Oleh: Suyadi

Tak kenal maka tak sayang, demikianlah pribahasa yang tepat untuk menggambarkan peristiwa hangat yang telah terjadi di lingkungan masyarakat, hal tersebut berkenan dengan adanya video viral Ulama yang mengatakan bahwa wayang itu haram. Penulis sendiri bukan orang yang ahli agama apa lagi ahli surga. Penulis juga hanya sedikit tahu tentang Kesenian Wayang yang merupakan Kebudayaan Jawa yang telah diakui oleh UNESCO.

Setelah saya bertanya kepada para sesepuh hal tersebut sangat wajar karena pada dasarnya mereka yang mengatakan bahwa wayang itu haram karena memang mereka tidak tahu tentang kebudayaan Jawa terlebih tentang kesenian wayang, dan bagaimana bisa tahu karena memang pagelaran wayang kulit lebih banyak menggunakan Bahasa Jawa bahkan Bahasa Jawa Krama Inggil serta bahasa Kawi sehingga mereka yang tidak memahami bahasa tersebut bagaimana bisa memahami maksud yang di sampaikan oleh Dalang. Terlebih lagi mereka tidak pernah mencari tahu maupun bertanya langsung pada para Dalang.

Menurut beberapa sumber yang penulis baca, wayang sudah ada di tanah Jawa sejak tahun 1.500 Sebelum Masehi, wayang sendiri pada masanya di gunakan oleh masyarakat untuk ritual pemanggilan roh nenek moyang. Hal tersebut terjadi karena memang masyarakat Jawa pada masa itu melakukan pemujaan terhadap arwah leluhur. Pemujaan dilakukan dengan cara pagelaran wayang.

Meskipun wayang yang digunakan masih sangat sederhana yakni terbuat dari rumput yang dibuat menyerupai bentuk manusia, kemudian bahan pembuatan wayang terbuat dari kulit kayu hingga sekarang wayang terbuat dari kulit hewan, sehingga wayang sering dikenal dengan istilah wayang kulit.

Seiring berjalannya waktu dan masuknya Budaya Hindu dan Buddha, Pagelaran wayang menceritakan kisah tentang perang besar antar saudara dari keluarga Bharata yang tertulis dalam kitab Mahabharata. Perang tersebut melibatkan Kelompok Pandawa dan Kurawa.

Dalam kisah Mahabharata diceritakan dengan jelas bahwa dalam keluarga besar bahkan kelurga Ksatria sekalipun tidak luput dari rasa iri hati, benci, dan dendam antar anggota keluarga yang di dasari dengan perebutan Harta, Tahta, hingga kehormatan Wanita.

Kelompok Kurawa yang juga memiliki banyak Ksatria yang gagah berani dengan jumlah seratus orang terpaksa harus luluh lantak oleh Kelompok Pandawa yang hanya berjumlah lima orang, yang tentunya masing-masing kelompok di dukung oleh para tentara kerajaan yang setia terhadap kelompok tersebut. Meskipun kelompok Pandawa memenangkan perang besar tersebut, namun tetap saja menderita kerugian besar, selain kerugian harta tentunya juga kehilangan orang-orang yang sangat mereka sayangi seperti anak-anaknya Pandawa, Resi Durna yang merupakan guru para Pandawa, juga Bisma Dewabrata yang merupakan Paman dari para Pandawa.

Kitab Mahabharata yang merupakan bagian dari Kitab suci Agama Hindu ini memberikan pelajaran yang berharga bagi kita Bangsa Indonesia.
Akankah demi memperoleh Harta, Tahta, dan Wanita, kita akan perang sesama saudara sebangsa?

Wayang sendiri memiliki arti bayang-bayang, dan kisah Mahabharata adalah bayangan nyata yang pasti terjadi jika terjadi perang saudara.

Seiring berjalannya waktu Sunan Kalijaga yang merupakan salah satu dari Wali Songo, menyiarkan ajaran Islam dengan Wayang. Dalam Kitab Mahabharata tidak di temukan tokoh Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong yang sering di sebut Punokawan. Sementara dalam Pagelaran Wayang Kulit di Indonesia, tokoh Pandawa Lima senantiasa di kawal dan di dampingi oleh Punokawan, yang menyimbolkan yang jelata. Meskipun rakyat jelata ternyata Punokawan di percaya memiliki kekuatan kesaktian Para Dewa, sehingga Punokawan dianggap sebagai penjelmaan dari Para Dewa. Hal tersebut yang di anggap sebagai kearifan lokal, dimana Rakyat Indonesia yang sepertinya hanya rakyat jelata tetapi memiliki kekuasaan tertinggi yang suaranya di wakilkan oleh lembaga tinggi negara yaitu MPR dan DPR.

Setelah memahami bahwa Wayang Kulit banyak menceritakan Kitab Mahabharata, dan akibat maupun kerugian yang terjadi jika terjadi perang saudara, maka wayang menjadi haram atau tidak itu menjadi keputusan masing-masing individu. Penulis hanya berharap agar Keanekaragaman Suku, Budaya, Adat, dan Agama yang ada di Indonesia menjadi alat pemersatu bangsa sebagai mana tertuang dalam sila ke tiga Pancasila yang berbunyi “Persatuan Indonesia”

Suyadi

Apakah kita harus patuh pada tata bahasa atau kaidah kepenulisan dalam sebuah naskah fiksi dan atau nonfiksi?

Previous article

ANAK MUDA INDONESIA TELAH MEMBUKA MATA PADA SOCIETY 5.0

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Opini