Lapek bugih adalah makanan tradisional Minangkabau yang disajikan sebagai kudapan. Kudapan ini memiliki cita rasa manis dan termasuk sebagai kategori kue tradisional populer bagi masyarakat minang, terutama warga Pariaman dan Padang Pariaman. Kue ini sangat mudah dijumpai diberbagai acara-acara, baik acara keluarga, acara agama, acara adat, dan acara social masyarakat lainnya. Tidak hanya itu, karena masyarakat Pariaman dan Padang Pariaman sangat menggemari kue tradisional ini, maka kue ini akan sangat mudah dijumpai setiap hari di pasar pagi di kota Pariaman.
Lapek Bugih sendiri berbentuk segitiga dan dibungkus oleh daun pisang. Bungkusan pisang perlu dibuka dengan hati-hati, agar nanti tangan jadi tidak kotor. Walaupun jajanan ini manis dan bergizi, tapi tidak dipungkiri lapek bugih sedikit lengket baik di tangan, walaupun di mulut ketika dimakan. Tapi justru itulah yang menjadi keunikannya.
Dalam upacara-upacara perkawinan masyarakat Pariaman, lapek bugih adalah menu wajib yang harus dibuat tuan rumah untuk menjamu tamu. Biasanya, tuan rumah akan dibantu sanak saudara untuk membuat lapek bugih ini. Tidak hanya dalam acara kawinan, dalam acara “maantaan pabukoan” atau mengantar buka puasa bagi mempelai baru perempuan ke rumah mertuanya di bulan Ramadan juga adalah sebuah tradisi yang masih berlangsung sampai sekarang ini. Keberadan lapek bugih semakin eksis lagi, ketika di upacara pendirian rumah atau acara sunatan pasti lapek bugih menjadi kudapan wajib yang disediakan. What a beautiful culture! Mungkin bisa kita simpulkan, bagi masyarakat Pariaman tidak akan begitu afdal acara yang diadakan jika tidak ada lapek bugih di dalamnya.
Lalu kenapa namanya lapek bugih? Inilah sisi menarik sekaligus indahnya pertukaran budaya itu. Konon katanya ketika Pariaman dulu menjadi pelabuhan terbesar di pulau Sumatera, ada orang bugis yang membawa dan memperkenalkan jajanan ini kepada masyarakat minang. Bagi saya ini adalah momen yang “membuka mata”. Masyarakat Minang terbuka pada hal-hal baik, terbuka pada hal yang bersifat beragam, dan selaras dengan alam dan norma yang ada dalam masyarakat Minang itu sendiri.
Penulis : Diko Arianto
Comments