Ditulis oleh: Rahayu Yun Putri

Apakah harus patuh atau tidak?

Dari pertanyaan tersebut, jawabannya ada dua, yakni harus dan tidak harus. Kenapa bisa seperti itu? Bukankah lebih baik mematuhi kaidah kepenulisan daripada melanggarnya sehingga menciptakan tulisan yang layak dibaca?

Wait! Sepertinya kita harus kembali pada pemikian masing-masing mengenai hal ini. Kita tidak bisa menyalahkan tulisan seorang pemula yang acakkadut karena tidak memahami tata bahasa atau kaidah kepenulisan, bukan? Kita tidak bisa menyalahkan sebuah penerbit karena menggunakan gaya selingkung (house style), bukan? Dan tentu, kita tidak bisa menyalahkan penulis, baik senior maupun pemula, dengan gaya bahasa penulis (author style), bukan?

Merujuk jawaban kedua yakni tidak harus. Hal ini karena ada beberapa penulis yang mempertahankan gaya bahasa mereka dan ada penerbit yang menggunakan gaya selingkung. Di sana, mereka ingin menciptakan gaya tersendiri sehingga berbeda dengan orang lain.

Biasanya, penulis yang sudah memiliki pengalaman dan pengaruh dalam dunia literasi memiliki gaya tulis tersendiri asalkan tidak menyalahi aturan secara brutal atau frontal, kecuali penulis tersebut memiliki argumen yang tepat untuk hal tersebut. Karena itu, tidak masalah jika penulis ingin menyalahi aturan yang ada untuk mempertahankan gaya bahasa mereka.

Selanjutnya, merujuk pada jawaban pertama. Penulis senior maupun pemula harus menaati kaidah kepenulisan dan tata bahasa agar tulisan mereka menjadi rapi, bagus, cantik, indah, dan layak dibaca oleh siapa pun. Nah, di sinilah penulis dituntut untuk memiliki ilmu mengenai self editing sendiri walaupun dasar.

Fungsi dan Tugas Editor Fiksi maupun Nonfiksi

Seorang penulis tidak harus menghafal KBBI, PUEBI, dan TBBI secara keseluruhan, kecuali otak mereka memiliki kemampuan seperti itu. Maka dari itu, mempelajari dasar sangat diperlukan agar tulisan lebih terarah.

Jika seperti itu, apa fungsi editor? Bukankah merapikan naskah adalah tugas editor? Ya, begitulah anggapan penulis pemula ketika naskah mereka dikritik dan beri saran oleh polisi literasi, baik naskah fiksi maupun nonfiksi.

Tunggu sebentar. Apakah pertanyaan tersebut sudah Anda pikirkan masak-masak sehingga dengan mudah berkata seperti itu? Memang benar fungsi dan tugas editor merapikan tulisan penulis yang masuk ke penerbitan. Akan tetapi, editor memiliki kode etik editor yang harus mereka taati.

Walaupun pada dasarnya tidak ada dokumen resmi penetapan kode etik, para editor harus atau dapat mengaju pada kesepakatan kerja (kontrak) terutama antara penulis dan penerbit.

Sejatinya, para editor tidak boleh asal-asalan mengedit naskah penulis karena akan mengubah tulisan tersebut nantinya jika mengikuti gaya bahasa editor. Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh penulis agar tidak sembarangan menilai editor.

  1. Editor harus menghormati ciptaan dan penciptaan karya tulis yang sedang mereka edit sesuai Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014.
  2. Editor tidak boleh mengambil keuntungan dari karya yang mereka edit. Dengan kata lain, editor tidak boleh menjimplak ide atau tulisan penulis).
  3. Editor harus merahasiakan isi naskah yang sedang diedit dari kepentingan yang tidak ada hubungannya dari proses pengolaan naskah.
  4. Editor tidak diperkenankan menghilangkan atau merusakkan bagian-bagian naskah sehingga merugikan penulis.
  5. Editor tidak diperkenankan mengubah isi naskah tanpa pemberitahuan.
  6. Editor tidak boleh memulakan kesalahan justru dari teks yang sudah benar. Dengan kata lain, teks yang sudah benar tidak boleh diedit lagi menurut keyakinan editor.
  7. Editor tidak boleh memperlambat pengeditan melewati tenggat yang sudah ditetapkan secara sengaja.

Bagaimana dengan penulis nonfiksi?

Akhir-akhir ini banyak muncul penulis dadakan karena perkembangan teknologi, internet yang melahirkan situs, blog, dan media sosial lain. Akibatnya, penulis-penulis baru terkadang menimbulkan masalah ddalam etika kepenulian.

Tulisan-tulisan mereka sering diloloskan tanpa proses editing, kecuali ada laporan terkait konten-konten berbahaya, seperti fitnah, hoax, berita kontroversi, berbau pornografi, SARA, dan penipuan untuk kepentingan pribadi.

Efek yang didapat dari hal tersebut banyak orang menulis artikel serampangan dan merasa sudah mampu menulis. Namun, jika dilihat dari kacamata editing nasakah, tentu banyak sekali naskah tersebut yang tidak layak untuk dipublikasi. Para penulis merasa tulisan mereka sudah layak karena tidak ada yang menyaring dan mengontrol.

Banyaknya kasus seperti itu, tentu tata bahasa dan kaidah kepenulisan tidak harus digunakan dalam penulisan artikel, kecuali penulis artikel tersebut mau berbenah dan merapikan tulisan mereka sehingga layak untuk dikonsumsi publik.

Nah, teman-teman pegiat literasi. Terjawab sudah hal yang mengganjal di otak kalian, bukan? Maka dari itu, alih-alih melanggar, kenapa kalian tidak mulai belajar untuk mempercantik tulisan kalian. Tentu, saya berharap kalian tidak menjadi polisi literasi, ya, karena tulisan dan bahasa itu menyesuaikan zaman yang ada.

Sumber referensi: Trim, Bambang. 2017. “200+ Solusi Editing Naskah dan Penerbitan”. Jakarta: Bumi Aksara.

Siap Sambut Tahun Toleransi, FKUB Kota Bukittinggi Gelar Malam Kebersamaan

Previous article

Kenali aku dan sayangi aku

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Edukasi