Berubahnya sistem pasca runtuhnya Orde Baru 1998 membawa pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan berbagai elemen bangsa, termasuk di dalamnya perkembangan Islam. Bentuk Islam di Indonesia menjadi sangat beragam. Keragaman ini tercermin dari jumlah organisasi keislaman dan kelompok kepentingan atas nama Islam yang dari waktu ke waktu semakin bervariasi.

Peter G. Riddel membagi menjadi empat kekuatan Islam Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru, yaitu; modernis, tradisionalis, neomodernis dan Islamis. Secara umum, Riddel sepaham terhadap definisi masing-masing kategori dengan mengabaikan satu kategori dari Woodward, yaitu indigenized Islam. Bagi Riddel, masing-masing kategori memiliki ciri khasnya sendiri dalam menanggapi berbagai isu krusial di tahun-tahun periode pertama pascapemilu pertama runtuhnya Orde Baru, yaitu tahun 1999. Isu-isu tersebut antara lain kembali ke Piagam Jakarta, krisis Maluku, membuka hubungan dagang Israel, negara Indonesia federal, tempat kaum minoritas dalam sistem negara Indonesia, presiden perempuan, dan partai politik yang baru dibuka krannya setelah Orde Baru runtuh.

Pengelompokan yang dilakukan oleh Riddel di atas bila dilihat dari sisi penafsiran dapat dipersempit menjadi dua pengelompokan saja, yaitu liberal-moderat dan radikal atau fundamental. Islam liberal dan moderat dengan penafsiran terbuka terhadap ajaran Islam, sekalipun tidak sama persis, sedangkan Islam radikal atau fundamentalis memiliki paham penafsiran tertutup. Beberapa kelompok Islam seperti Jaringan Islam Liberal (JIL), Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LAKPESDAM) NU, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), adalah beberapa kelompok Islam yang dapat dikategorikan ke dalam kelompok Islam yang beraliran terbuka.

Selain Islam liberal, Islam garis keras atau Islam radikal banyak menikmati perubahan politik di Indonesia ini. Islam radikal ini telah berkembang menjadi salah satu kelompok gerakan Islam baru yang mempunyai arti penting di Indonesia. Berbagai kelompok Islam radikal ini muncul. Sebagian adalah gerakan Islam yang berskala internasional seperti gerakan Salafi dan Hizbut Tahrir. Sebagian yang lain 118 adalah gerakan berskala nasional seperti Front Pembela Islam, Hizbut Tahrir Indonesia, Lasykar Mujahidin, Ikhwanul Muslimin Indonesia. Selain itu muncul gerakan Islam radikal lokal seperti Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS) di Surakarta dan Front Thariqah Jihad (FTJ) di Kebumen.

Radikalisme atau fundamentalisme tidaklah muncul dari ruang hampa. Dalam teori sosial, radikalisme adalah sebuah gerakan yang terkait atau disebabkan oleh fakta lain. Dalam pandangan kaum fakta sosial bahwa ada tiga asumsi yang mendasari keseluruhan cara berpikirnya, yaitu terdapat keajegan atau terdapat keteraturan sosial (social order), terdapat perubahan sekali waktu dan tidak ada fakta yang berdiri sendiri kecuali ada fakta penyebabnya. Akar radikalisme dapat ditilik dari beberapa penyebab, antara lain:

Pertama, adanya tekanan politik penguasa terhadap keberadaannya. Di beberapa belahan dunia, termasuk Indonesia fenomena radikalisme atau fundamentalisme muncul sebagai akibat otoritarianisme.

Dalam kasus Orde Baru, negara selalu membabat habis yang diidentifikasi sebagai gerakan radikal. Baginya radikalisme adalah musuh nomer satu dan dijadikan sebagai common enemy melalui berbagai media transformasi. Radikalisme kiri dan kanan sama saja. Radikalisme kiri seperti Gerakan New Left, yang pernah berkembang di Indonesia sekitar tahun 1980-an dan terus memperoleh momentum di tahun 1990-an melalui Partai Rakyat Demokratik (PRD) merupakan eksponen organisasi yang dianggap sebagai musuh negara. Begitu kerasnya tekanan terhadap gerakan radikal kiri ini, banyak para tokohnya yang ditangkap, disiksa, bahkan ada yang hilang tidak tentu rimbanya.

Orde Baru juga sangat keras terhadap radikalisme kanan. Di antara yang paling menonjol adalah isu Komando Jihad di pertengahan tahun 1980-an. Banyak tokoh Islam yang diidentifikasi sebagai pemimpin atau anggota Komando Jihad yang ditangkap dan ditahan. Usaha untuk memberangus gerakan-gerakan radikal Islam itu pun terus berlangsung sampai periode munculnya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di pertengahan tahun 1990-an. Abdul Aziz Thaba membuat tipologi hubungan antara Islam dan Negara dalam tiga kategori, yaitu hubungan antara Islam dan Negara yang bercorak antagonistis, resiprokal kritis, dan hubungan antara Islam dan Negara yang saling membutuhkan.

Di era reformasi, jika gerakan radikal kiri berada dalam keadaan mati suri, tidak demikian halnya dengan gerakan radikalisme kanan. Setelah kran-kran kebebasan demokrasi dibuka, tidak serta merta membuat gerakan radikal ini surut, bahkan tumbuh subur, seperti munculnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), Gerakan Salafi, Laskar Jundullah, Lasykar Jihad, Gerakan Islam Ahlussunnah wal Jamaah, Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), Negara Islam Indonesia (NII) dan berbagai agama bercorak lokal adalah sebuah potret merebaknya gerakan-gerakan keagamaan ini.

Kedua, faktor emosi keagamaan. Harus diakui bahwa salah satu penyebab gerakan radikalisme adalah faktor sentimen keagamaan, termasuk di dalamnya adalah solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Lebih tepat dikatakan hal itu sebagai faktor emosi keagamaannya dan bukan agama (wahyu suci yang absolut), karena gerakan radikalisme selalu mengibarkan bendera dan simbol agama seperti dalih membela agama, jihad, dan mati sahid. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan emosi keagamaan adalah agama sebagai pemahaman realitas yang sifatnya interpretatif, yakni nisbi dan subjektif.

Ketiga, faktor kultural ini juga memiliki andil yang cukup besar yang melatarbelakangi munculnya radikalisme. Sedangkan yang dimaksud faktor kultural di sini adalah sebagai antitesis terhadap budaya sekularisme. Budaya Barat merupakan sumber sekularisme yang dianggap sebagai musuh yang harus dihilangkan dari bumi. Sedangkan fakta sejarah memperlihatkan adanya dominasi Barat dari berbagai aspeknya atas negeri-negeri dan budaya Muslim.

Gerakan radikal di Indonesia disinyalir Yudi Latif karena mereka tidak menerima perbedaan. Perbedaan yang muncul dimasyarakat dianggap sebagai sebuah ancaman terhadap eksistensi kaum radikal. Mereka berasumsi bahwa untuk menunjukkan eksistensi mereka maka mereka harus mengeliminasi eksistensi orang lain. Teroris berani mati karena mereka menganggap perbedaan adalah musuh dan ancaman yang harus dihancurkan.

Keempat, faktor ideologis antiwesternisme. Westernisme merupakan suatu pemikiran yang membahayakan Muslim dalam mengaplikasikan syariat Islam, sehingga simbol-simbol Barat harus dihancurkan demi penegakan syariat Islam. Walaupun motivasi dan gerakan anti-Barat tidak bisa disalahkan dengan alasan keyakinan keagamaan tetapi jalan kekerasan yang ditempuh kaum radikalisme justru menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memosisikan diri sebagai pesaing dalam budaya dan peradaban. Yudi Latif menandaskan, munculnya terorisme disebabkan karena tidak berjalannya sense of conseption of justice. Teroris muncul karena munculnya skeptisisme terhadap demokrasi. Demokrasi dianggap sebagai sistem negara kafir .

Kelima, faktor kebijakan pemerintah. Ketidakmampuan pemerintah di negara-negara Islam untuk bertindak memperbaiki situasi atas berkembangnya frustasi dan kemarahan sebagian umat Islam disebabkan dominasi ideologi, militer maupun ekonomi dari negera-negara besar. Dalam hal ini elit-elit pemerintah di negeri- negeri Muslim belum atau kurang dapat mencari akar yang menjadi penyebab munculnya tindak kekerasan (radikalisme) sehingga tidak dapat mengatasi problematika sosial yang dihadapi umat.

Keenam, faktor media massa (pers) Barat yang selalu memojokkan umat Islam juga menjadi faktor munculnya reaksi dengan kekerasan yang dilakukan oleh umat Islam. Propaganda-propaganda lewat pers memang memiliki kekuatan dahsyat dan sangat sulit untuk ditangkis sehingga sebagian ekstrem yaitu perilaku radikal sebagai ekpresi dan reaksi sebagimana yang ditimpakan kepada komunitas muslim.

Gusveri Handiko
Blogger Duta Damai Sumbar Tamatan Universitas Andalas Padang Menulis Adalah Salah Satu Cara Untuk Berbuat Baik

    Penyebaran ideologi Khilafah Di Kampus

    Previous article

    Kepala BNPT dan Gus Miftah di Channel YouTube Deddy Corbuzier

    Next article

    You may also like

    Comments

    Leave a reply

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    More in Edukasi