Padang mendung pagi itu, dan perjalanan dimulai. Perjalanan mencari napas jiwa muda kemerdekaan. Perjalanan mencari hawa pemuda di masa merdeka.

Padang dengan segala riuhnya berganti dengan lancarnya jalan dan lengangnya jalan kota Pariaman. Hamparan sawah-sawah yang padinya telah menguning yang selalu dihampiri unggeh, salembai nan mengayun serentak dengan gerakan tuan sawah, rumah-rumah, kebun jagung, dan pasar-pasar tradisional berlalu layaknya diorama dan tertinggal di belakang. Kami terus menyongsong perjalanan mencari ruh pemuda dalam menghidupkan raga merdeka Indonesia.

Kunjungan Raun pertama berlokasi di tepi danau Maninjau, Agam yaitu Rumah Buya Hamka. Museum ini adalah bentuk penghargaan dan apresiasi atas pengabdian beliau di negeri ini. Rumah ini dibangun kembali setelah dihancurkan pada masa Jepang di Indonesia. Museum ini diresmikan pada November 2011 lalu. Hingga hari ini, museum ini tetap berdiri kokoh menghadap ke barat, ke hamparan luas danau Maninjau.

Berisi berbagai koleksi buku Hamka yang dijual di pasaran maupun yang koleksi dan keberadaannya sangat terbatas sekali. Tak hanya itu, Hamka juga dikenal karena sosoknya adalah anak nagari yang mencintai budayanya. Buktinya saja di museum ini ada layang-layang besar juga jala penangkap ikan. Hal ini tentu tak lepas dari permainan anak nagari yaitu layang-layang juga jala penangkap ikan yang berhubungan dengan kondisi geografis kampung halamannya yang berada di tepi danau Maninjau. Museum ini juga menyimpan dan memajang berbagai koleksi foto bersejarah Hamka.

Selepas diskusi mengenai jalan hidup Hamka, perjalanan berlanjut menyusuri jalanan kelok 44. Tujuan selanjutnya menapaki jejak napas Haji Agus Salim di rumah kelahirannya di koto gadang Bukittinggi. Perjalanan yang berliku, membuat seisi bus terdiam dalam lelap. Pemandangan di luar sana luar biasa, ingin rasanya pori-pori menyicip oksigen sepanjang perjalanan. Bus meluncur tenang. Yang lain terlelap dengan senyap.

Antusias terasa ketika bus berhenti tak jauh dari rumah kecil kediaman Agus Salim. Melihat koleksi juga berdiskusi bersama pengelola memberikan gambaran tentang sosok pahlawan Nasional ini. Haji Agus Salim, seorang diplomat ulung dari Ranah Minang. Keseruan diskusi harus terhenti sebab adzan magrib telah berkumandang. Dengan berat hati kami melangkah, meninggalkan kediaman Haji Agus Salim semasa kecil. Dalam hati terpetik sebuah harapan agar kelak nanti bisa menginjakkan kembali kaki ke rumah ini, dan menghirup napas perjuangan seorang Agus Salim untuk bangsa ini.

Jika kamu takut pisau, larilah ke tangkainya. Atasi dia dari sana, dekati lalu taklukkan. Hiduplah saling menghargai dan penuh toleransi, kita takkan pernah bisa menilai orang dari muka maupun agama, urusan wajah surga atau wajah neraka bukan tugas kita, tapi tugas yang maha kuasa. Tugas kita hanya saling menjaga, untuk mengharumkan Indonesia tercinta.

Peringati Sumpah Pemuda, Duta Damai Sumatera Barat Adakan Raun Kebangsaan Di Tanah Pahlawan

Previous article

Pesan Perdamaian Untuk Dunia

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Edukasi