Babad berasal dari bahasa jawa yang bisa berarti Sejarah. Ternyata dalam perjalannanya masyarakat jawa sejak zaman kuno telah mengenal puasa, diantarranya adalah Bupati Wirasaba yang sejak usia remaja telah melaksanakan ritual puasa. Lantas bagaiman beliau melakuaknnya?

Menurut Babad Tanah Jawi Meinsma tercatat kalimat berikut:

Sarêng antawis sêtêngah taun sang prabu badhe anglurug dhatêng Wirasaba, karsa tindak piyambak, badhe sumêrêp pratingkahe tiyang prang, lajêng parentah dhatêng Tumênggung Martalaya, andikakakên ngêrig bala ing pasisir tuwin bala măncanagari, ingkang sampun karèh ing Matawis.

Babad Tanah Jawi BP Jil. VIII:

jêng sultan sigrangling aris | hèh sakèhe wong Mataram | mantri acawisa kabèh | sakapraboning ayuda | ngong arsa nindakana | maring Wirasaba iku | Adipati Martalaya ||

umatur saha wotsari | dhumatêng ing kangjêng sultan | sapa sintên kang tinudoh | sultan ingkang tumindaka | dhatêng ing Wintên sowan | angandika sang aprabu | Martalaya ingsun dhawak ||

yang dapat diartikan sebagai berikut;

Kira-kira setengah tahun setelah pertempuran di kali Andaka, Pangeran Ing Alaga (Sultan Agung) memerintahkan untuk menyerang Wirasaba. Sultan Agung akan memimpin sendiri penyerangan tersebut, dalam Babad Tanah Jawi Balai Pustaka (BP) Jilid VIII disebutkan bahwa Tumenggung Martalaya dan Pangeran Purubaya mencoba merubah kehendak Sultan untuk berangkat sendiri dengan menyarankan agar sebaiknya Sultan mengirim utusan saja pada para sentana dan panglimanya. Namun Sultan sangat ingin melihat jalannya pertempuran. Sultan menunjuk Tumenggung Martalaya untuk menjadi panglima dan diminta mengumpulkan pasukan dari semua Adipati yang sudah berada di bawah Mataram baik dari mancanagari maupun pesisir.

Sebelum hari keberangkatan yang ditentukan para Adipati di bawah Mataram telah menghadap di alun-alun kota Kerto berpakaian prajurit lengkap dengan pasukan, persenjataannya, dan bendera perang masing-masing. Alun-alun Mataram pada saat itu penuh digambarkan penuh dengan para prajurit yang berjejal berdesak-desakan saking banyaknya prajurit yang berkumpul. Sebagai gambaran besarnya pasukan HJ De Graaf dalam bukunya memberitakan bahwa Sultan dapat mengumpulkan 200.000 prajurit hanya dalam waktu setengah hari dengan memanfaatkan tetabuhan beruntun dari desa ke desa maupun suara meriam sebagai tanda prajurit harus berkumpul. Pada hari yang ditentukan para santana dan Adipati naik ke pagelaran antara lain, Pangeran Purubaya, Raden Wiramenggala, Adipati Pringgalaya, Pangeran Tepasana, Pangeran Juminah, Adipati Puger, Demang Tanpanangkil, Pangeran Martapura, Adipati Sokawati, Pangeran Memenang, Pangeran Balitar, Pangeran Singasekar, Martasana, dan Prawira Taruna, serta Adipati Mandura dan Adipati Upasanta. Tentu tidak tertinggal Adipati Martalaya sendiri, Adipati Pajang, Jagaraga, Magetan, Demak, Kudus, Semarang, Kaliwungu, Kendal, Batang, dan Pekalongan. Sultan keluar ke pagelaran dan duduk di Bangsal Witana, segera memberikan perintah pada Tumenggung Martalaya untuk memberangkatkan pasukan. Pasukan besar itu berbaris diberangkatkan dari alun-alun Kerto. Sultan terlihat gagah di barisan belakang pasukan menaiki seekor gajah diiringi para sentana. Pasukan bertambah besar ketika sampai di Madiun dan Pranaraga karena pasukan dari dua daerah tersebut menyatukan diri dengan prajurit Mataram. Setelah mendekati Wirasaba pasukan Mataram membuat pesanggrahan di Rajadadi/ Paladadi sebelah barat Wirasaba.

Wirasaba adalah sebuah wilayah di sebelah barat daya Japan/ Mojokerto, kini diperkirakan masuk Kecamatan Mojoagung. Wirasaba pada saat itu merupakan kota berbenteng yang dipimpin oleh seorang Bupati bernama Pangeran Arya. Bupati Wirasaba dalam Babad Tanah Jawi BP disebutkan masih berumur 10 tahun, sedang di Babad tanah Jawi Meinsma disebutkan berumur 15 Tahun pada saat serangan terjadi, juga disebut bahwa Bupati Wirasaba adalah seorang pemuda yang tampan. Kedua babad juga memberitakan bahwa Bupati Wirasaba meskipun masih muda dalam usia namun ulet dalam menjalani ritual bertapa dengan cara sedikit makan sedikit tidur sehingga dapat mengimbangi kekurangan fisik maupun usianya dengan ilmu batin yang kuat, pan agêng riyalatira (besar riyadloh-nya). Bupati Wirasaba juga memiliki seorang patih yang terkenal kedigdayaannya bernama Rangga Pramana sayang ki patih saat itu telah lumpuh sehingga dalam memimpin pasukan harus ditandu. Rupanya berita penyerangan pasukan Mataram telah didengar lebih awal sebelum kedatangannya oleh Bupati Wirasaba. Segera Bupati wirasaba mengirimkan pesan untuk meminta bantuan kepada Pangeran Surabaya.

Lantas apa yang terjadi dengan Bupati Wirasaba ketika mendapatkan gempuran dari Sultan Agung? Simak Kisah selanjutnya pada edisi II

Suyadi

Kenali Tipe Kepribadian Growth Mindset vs Fixed Mindset.

Previous article

MENCINTAI KARENA ALLAH

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *