Halo sahabat millenial, sudah lebih dari dua setengah tahun kita masih terjebak dalam kondisi pandemi Covid 19 di Indonesia. Virus tersebut sontak menjadi malapetaka tersendiri bagi masyarakat baik secara ekonomi maupun psikologis, adapun dampak dari hadirnya makhluk kecil tak kasat mata ini sebagian orang harus kehilangan pekerjaan akibat terkena PHK, banyak bisnis atau UMKM yang mengalami penurunan omset secara drastis, dan yang paling menyakitkan ialah seseorang kehilangan anggota keluarga yang mereka cintai.

  Penyakit menular ini terkesan seperti hantu yang selalu menggentayangi segala aktifitas kehidupan umat manusia dan dapat menimbulkan rasa takut apabila ada warga di  sekitar lingkungan tempat tinggal mereka yang dirasuki. Ketakutan itu menyebabkan banyaknya masyarakat menjadi parno dengan mengedepankan rasa saling curiga satu sama lain, alhasil muncullah berbagai stigma negatif yang berujung pada perlakuan diskriminatif. Sontak rasa kemanusiaan dan empati pun hilang di tengah-tengah sebagian kehidupan masyarakat.

Apakah teman-teman masih ingat saat Menteri Kesehatan kala itu dr.Terawan mengumumkan kasus 01 dan 02 yang terindikasi positif Virus Corona?, alih-alih mendoakan pasien itu agar segera cepat sembuh, yang terjadi justru banyak oknum netizen malah membully dengan mengedepankan prasangka serta stigma negatif, ditambah lagi informasi mengenai data pribadi pasien viral dan menyebar kemana-mana. Fitnahan dan makian pun tidak terelakkan. Ada juga masyarakat yang terinfeksi dan bahkan sudah dinyatakan sembuh dari Covid-19 di beberapa wilayah Indonesia diperlakukan tidak baik, mereka diusir oleh sebagian warga dari rumah seolah-olah pasien tersebut telah melakukan dosa besar yang meninggalkan aib.

Selanjutnya, penulis membaca berita dari media kredibel nasional dan kabetulan viral di media sosial melalui unggahan video, menceritakan kisah satu keluarga positif terpapar Covid-19 dan dalam kondisi tengah menjalankan isolasi mandiri, sesekali salah satu diantaranya harus pergi keluar rumah untuk membeli obat agar tubuh mereka dapat bertahan melawan virus. Beberapa masyarkat sekitar harusnnya mengulurkan tangan untuk membantu, akan tetapi yang terjadi justru malah marah-marah dan membentak-bentak. Lucunya, orang yang membentak itu tidak menggunakan masker yang mana merupakan salah satu langkah atau upaya dalam penerapan protokol kesehatan guna untuk menghindari atau mencegah penyebaran virus.

Perlakuan diskriminatif bukan hanya dirasakan oleh orang hidup yang tengah berjuang melawan sakit, akan tetapi manusia yang telah meninggal akibat virus jahat ini pun juga menjadi korban. Jika sahabat pembaca memantau berita, pasti tau bahwa pernah ada peristiwa jenazah pasien Virus Corona ditolak oleh warga. Dalam melancarkan aksinya mereka melakukan upaya penutupan akses jalan agar ambulan yang mengangkut mayat itu bisa berbalik arah, bahkan ada yang tidak segan-segan melemparinya dengan batu. Penolakan tersebut terjadi karena ketika manusia yang sudah terbujur kaku itu dimakamkan di sekitar tempat tinggal atau kampung halaman mereka, maka dikhawatirkan akan menularkan virus.

Dilain hal, stigma buruk ditujukan kepada pedagang kaki lima yang harus berjualan saat masa pandemi. Para pedagang dituding menghalangi upaya bersama dalam smenekan angka penyebaran virus Covid 19 serta dinilai tidak mematuhi kebijakan pemerintah baik itu PSBB atau PPKM. Dampaknya kita menemukan adanya beberapa pemberitaan mengenai tindakan represif oknum aparat kepada mereka ketika melakukan razia atau penertipan. Selain itu pegawai kantoran baik itu swasta dan negeri disentimenkan dengan tuduhan tidak memiliki hati nurani dan perasaan empati untuk memahami kondisi orang-orang yang tidak mememiliki penghasilan tetap tiap bulannya. Hal tersebut membuat terjadinya konflik berupa saling ejek serta debat kusir di Media Sosial. Ini tentu akan merusak tatanan kehidupan sosial masyarakat   .

Namun dari beberapa uraian masalah diatas, yang paling sangat disayangkan ialah kasus tenaga medis yang dikucilkan dengan prasangka negatif. Bahkan nakes yang bertempat tinggal dengan menyewa kamar indekos pun mereka tidak diperbolehkan memperpanjang masa sewa oleh pemilik tempat. Bayangkan garda terdepan yang sedang berjuang untuk merawat dan menyembuhkan pasien Covid dengan mempertaruhkan waktu, tenaga, pikiran serta kesehatannya secara pribadi yang seharusnya mendapatkan support dan dukungan penuh dari masyarakat, malah mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan seperti itu.

Lantas timbullah sebuah pertanyaan, mengapa semua ini bisa terjadi?

 Pastinya dalam suatu permasalahan ada sebab dan akibat seperti sebuah istilah yang sering kita dengar yaitu “tak ada asap jika tak ada api”. Menurut penulis perlakuan diskrifinatif serta hilangnya rasa kemanusiaan dan empati masyarakat dalam kondisi pandemi ini terjadi karena 4 faktor :

Banyaknya berita hoax yang beredar

     Saat  awal mula munculnya Virus Corona di Wuhan  hingga sekarang, banyak berita hoax beredar. Mulai dari pemberitaan orang yang kejang-kejang akibat Covid,  Penyabarannya yang sangat mematikan dan bisa melalui barang produksi impor, pasien yang terjangkit akan selamanya tubuhnya memiliki virus, Corona virus yang paling berbahaya dan Covid – 19 ialah bakteri yang terpapar radiasi sehingga akan mematikan sel penting didalam tubuh. Tak tanggung-tanggung! narasi yang disebarkan dalam sebuah unggahan postingan tersebut memberi kesan bahwa virus ini sangat menyeramkan, apabila tertular maka seolah-olah hidup seorang manusia akan berakhir buruk.  Akibatnya,  panic buying pun menyerang psikologis masyarakat. Tindakan berlebihan terhadap sesuatu hal yang diharapkan dapat membantu justru malah merugikan diri sendiri bahkan orang lain.

  • Intensnya pemberitaan mengenai kematian ketimbang sembuh dari Covid

Setiap media-media nasional di Indonesia memberikan informasi perihal lonjakan kasus pasien yang terinfeksi positif virus corona, selalu mengedepankan pemberitaan orang yang meninggal dibanding  yang sembuh. Bahasa dalam judul berita pun bukan main, selalu menggunakan pilihan kosa kata “Pecah Rekor”, “Waduh” dan lain-lain yang sangat-sangat clickbait. Padahal masyarakat yang sebuh itu lebih banyak, dan yang tutup usia pun penyebab utama kematian bukanlah karena Covid melainkan penyakit bawaan sebelum tubuhnya terpapar virus seperti komorbid. Tercatat pada data yang dilansir dari Kompas.com, jumlah lonjakan kasus positif Corona yaitu jatuh diangka 3.033.339 dengan total 2.392.923 orang sembuh dan 79.032 meninggal.

  • Kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya Literasi.

Penulis tidak bisa menolak fakta bahwa masyarakat Indonesia dinilai memiliki tingkat literasi yang paling rendah di dunia. Hal ini dibuktikan dengan sering kali ketika ada permasalahan atau informasi yang tidak berdasar dengan hanya bermodalkan kata-kata penyedap disebar, warga cenderung langsung share kemana-mana dan bahkan langsung dalam melakukan tindakan tersebut mereka seolah-olah menjadi pakar yang merasa ahli dibidang virus. Anehnya, ketika ada yang berusaha mengklarifikasi hal tersebut dengan data  akurat dan dari sumber yang terpercaya bahkan memiliki wewenang untuk menyampaikan pendapat justru diabaikan. Hal seperti inilah yang memulai adanya arena debat kusir.

  • Sering mengedepankan sifat egois

Seperti yang teman-teman tau, egoisme merupakan kecendrungan untuk memperioritaskan keinginan serta keuntungan pribadi tanpa memikirkan penderitaan orang lain. Sifat ini sering terlihat pada ketika seseorang merasa dirinya yang paling benar tanpa mempertimbangkan masukan atau kondisi orang lain. Dalam masa pandemi, sering kali seseorang atau suatu kelompok berpikir bahwa hanya merekalah yang merasa paling menderita dan teraniaya akibat Covid 19. Padahal, semua golongan baik kalangan kelas atas, bawah, menengah pun terdampak baik itu secara kesehatan, ritual keagamaan maupun ekonomi.

Dalam sisi lain, sifat egoisme dilakukan oleh orang jahat yang memanfaatkan situasi pandemi demi meraup keuntungan pribadi atas penderitaan orang lain. Hanya bisa menggelengkan kepala ketika penulis melihat kabar ada oknum pejabat yang melakukan tindak pidana korupsi dana bantuan sosial, penimbunan masker lalu dijual dengan harga yang sangat tinggi dan mirisnya banyak juga diantaranya melakukan penipuan, hingga terkuapnya kasus penggunaan alat Rapid Antigen bekas oleh salah satu apotik yang selama ini memiliki popularitas cukup baik. Ironis memang, tentunya ini akan menghasilkan stigma-stigma baru yang membuat masyarakat lebih berpotensi berpikiran negatif.

Lalu, bagaimanakah seharusnya sikap kita dalam menghadapi pandemi ini ?

Budayakan berpikir kritis

Setiap informasi yang kamu terima, harusnya kita sebagai manusia yang diberikan akal dan pikiran oleh yang maha kuasa harus mennelaah kembali berita tersebut. Caranya bagaimana? tentu memperkuat literasi dengan berpedoman kepada seseorang atau sebuah institusi dimana memiliki wewenang penuh dan paham akan persoalan yang terjadi. Dalam keyakinan yang penulis imani yaitu agama Islam, hal pertama diajarkan ialah “Iqra” (bacalah), maka banyaklah membaca, perkaya wawasan dan ilmu sehingga kita bisa berpikir jernih serta tidak mudah terjebak dengan kabar yang menyesatkan.

Jika pembaca kebetulan umat muslim pasti sudah mengetahui dan ini tertuang jelas dalam Qs : Al Hujarat Ayat 6 yang berarti :  “Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan dan kecerobohan yang membuat kamu menyesali perbuatan kamu itu”

  • Utamakan rasa kemanusiaan dari pada sifat egois

Setiap orang memiliki masalah pribadi yang tidak diketahui oleh khalayak, apalagi saat masa pandemi seseorang ketika melakukan sesuatu pasti dipengaruhi oleh faktor internal kehidupan mereka. Kita tidak bisa menerka secara pasti, apakah seseorang itu baik-baik saja atau ada keperluan yang mendesak. Maka untuk itu, pentingnya kita agar lebih mengedepankan rasa kemanusiaan dengan mencoba memahami suatu kondisi dibandingkan egois dengan prespektif pribadi. Segala sesuatu harus dipandang secara dua sisi agar kita bisa berlaku adil dan tidak ada tindakan saling menghakimi satu sama lain, sehingga ini dapat membangun sebuah hubungan yang baik dalam hidup bermasyarakat dan diaharapkan prasangka, stigma negatif, perlakuan diskriminasi dapat berkurang.    

  • Berpikir, Membaca dan Menyebarkan konten serta berita yang positif

Sobat semua pasti tau, salah satu penyebab seseorang terpapar Covid 19 ialah karena berkurangnya imunitas dalam tubuh. Ada beberapa cara untuk meningkatkannya yaitu dengan berolah raga,berjemur selama 30 menit dibawah sinar matahari dan mengkonsumsi makanan sehat. Namun dibalik itu dengan menyebarkan konten dan berita positif juga termasuk salah satu cara loh untuk meningkatkan imunitas tubuh. Lah kok bisa sih ?

Jadi menurut dr. Adi W. Gunawan, ST.,Mpd.,CCH selaku ahli hipnoterapis klinis Indonesia dan dikenal secara internasional sebagai Indonesia Leading Expert in Mind Technology yang menjadi pembicara dalam webminar “Bincang Optimis di Masa Pandemi Covid 19 yang digelar oleh Direktorat Inovasi dan Korporasi Universitas Padjadjaran mengatakan, informasi negatif akan berdampak pada cara kerja pikiran seseorang. Apabila kabar buruk itu masuk kedalam pikiran bawah sadar, imajinasi seseorang akan bekerja menjadi suatu yang menakutkan. Hal ini cepat atau lambat akan berpengaruh kepada imunitas atau kondisi tubuh.  Orang yang sudah terpengaruh dengan kecemasan, disadari atau tidak, pikiran bawah sadarnya akan diarahkan untuk mencari data atau informasi yang  menguatkan kecemasannya. Karena hal itu, cemas yang berlebihan ini harus diatasi dengan cara mengarahkan pikiran untuk berpikir, melihat, dan membaca beragam hal yang positif. Menurut penulis, ini agar pikiran kita bisa mengunci hal yang baik sehingga kita tidak menjadi parno terhadap sesuatu.

  • Mari bersama melawan Hoax!

Nah yang terakhir, sebagai generasi milenial kita harus berperan penting dalam membrantas segala kabar bohong yang menyebar. Hal tersebut bisa dilakukan dengan cara membuat atau menyebarkan sebuah postingan berupa klarifikasi seperti kolom Cek Fakta yang ada pada media-media konvensional di Indonesia, memberikan edukasi ke orang yang terkena hoax untuk melakukan saring sebelum sharing. Kenapa? karena jika terus dibiarkan berkembang akan berdampak buruk bagi masyarakat berupa mengambil keputusan yang tidak rasional dalam bersikap, ini dapat dibuktikan dengan terjadinya perlakuan diskriminatif, main hakim sendiri serta ujaran kebencian dimana-mana.

Ar Rafi Saputra Irwan
Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang. Anggota Duta Damai Dunia Maya Sumatera Barat

MELALUI KEGIATAN PENGABDIAN MASYARAKAT DOSEN POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PAYAKUMBUH PERKENALKAN TEKNIK BUDIDAYA PINANG BATARA KEPADA KELOMPOK TANI

Previous article

Festival Talago Kamba tampilkan tradisi dan budaya masyarakat Tabek Patah

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Edukasi