Hidup di dunia politik memang memerlukan kecakapan berfikir yang matang. Ada istilah di dunia politik yang sering di sebut-sebut yaitu “politik bukan berbicara lawan atau kawan namun kepentingan” . Itulah politik tidak ada kawan yang sejati dan tidak ada pula lawan yang sejati.

Baru-baru ini dunia perpolitikan di indonesia di suguhi hiburan yang tidak pernah terpikirkan oleh sebagian orang dari kalangan kampret dan cebong. Sebuah istilah yang menggambarkan pendukung fanatik dari kedua kubu yang bertarung di pemilu April 2019 yang lalu.

Ada beberapa hal yang masih menggelitik bagi kami redaksi:

Pertama, walaupun gelaran pemilu telah usai dan hanya menyisakan babak pelantikan presiden terpilih yaitu Ir. Joko Widodo dan wakilnya KH Makruf amin namun para pendukung fanatik mereka di media sosial terus saja saling melempar opini kebencian tanpa solusi. Platform media sosial yang banyak di pakai yaitu group Facebook. Silahkan pembaca cek di group – group Facebook yang ber nuasa politik dan berasa hasutan dimana rata-rata jumlah anggotanya di atas 1000 orang mungkin group tersebut berjumlah ratusan atau ribuan di indonesia. Hampir setiap jam para anggotanya saling berbagi tautan di group tersebut dan di bumbui kalimat yang tidak membangun. Namun redaksi percaya itu hanya bagian dari sifat alamiah manusia yaitu melebih-lebihkan dan gampang mengambil kesimpulan dan redaksi pun percaya bahwa ini juga merupakan bagian dari pembelajaran berpolitik di indonesia.

Kedua, kelompok-kelompok yang ingin ikut bagian dalam perpolitikan masih saja memakai simbol-simbol agama dalam menyampaikan narasi kepentingannya dalam memikat masyarakat indonesia. Hal ini menurut redaksi salah kaprah dan bukan pada tempatnya politik dan agama di indonesia seharusnya dapat dipisahkan namun tetap beriringan dan saling menguatkan demi kemajuan indonesia tidak ada yang dominan diantara keduanya. Sehingga masyarakat akan bisa melihat mana yang harus di pilih dalam hal-hal tertentu. Pada dasarnya setiap agama mengajarkan kebaikan kepada sesama, jika berpolitik atas dasar agama seharusnya tidak melontarkan kata-kata yang kasar kepada lawan politik. Disini sangat jelas bahwa bukan persoalan agama yang dipolitisasi yang salah namun orang yang memakai agama dalam berpolitik yang salah sehingga membawa pengaruh yang buruk bagi agama nya sendiri. Jika aktor politik tidak sanggup memikul dosa karena membawa agama dalam berpolitik sehingga menyebabkan agama tertentu menjadi jelek dipandang oleh agama lain maka tinggalkanlah metode berpolitik yang demikian jika kita masih takut dosa.

Itulah dua hal yang masih menjadi residu setelah gelaran pemilu langsung di indonesia. Yang perlu kita garis bawahi adalah dalam berpolitik janganlah berpikir stagnan, berpikirlah dinamis jangan hanya terjebak dengan siapa kawan dan siapa lawan namun berpikirlah maju kedepan demi indonesia. Pertemuan Jokowi dan prabowo serta pertemuan Prabowo dan Megawati telah membuktikan itu, bahwa setelah pilpres makan rekonsiliasi politik harus di laksanakan. “Dulu kita lawan sekarang kita kawan dan membangun negeri ini”.

Gusveri Handiko
Blogger Duta Damai Sumbar Tamatan Universitas Andalas Padang Menulis Adalah Salah Satu Cara Untuk Berbuat Baik

    Pentingnya Kita Melakukan Rekonsiliasi Politik Serta Menerapkan Konsep Berpikir Wasatiyyah

    Previous article

    Ketua FKPT Sumbar: Radikalisme Terorisme dan Hoax Tantangan Besar Kita Hari Ini

    Next article

    You may also like

    Comments

    Leave a reply

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    More in Opini