Sore hari, Tara sedang duduk di teras rumah sambil menunggu waktu berbuka. Ia yang sudah selesai membantu sang ibu di dapur, seperti memasak nasi dan mengupas bahan-bahan untuk dimasak, memilih di rumah daripada ikut dengan kakaknya berburu takjil.
Tara melihat anak-anak bermain di lapangan lepas yang ada di depan rumahnya. Sesekali, senyum senang pun turut hadir, seakan-akan merasakan kebahagiaan dari anak-anak yang bermain itu. Mungkin saja Tara ingin ikut bermain, melepas rasa rindu dengan permainan. Tentu ia sedikit malu jika ikut bergabung, mengingat bahwa umurnya sudah 16 tahun alias remaja.
Tiba-tiba, satu pesan singkat masuk ke ponsel, ia lihat dan baca pesan yang dikirim oleh Nusa. Mata indah itu melirik ke sudut kanan atas ponsel yang telah menunjukkan pukul lima sore. Ia pun membalas pesan tersebut dan menjawab singkat pesan dari sang kakak.
Sementara itu, Baskoro, papa Nusa dan Tara, menghampiri Tara yang duduk di tangan dengan tangan memegang sajadah. Ia duduk, lalu melihat raut wajah Tara yang tidak seperti biasanya.
“Ada apa, Sayang? Kenapa wajahmu seperti itu?” tanya Baskoro, meletakkan sajadah ke sisi kanan kursi, lalu menautkan kedua tangan.
“Itu, Pa. Takjil yang aku inginkan sudah habis. Kak Nusa sudah mencari di beberapa tempat, tetapi tidak ada. Padahal, aku ingin sekali makanan dan minum yang segar-segar hari ini,” ungkap Tara, meletakkan ponsel di meja, lalu melihat Baskoro.
“Mungkin ada pedagang yang menjual makanan yang kamu cari, tetapi mereka menjual hanya sedikit saja. Sudah, besok saja beli,” nasihat Baskoro, dan dianggukkan oleh Tara.
Tidak berselang lama, motor yang dikendarai Nusa pun berhenti di teras rumah. Banyak kantong yang ditenteng oleh laki-laki jangkung itu. Nusa pun turun dari motor, lalu mengucapkan salam kepada Baskoro dan Tara. Ia letakkan kantong-kantong plastik ke meja dan duduk di samping sang adik.
“Tadi, Pa, saat aku berbelanja takjil dan mencari makanan untuk Tara, aku melihat umat lain yang bukan berasal dari agama Islam, ikut membeli takjil. Bahkan, mereka lebih banyak membeli makanan-makanan,” terang Nusa dengan antusias.
“Iya, tidak apa-apa. Tidak ada masalah. Bukankah lebih baik seperti itu? Selain membantu pedagang kecil, secara tidak langsung mereka juga merasakan kehangatan dan keindahan bulan Ramadan,” jawab Baskoro dengan bijak.
Tara yang mendengar hal tersebut tampak mengernyitkan dahi. Ia lihat isi kantong yang ada di meja, lalu menghela napas saat pesanan yang diinginkan tidak ada. Tara pun melontarkan pertanyaan mengenai jawaban sang papa yang tidak masuk dalam pikirannya itu.
Sementara itu, Baskoro tersenyum kecil saat sang anak memberi pertanyaan tersebut. “Jadi, begini Nusa dan Tara. Islam itu sejatinya mengajarkan umatnya tentang saling menghargai dan menghormati. Tidak hanya itu, Islam juga agama yang damai. Jika agama selain Islam ingin membeli takjil untuk disantap. Itu tidak masalah karena mereka ingin menikmati makanan tersebut. Jarang-jarang segala jenis makanan dijual pada hari biasa, bukan? Jangan persempit wawasanmu dengan pikiranmu sendiri. Dengan siapa pun kamu beriteraksi, semisal saat berjualan, tidak masalah karena ada barang, jasa, atau apa pun yang diganti dengan alat transaksi.”
“Lalu, Pa. Bagaimana tanggapan Papa mengenai orang-orang yang selain agama Islam berburu takjil di masjid atau musala yang menyediakan makanan tersebut? Apakah hal tersebut dibolehkan, mengingat jika makanan tersebut diletakkan secara sukarela di masjid atau musala?” tanya Nusa yang langsung dianggukkan oleh Tara.
Baskoro mengambil sajadah yang sempat diletakkan di atas meja. Lalu, ia menjawab pertanyaan dari sang anak, “Berburu atau membeli takjil, itu tidak masalah bagi umat mana pun, terlepas apakah mereka Islam atau tidak. Akan tetapi, berburu takjil di masjid walaupun di masjid makanan tersebut hanya suka rela, itu tidak dianjurkan atau tidak dibolehkan.”
Dahi Nusa dan Tara mengernyit seketika, sedangkan Baskoro kembalu tersenyum. Ia pun lanjut menjelaskan, “Takjil yang di musala itu dikhususkan untuk orang-orang yang membutuhkan atau tidak ada uang membeli makanan. Atau, orang-orang yang dalam perjalanan dari tempat jauh dan orang-orang yang berada di sekiran masjid. Bahkan, jika kita mampu untuk membeli makanan, kita tidak dibolehkan untuk menikmati takjil tersebut. Takjil yang ada di masjid atau musala merupakan bentuk sedekah dari orang dermawan dan jumlahnya terbatas. Jangan sampai, karena ada kata gratis, kita mengambil semua makanan yang bukan hak kita.”
Nusa mengangguk-angguk, paham dengan penjelasan sang ayah. Ia yang sering menonton trend berburu takjil di salah satu media sosial, memahami peristiwa itu setelah dijelaskan oleh sang papa. Tentu ia akan mengingat pesan dari sang papa bahwa pentingnya menjaga sikap dan menghargai orang lain di bulan Ramadan.
Sementara itu, Tara yang sudah mulai paham, memberi tahu temannya mengenai nasihat sang papa. Ia pun berdiri dan mengambil bungkusan yang dibeli sang kakak, lalu masuk ke dalam. Baskoro yang memang biasa berbuka di masjid terdekat, maklum ia seorang imam masjid, tampak bersiap-siap pergi. Sebelum itu, ia menyuruh Nusa membersihkan diri dan meminta sang anak sulung untuk pergi ke masjid, menunggu waktu berbuka dan salat Magrib.
22 Maret 2024
Comments