Perbedaan bentuk fisik antara laki-laki dan perempuan di masyarakat,  juga menimbulkan pembedaan antara peran perempuan dan laki-laki di ruang-ruang domestik dan ruang publik. Jika perempuan selalu diidentikkan dengan makhluk yang lemah, maka berbalik dengan kaum laki-laki yang dianggap sebagai manusia kuat yang selalu di depan dari segala hal dibandingkan perempuan. Laki-laki selalu dianggap sebagai mahluk nomor satu dibandingkan perempuan dalam segala hal. Akibatnya kaum perempuan menjadi individu yang dinomorduakan oleh lingkungan dan masyarakatnya.

Anggapan bahwa perempuan adalah mahluk yang lemah, yang hanya boleh melakukan berbagai hal-hal yang berkaitan dengan kodratnya sebagai perempuan saja, telah mengakar di masyarakat Indonesia, dan tak terkecuali di Minangkabau sendiri. Stigma bahwa perempuan perannya hanyalah di dapur, kasur, dan sumur, telah merenggut hak-hak kaum perempuan akan kebebasan dirinya sebagai manusia yang juga memiliki kebebasan dan impian yang ingin digapainya di masa depan.

Pembedaan serta pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan memang sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Akibatnya, pembagian-pembagian kerja yang seperti itu sudah dianggap biasa oleh masyarakat. Hal demikian dianggap lazim dan alamiah yang tidak perlu lagi diperdebatkan, ataupun dipertanyakan.

Apakah pembagian seperti itu sudah adil atau belum, ataukah siapa yang diuntungkan dengan pembagian-pembagian kerja seperti itu. Walaupun banyak kaum perempuan beranggapan bahwa antara laki-laki dan perempuan itu memiliki nilai yang sama.

Berbagai perbedaan psikologis antara laki-laki dan perempuan, yang kemudian juga melahirkan anggapan tentang pembagian peran,  sebenarnya tercipta oleh lingkungan itu sendiri. Hal demikian juga pada akhirnya menimbulkan polemik akan gugatan kepada ketimpangan kesalingan, antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai sisi kehidupan, baik dalam ranah domestik maupun ranah publik. Yang hari ini menimbulkan gugatan akan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan.

Berbagai fenomena ketidakadilan peran antara laki-laki dan perempuan ini, juga menimbulkan berbagai polemik akan psikologis seorang perempuan. Kondisi di mana perempuan menjadi ketergantungan dengan laki-laki di rumah tangga. Perempuan secara ekonomis tak mampu menghasilkan keuangan sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Disebabkan waktunya dihabiskan hanya untuk mengurus rumah tangga dan anak-anaknya.

Perempuan seolah-olah dipenjarakan di suatu dunia yang tidak merangsang perkembangan dan kemajuan untuk dirinya sendiri. Mereka hanya menghabiskan semua waktunya dengan pekerjaan-pekerjaan yang monoton setiap hari, serta relasinya yang juga sangat terbatas sekali. Perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan semestinya tidaklah menimbulkan permasahan, sepanjang hal demikian tidak menghasilkan ketidakadilan gender. Tapi realitasnya hari ini perbedaan tersebut telah menciptakan ketidakadilan, terutama bagi kaum perempuan.

Budaya patriarki di tengah-tengah masyarakat Indonesia secara umum, dan Minangkabau secara khusus memang memiliki sejarah yang sangat panjang, yang di awali dengan dominasi kaum laki-laki terhadap perempuan, yang memang sudah dibangun atas dasar tatanan nilai yang timpang.

Tatanan nilai yang memposisikan laki-laki sebagai mahluk superior dihadapan perempuan yang dianggap lemah atau inferior. Tatanan nilai yang sudah mengakar sejak dulunya, bahkan dari kalangan perempuan itu sendiri. Bukan berarti kita memakluminya saja tanpa harus mengkaji ulang hal tersebut.

Berbicara feminisme memang bukan merupakan barang baru di Indonesia, yang kerap dianggap sebagai “produk barat”, dan menjadi pro kontra. Apalagi jika hal demikian diterapkan di masyarakat Minangkabau. Minangkabau adalah sebuah daerah yang berada di pulau Sumatera, yang saat ini lebih populer dengan Sumatera Barat. Masyarakat Minang sendiri memiliki sistem kekerabatan  yang dikenal sistem matrilineal atau sistem kekerabatan menurut garis keturunan ibu.

Menurut Dr. Raudah Thaib seorang budayawan yang berasal dari Sumatera Barat, dalam diskusinya perihal memahami sistem matrilineal di Minangkabau, menyatakan bahwa perempuan di Minangkabau itu diperbolehkan untuk memasuki wilayah publik, dan tidak hanya dikurung dalam ranah domestik saja.

Sebab dalam sejarah kerajaan Minangkabau pernah dipimpin oleh raja perempuan yang bernama “Bundo Kanduang” yang kemudian hari ini menjadi rule model bagi perempuan Minang dalam menjalankan aktivitas kehidupannya.

Dan di Minangkabau sendiri ada tiga posisi yang tidak boleh diisi oleh perempuan yaitu; pertama, Manti (pemimpin adat), kedua, Malin, (pemimpin agama), ketiga, Dubalang (pemimpin keamanan suku). Dan selain dari itu, maka perempuan Minang diperbolehkan untuk berkiprah serta menempati posisi apa saja di ruang publik. []

Nuraini Zainal

Empati; Menyoal Rasa Kemanusiaan Terhadap Korban Kekerasan Seksual

Previous article

9 Nilai Utama Gus Dur Dalam Menjaga Relasi Kemanusiaan

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Opini