Oleh : Onriza Putra

A. Gambaran Kehidupan Beragama di Sumatera Barat

Provinsi Sumatera Barat adalah provinsi yang didominasi oleh etnis Minangkabau. Walaupun didominasi oleh “urang awak”, masyarakat Sumatera Barat juga terdiri dari beragam suku, budaya dan etnis. Dalam mempraktekkan kehidupan sosial, masyarakat Minangkabau memperlihatkan fenomena yang unik dank khas. Bentuk nyata dari keunikan tersebut adalah bercampurnya antara adat Minang dan agama Islam. Konsep ini kita kenal dengan Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah.

Konsesus ini dipahami sebagai setiap aturan adat yang di sepakati bersama, harus berdasarkan kepada syara’ (syari’at Islam) yang bersumber dari Al-Qur’an. Pandangan hidup ini menjadi patokan setiap individu Minang. Dalam perspektif demikian, ditarik kesimpulan bahwa orang Minang adalah orang Islam, dan orang Minang yang keluar dari agama Islam, tidak dianggap lagi sebagai orang Minang dan dibuang sepanjang adat. Konsep ini banyak didiskusikan dalam beragam persepktif.

Dalam memandang keberagaman, khususnya ekspresi kebebasan beragama, masyarakat Minangkabau memperlihatkan fenomena yang membingungkan. Di satu sisi mereka mempertahankan tradisi adat (Islam) yang sangat kental, namun disisi lain harus berhadapan dengan etnis/suku/agama lain dalam kerangka kehidupan bernegara. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba melihat fenomena ini dalam sudut pandang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan dalam Perspektif HAM.

Untuk melihat sebaran jumlah, agama dan tempat ibadah berikut ditampilkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat tahun 2010.

B. Rilis Lembaga Survei

  • Rilis ELSAM (2013)

Sumatera Barat memperoleh skor 3.75 yang merupakan skor terendah dibandingkan daerah lain. Hal ini membuat Sumatera Barat menjadi pronvinsi dengan tingkat kebebasan/ekspresi beragama terburuk.

  • Rilis Setara Institute (2018)

Setara Institute merilis Indek Kota Tolerasni Tahun 2018 dan menempatkan Kota Padang sebagai 10 kota dengan indek toleransi terburuk.  Hasil penelitian ini dirangkum dalam Ringkasan Eksekutif Indeks Kota Toleran Tahun 2018. Variabel yang diteliti adalah Regulasi Pemerintah, Regulasi Sosial, Tindakan Pemerintah dan Demografi Agama. Skor untuk Kota Padang hanya 3.450, dimana skor tertinggi ialah 6.513 yang diperoleh Kota Singkawang.

  • Rilis Kemenag RI

Pusat Penelitian dan Pengembangan Bimbingan Masyarakat Agama dan Layanan Keagamaan pada Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan (Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat) Kementerian Agama merilis indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB 2019). Skor indek KUB tersebut menempatkan Sumatera Barat dua terbawah, dengan skor 64.4.

Sumatera Barat termasuk provinsi dengan skor dibawah rata-rata nasional yaitu 73.83. Korelasi hubungan antara pendidikan, pendapatan dan peran kementerian agama menjadi faktor penentu penelitian. Lebih rinci lagi, faktor penentunya yaitu pendidikan keluarga, implementasi kearifan lokal, pendapatan rumah tangga, heterogenitas agama dan peran kementerian.

C. Kasus Terbaru

  • Kasus Dharmasraya

Terjadi pelarangan merayakan Natal di Sungai Tambang, Kabupaten Sijunjung dan Jorong Kampung Baru, Kabupaten Dharmasraya. Pemerintah (Nagari?) setempat berdalih, perayaan Natal dilarang di dua lokasi itu karena tidak dilakukan pada tempat ibadah pada umumnya. Sebelumnya beredar di WA Grup foto Surat Nomor : 145/117/Pem-2019 tentang Surat Balasan Pemberitahuan dengan korp surat Pemerintah Nagari Sikabau, Kecamatan Pulau Punjung tanggal 10 Desember 2019. Surat tersebut ditujukan kepada Maradu Lubis, yang sebelumnya telah melayangkan Surat Pemberitahuan Pelaksanaan Ibadah Natal 2019 dan Tahun Baru 2020 tertanggal 8 Desember 2021.

Dalam surat tersebut, Pemerintah Nagari Sikabau Merasa Keberatan/Tidak Memberi Izin pelaksanaan perayaan tersebut di wilayah hukum Nagari Sikabau. Pemerintah Nagari Sikabau meminta para pihak untuk memperhatikan kembali Surat Pernyataan Bersama Pemerintah Nagari Sikabau, Niniak Mamak, Tokoh Masyarakat dan Pemuda Nagari Sikabau tanggal 21 Desember 2017 tentang keberadaan rumah (tempat tinggal) dijadikan tempat ibadah umat Kristiani di Jorong Kampung Baru, Nagari Sikabau. Pemerintah Nagari Sikabau beranggapan bahwa surat tersebut Belum Dicabut dan Masih Berlaku. Untuk itu, Pemerintah Nagari Sikabau menyarankan agar pelaksanaan perayaan Natal dilaksanakan di tempat ibadah resmi/tempat yang sudah ditunjuk pemerintah.

  • Aplikasi Injil Berbahasa Minang

Pemerintah Provinsi Sumatera Barat melayangkan surat kepada Menteri Komunikasi dan Informatika RI c/q Direktur Jenderal Aplikasi Informatika untuk menghapus aplikasi tersebut. Berdasarkan pantauan penulis, aplikasi tersebut sudah tidak muncul di Google Play Store.

Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau (MTKAAM) telah membuang dan mencoret status Ade Armando sebagai orang minang. Berikut Sikap dan Seruan MTKAAM :

  1. Sebagai Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau, Membuang dan mencoret status orang minang Ade Armando dan sederet nama lain yang sering menista Agama Islam.
  2. Mendukung sikap Gubernur Sumbar yang mengajukan penghapusan aplikasi Injil berbahasa minang di Playstore. 
  3. Meminta pemerintah pusat untuk mencegah dan mengadili Penista Agama.
  4. Menyerukan kepada tokoh adat, niniak mamak, dan seluruh orang minang agar menjaga keluarga dari Perusakan Akhlak.
  5. Mari hidupkan maghrib mengaji di rumah, masjid, surau.
  6. Ajarkan anak kemenakan silat untuk menanamkan pribadi yang luhur.

D. Agama dan Adat

Banyak kalangan di Sumatera Barat, seperti kalangan pemerintah, sebagian besar akademisi, ninik mamak, alim ulama dan cadiak pandainya serta hingga masyarakat sipil, bahwa kebebasan beragama di Sumatera Barat baik-baik saja. Dalam banyak kasus, seperti pelarangan ibadah  Natal di Dharmasraya, Aplikasi Injil dan lainnya, suara penolakan justru datang dari kalangan adat. Masukan dari kalangan adat mejadi justifikasi pemerintah dalam bersikap apakah menerima ataupun menolak. Indikasi ini memperlihatkan kuatnya pengaruh adat dalam tatanan pemerintahan/negara.

Ditinjau per kasus, penolakan pelarangan ibadah Natal 2019 di Sijunjung datang dari pemerintahan nagari (sebutan “desa” di Minangkabau) dan tokoh adat (Niniak Mamak). Negara melalui kecamatan (Camat) dan kenagariaan (Wali Nagari)  di Dharmasraya  berkoordinasi dengan perangkat nagari, ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai setempat. Hasil dari rapat koordiasi pada 16 Desember 2019 menyepakati sepihak beberapa hal:

  1. Menolak pelaksanaan ibadah apapun termasuk natal bersama jika tidak ditempat ibadah resmi.
  2. Ibadah termasuk perayaan natal hanya boleh dilaksanakan di rumah masing-masing dan tidak boleh bersama-sama.
  3. FKUB Kabupaten Sijunjung menyarankan agar umat Kristen merayakan natalan di Kota Sawahlunto yang jaraknya ratusan kilometer.
  4. Bahwa Ninik Mamak yang hadir dalam rapat menolak pelaksanaan ibadah dalam bentuk apapun secara bersama-sama di Sungai tambang, termasuk Natalan.
  5. Pemerintah Nagari dan Ninik mamak mementa agar orang-orang Kristen di Sungai Tambang membuat surat perjanjian tidak melaksanakan ibadah apapun termasuk natalan bersama.

Hal yang sama terjadi di Dharmasraya, poin kesepakatan yang di sepakati oleh pemerintahan nagari dan tokoh adat adalah sebagai berikut :

  1. Melarang umat Kristiani melaksanakan perasayaan agamanya secara terbuka, sekaligus melarang melaksanakan kebaktian secara terbuka di rumah warga dimaksud dan di tempat lain di Kanagarian Sikabau.
  2. Memperingatkan jika umat Kristen tidak mengindahkan pemberitahuan dan pernyataan pemerintah nagari, ninik mamak, tokoh masyarakat dan pemuda Nagari Sikabau akan dilakukan tindakan tegas.
  3. Umat Katolik hanya boleh melaksanakan ibadah di rumah masing-masing serta tidak mengundang umat Kristen lainnya.
  4. Keharusan mengurus izn-izin sebelum kegiatan peribadatan keagamaan dilaksanakan.
  5. Pada awal Desember, pimpinan Stasi Katolik Bapak Maradu Lubis, kembali mengajukan permohonan izin untuk dapat melakukan ibadah dan perayaan natal, namun melalui surat bernomor 145/117/Pem-2019 kembali tidak memberikan izin. Bersamaan dengan surat penolakan tersebut, Wali Nagari juga melampirkan surat pernyataan sikap penolakan warga.

Dalam menyikapi kasus ini, penulis melakukan audiensi dengan Ketua MUI Kota Padang, Prof. Duski Samad. Menurutnya, kultur sosial masyarakat Sumatera Barat termasuk kedalam masyarakat yang mempunyai nilai toleransi tinggi. Hampir tidak ada kerusuhan yang disebabkan perbedaan agama di Sumatera Barat.

Dalam tulisannya ” Sumbar Rendah Toleransi, Fakta atau Sentimen, Duski Samad menyatakan mengukur toleransi semestinya berpatokan kepada Mukti Ali (Mantan Menteri Agama). Mukti Ali secara akademik memperkenalkan Tri Kurukunan dan menegaskan bahwa kerukunan beragama itu artinya adalah agree and disagreemen, setuju dalam perbedaan, yang pada prinsip nya menghargai keberbedaan. Kerukunan tidak menghapus perbedaan. Toleransi itu jelas menghargai pada hak privat dan mengatur hak publik. Survey yang dilakukan saat ini sering mengajukan pertanyaan yang tidak menghargai perbedaan, justru meminta masyarakat mengakui iman yang berbeda.

Duski Samad menegaskan bahwa masyarakat Sumatera Barat yang mayoritas etnis Minang beragama Islam adalah masyarakat yang tinggi tingkat toleransinya. Etnis dan agama selain Islam nyaman dan rukun hidup berdampingan dengan penduduk lokal. Catatan konflik yang dipicu agama terbatas sekali. Etnis Minang adalah suku bangsa yang adaptasinya mudah di pelosok negeri ini, bahkan mancanegara.

E. Sudut Pandang HAM

Kebebasan beragama mengandung arti setiap individu mempunyai hak untuk meyakini eksistensi Tuhan. Kebebasan beragama di Indonesia mengacu kepada UUD 1945 pasa 29 ayat 2 yang menyatakan bahwa setiap warga diberi kebebasan untuk memeluk agamanya dan beribadat menurut adat dan kepercayaanya masing-masing. Hak ini melekat ada diri setiap manusia sejak dilahirkan dan berlaku seumur hidup.

Dalam kasus masyarakat Minangkabau, kebebasan beragama dan berkeyakinan bisa dikatakan tidak sejalan dengan prinsip Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah. Implementasi dari Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah  adalah ditetapkannya kebijakan-kebijakan pemerintah yang berorientasi pada satu agama mayoritas saja. Konsep ini menafikan keberagaman masyarakat Sumatera Barat yang terdiri dari bergama etnis, suku, budaya dan agama yang tidak hanya beretnis Minangkabau dan beragama Islam.

Berdasarkan data tabel diatas, terdapat 366.464 jiwa (2.51 %) yang terdiri dari agama non mayoritas yang terancam diabaikan dan dikekang kebebasannya dalam beragama dan beribadah menurut kepercayaannya masing-masing.

Kebijakan-kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah provinsi ataupun pemerintah kota/kabupaten seringkali mengakomodasi satu agama tertentu. Hal ini bisa dilihat banyaknya paraturan-peraturan daerah yang bersifat diskriminatif. Sebagai contoh, kewajiban berjilbab bagi siswa/murid dan wajib baca Al-Qur’an, zakat dan sebagainya.

Walaupun kebijakan ini didasari oleh otonomi daerah dan semangat religiusitas Minangkabau, hal ini menyebabkan terdiskriminasinya masyarakat Sumatera Barat non Minang dan Islam dalam mengekpresikan kebebasan beragama dan hidup sesuai tuntunan agama yang diyakininya. Kebijakan-kebijakan seperti ini berpotensi merusak kerukunan umat beragama di Sumatera barat.

Onriza Putra

AKSI TEROR DI SIGI TEWASKAN SATU KELUARGA : MUJAHIDIN INDONESIA TIMUR (MIT) PELAKU TERORIS?

Previous article

Pemuda Lintas Agama Kota Padang Lalukan Do’a bersama Untuk Korban Tragedi Sigi

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Opini