, akan mudah bagi kelompok ini untuk menghasut rakyat sehingga mereka menjadi tidak percaya pada pemerintah. Dan inilah senjata ampuh yang digunakan oleh radikal, yakni melakukan propaganda dengan tujuan memecah-belah masyarakat dengan menggunakan isu yang sedang trend.
Tidak hanya itu, isu agama kerap digunakan kelompok radikal untuk membelah kerukunan dan solidaritas masyarakat. Isu PKI yang sampai saat ini masih berjibun juga merupakan senjata andalan kelompok radikal untuk mengeksploitasi sentimen agama.
Sebagai pengetahuan dan pembelajaran, berikut beberapa dampak negatif narasi radikal provokatif yang bisa berpotensi besar mencabik-cabik persatuan dan kerukunan antar bangsa:
Pertama, merugikan masyarakat. Jelas bahwa narasi radikal provokatif yang memanfaatkan sentimen agama di tengah pandemi sangat merugikan masyarakat. Provokasi lazimnya diproduksi dengan maksud untuk menciptakan kondisi anarki. Dan ini sangat merugikan dan mengancam kerukunan serta persatuan bangsa.
Kedua, memecah-belah publik. Narasi radikal yang dibungkus dalam wujud provokasi atas nama agama sengaja dilancarkan untuk kepentingan mendiskreditkan salah satu pihak. Sehingga bisa mengakibatkan adu domba. Selain itu supaya masyarakat menjadi riuh dan heboh, sehingga lama-lama akan menimbulkan rasa saling curiga diantara sesama.
Jika antar anak bangsa sudah menaruh rasa saling curiga, maka yang terjadi akan saling bertikai. Perbedaan bukan lagi menjadi rahmat, tetapi berubah menjadi saling melaknat.
Ketiga, memberikan reputasi buruk. Narasi radikal provokasi yang memanfaatkan sentimen agama jelas dimaksudkan untuk memberikan reputasi buruk terhadap kelompok tertentu. Reputasi buruk ini kemudian akan digoreng terus menerus sehingga akan tercipta sebuah kondisi di mana antara kelompok satu dengan kelompok lain saling memandang rendah. Dari sinilah upaya memecah-belah bangsa juga bermula.
Cara Mengenali Narasi Radikal Berbalut Sentimen Agama
Masyarakat Indonesia tidak boleh larut dalam informasi atau narasi radikali provokatif yang bertujuan memecah belah kerukunan. Oleh sebab itu, mari tinggal dan tanggalkan narasi tersebut.
Caranya? Berikut beberapa cara untuk mengenali dan sekaligus menyikapi narasi radikal provokasi yang memanfaatkan sentimen agama untuk memecah-belah bangsa Indonesia yang plural dan heterogen.
Pertama, apabila menjumpai berita yang menghebohkan, jangan langsung percaya atau ikut berkomentar. Cermati sumber beritanya. Jangan sampai kita menjadi penyambung lidah kelompok radikal terorisme karena asal share berita yang sebenarnya merupakan produksi kelompok tersebut.
Oleh karena itu, sebelum ikut berkomentar dan menyebar suatu berita, chek and rechek dahulu. Apakah sumbernya kredibel? Atau berita tersebut berpotensi mengundang perpecahan atau tidak. Jika berita tersebut berpotensi merenggut nilai-nilai kerukunan dan mendatangkan konflik, maka harus ditenggelamkan.
Kedua, periksa faktanya dengan cara cek keaslian beritanya, mulai dari isi atau konten, narasumber, foto, dan video. Banyak informasi yang diproduksi dengan menggunakan sumber palsu.
Karena tujuannya untuk memecah-belah masyarakat, maka berita tersebut kebanyakan menggunakan informasi yang tak valid. Atau kejadian yang usang direproduksi kembali karena bisa mengundang emosi banyak orang.
Ketiga, ikuti kanal-kanal atau forum yang fokus untuk meluruskan berita hoax, palsu, fitnah dan lain sebagainya, taruhlah seperti turnbackhoax dan sejenisnya. Terakhir, kurangi asupan informasi yang meragukan dan bombastis.
Demikian cara-cara mengenali dan menyikapi narasi radikal provokatif yang dibalut dengan sedemikian rupa untuk membangkitkan sentimen beragama supaya masyarakat terkotak-kotak dan rapuh.
Comments