Tragedi Katedral Makassar pada 28 Maret 2021 lalu kembali mencabik-cabik nilai-nilai kemanusiaan, kejadian yang seolah tidak bisa dipercayai, memuakkan, bahkan tidak manusiawi ini benar-benar nyata adanya. Bom bunuh diri yang dilakukan oleh orang yang hatinya tak lagi mampu membedakan mana yang jihad mana yang salah. Pemboman terhadap sasaran sipil tak bersalah tersebut disamping telah mengoyak-ngoyakkan nilai-nilai kemanusiaan juga telah mencederai nilai-nilai demokrasi yang selama ini kita bangun bersama.


Berbagai peristiwa pemboman yang terjadi di negeri ini dengan menghancurkan berbagai tatanan sosial masyarakat yang begitu dahsyat, membuat kita wajib menundukkan kepala, berdiam sejenak, menarik nafas panjang dengan ulah mereka yang tak bertanggung jawab tersebut, serta bersimpati kepada para korban dan keluarganya sembari berdoa agar kejadian yang tidak berprikemanusiaan ini tak lagi lestari di nusantara ini.


Namun rasanya kita tak cukup hanya berdoa, bersimpati, ataupun memberikan bantuan kepada para korban, marah, serta mengecam dan mengutuk para pelaku teror tersebut. Melainkan kita harus menegakkan kepala dan bangkit bersama untuk menghadapi peristiwa-peristiwa tersebut secara lebih rasional, objektif, percaya diri, serta mandiri dari pikiran dan tindakan pihak lain yang belum tentu tulus dalam memberikan bantuan, sehingga dalam hal ini kita perlu memikirkan berbagai upaya pencegahan terorisme ini.


Secara defenisi untuk mengartikan istilah terorisme ini memang tidak ada habisnya, karena begitu banyak versinya dan sudut pandang yang mesti dibahas. Namun, dalam upaya pencegahan tindakan terorisme tersebut, maka kita harus memulainya dari sebuah defenisi agar kita mampu memahami maknanya serta cara menyikapinya.


Terorisme dalam upaya pencegahannya bisa diartikan sebagai sebuah tindakan kekerasan atau ancaman yang ditujukkan kepada sasaran acak atau tidak ada hubungan langsung dengan pelaku yang berakibat pada kerusakan, kematian, ketakutan, kekhawatiran, ketidakpastian dan keputusasaan massal. Biasanya tindakan terorisme tersebut dilakukan dalam rangka memaksakan kehendak kepada pihak yang dianggapnya lawan oleh kelompok teroris tersebut, supaya kepentinan dan tujuannya tercapai.


Sehingga defenisi terorisme dalam cakupan ini memiliki unsur-unsur tindakan kekerasan yang mempunyai akibat kerusakan, ketakutan, kematian, kecemasan, serta ketidakpastian massal yang ditujukan secara acak. Dalam aksi teror ini tidak hanya didorong oleh kepentingan pelaku secara politik saja, melainkan juga dipengaruhi oleh non politik, seperti keyakinan para pelakunya. Sehingga ini menjadi tugas kita bersama untuk memberikan pemahaman agama yang kaffah dalam beragama, agar kita tidak salah dalam mengimplementasikannya di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat yang majemuk ini.

Seperti halnya sebuah Negara, dapat saja dikategorikan sebagai teroris apabila dalam menjalankan kebijakkan negara dengan tindakan-tindakan diskriminasi dan represif kepada kelompok minoritas atau kelompok-kelompok marginal yang oposan terhadap negara.


Jika pemahaman terorisme dalam lingkup ini, maka untuk melakukan pencegahan dan mengantisipasi terorisme maka kita perlu bersikap objektif dan tidak menyamaratakan bahwa tindakan terorisme merupakan tindakan yang dilakukan oleh kelompok minoritas atau kelompok-kelompok yang terpinggirkan saja, tetapi juga bisa dilakukan oleh pemerintah atau negara yang represif. Jika negara atau pemerintah mengabaikan dan tidak menghormati nilai-nilai demokrasi dan nilai-nilai kemanusiaan serta mengabaikan batas-batas kedaulatan suatu negara yang melakukan segala cara demi mencapai tujuannya.


Tindakan terorisme yang bermotifkan ideologi agama tidak akan mudah mudah dihancurkan begitu saja walau dengan tindakan militer sekalipun. Bukannya akan menyelesaikan permasalahan terorisme malah akan memperkuat militansi dari para pelakunya. Berkaca dari tindakan Amerika Serikat yang menangkap hidup atau mati Osama bin Laden dengan melakukan pemboman Afganistan yang menyebutkan adanya jaringan terorisme international yang bernama Jamaah Islamiyah, malah justru memperkokoh stigma dan streaotip yang dibangun terhadap Amerika Serikat sebagai perwujudan dari setan.


Maka dari itu, sebagai generasi muda yang akan menjadi pembaharu untuk masa depan bangsa yang beragam ini kita perlu memahami secara benar apapun keyakinan yang kita miliki dengan penuh ketulusan dan cinta. Gunakan media sosial untuk belajar hal-hal yang akan mengembangkan potensi diri dalam hal-hal yang bermanfaat, sehingga kita mampu menjadi generasi yang bijak dalam bermedia. Di samping itu kita juga harus memperkokoh literasi agar memiliki pamahaman dan sudut panjang lebih terbuka.

Nuraini Zainal

TRADISI MAKAN BAJAMBA YANG TIDAK AKAN PERNAH TERGERUS OLEH MASA

Previous article

Korea berhasil lewat K-Pop, Indonesia Kapan?

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Opini