Sebentar lagi kita akan merayakan hari raya Idul Adha. Beberapa hari kedepan, nuansa-nuansa lebaran akan makin terasa. Jagat dunia maya juga tidak ketinggalan dalam memberitakan momen ini.

Idul Adha disebut juga hari raya haji dan hari raya kurban. Dan memang, puncak prosesi haji dilaksanakan bersamaan dengan sholat Idul Adha. Terkait dengan kurban, Idul Adha awalnya memang didasarkan pada peristiwa penyembelihan nabi Ismail oleh  nabi Adam sebagaimana yang di ceritakan dalam Alquran.

Ibadah haji merupakan salah satu rukum Islam. Haji wajib dilaksanakan jika seorang muslim mampu melaksanakannya. Berkurban bisa menjadi pilihan jika seseorang belum mampu melaksanakan ibadah haji tersebut.

Di media massa, terutama televisi, femonema kurban sering diberitakan. Mulai dari berat hewan kurban yang dikurbankan presiden, hingga artis cilik yang melaksanakan kurban. Tak tanggung-tanggung, media meliput kegiatan artis itu mulai dari proses membeli hewan kurban hingga penyembelihan.

Walaupun jauh dari hiruk pikuk media, penyembelihan kurban tetap dilakukan di kampung-kampung. Walaupun dengan jumlah dan berat yang berbeda dengan hewan kurban presiden atau artis. Sering penulis saksikan langsung, satu sapi atau kambing dikurbankan oleh beberapa orang artinya berkurban secara gotong royong. Tanpa bermaksud menilai finansial seseorang, kadang yang berkurban secara ekonomi bisa dikatakan belum mapan.

Walaupun kehidupan dikampung tidak semewah di perkotaan, orang-orang kampung tetap melaksanakan kurban. Dan uniknya dilakukan secara bergotong royong. Walaupun pun memang itu dilakukan karena ketidakmampuan secara ekonomi untuk naik haji atau berkurban satu ekor sapi, tapi juga memperlihatkan kuatnya tradisi gotong royong dan kebersamaan masyarakat. Rasa kebersamaan ini tentu di dorong oleh adanya keinginan untuk berbagi dengan masyarakat dan memperhatikan kondisi sosial di kampung itu sendiri. Hal ini menurut penulis berbeda dengan orang yang haji berkali-kali tapi tidak memberikan pengaruh di lingkungannya.

Akhir akhir kita sering kali mendengar wacana keshalehan sosial. Terlepas dari perdebatan definisi keshalehan sosial secara keilmuan, setidaknya kita memahami bahwa keshalehan sosial berarti shaleh dalam kehidupan sosial atau kemasyarakatan. Seorang muslim di katakan shaleh jika melakukan amalan-amalan dan menjauhi larangan-larangan sebagaimana tuntutan agama dalam Alquran dan Hadist Nabi. Rajin ibadah ditambah dengan peka dengan kondisi sosial seperti ketimpangan ekonomi, kesenjangan sosial atau ikut bergotong royong bersama masyarakat menjadi seseorang tidak hanya shaleh secara agama tetapi saleh secara sosial. Bagi penulis, inilah yang dimaksud keshalehan sosial.

Menarik jika dikaitkan dalam Idul Adha dan prosesi kurban. Seseorang yang melaksanakan haji berkali-kali kadang tidak lebih dihargai daripada seseorang yang berkurban dan membagikannya kepada masyarakat. Lebih ironis jika tetangga – tetangga haji tersebut merupakan keluarga keluarga kurang mampu.

Dengan adanya momen Idul Adha ini, mari kita maknai sebagai melaksanakan perintah agama dan sekaligus ajang membangun kebersamaan dan peka dengan kondisi sosial masyarakat di sekitar kita. Mari kita bangun rasa solidaritas bermasyarakat dan semoga saja ini menjadi awal kuatnya rasa solidaritas berbangsa dan beragama. Dan semoga kita tidak hanya shaleh dalam beribadah tetapi juga shaleh secara sosial.

Onriza Putra

Qurban- Ku, Jihat- Ku

Previous article

Pengaruh Ojek Online bagi Perekonomian Daerah

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Opini