Mungkin banyak yang tidak sadar jika hal tersebut jatuh pada hari yang sama, dan bagi sebagian lain tentu hal tersebut menjadi hal aneh dimana sebagian orang ini meyakini bahwa 1 Suro itu berkenaan dengan nuansa mistis, musrik, bahkan dianggap syirik.

Pada kenyataannya 1 Suro memang berbeda dengan Tahun Baru Islam yang lebih dikenal dengan istilah 1 Muharram. Saat ini tahun Islam memasuki tahun 1444 Hijriyah, sedangkan 1 Suro adalah Tahun Baru Jawa yang saat ini memasuki tahun 1956 Ehe. Dari hal tersebut jelas berbeda makna antara 1 Suro dan Tahun Baru Islam, hanya saja datangnya peringatan 1 Suro dan 1 Muharram senantiasa bersamaan.

Saat memperingati Tahun Baru Jawa, biasanya masyarakat Jawa yang tersebar di seluruh Negara Indonesia yang masih memegang tradisi Jawa yang kuat akan melakukan syukuran seperti Gotong Royong bersih desa, doa selamatan, memandikan pusaka (keris, pedang, atau tombak), puasa, hingga ritual mandi bunga tujuh rupa, mandi air tujuh sumber dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut akhirnya dianggap oleh sebagian masyarakat bahwa perayaan 1 Suro itu Haram hukumnya.

Lantas apa filosofi dari rangkaian ritual yang dilakukan oleh orang Jawa tadi?
1.Gotong Royong bersih desa jelas adalah kegiatan bersama untuk menjaga kebersihan desa dan menciptakan keindahan, dimana lingkungan yang bersih akan memberikan kesehatan pada masyarakatnya.

  1. Doa selamatan jelas melakukan ritual keagamaan untuk memohon keselamatan dari Tuhan Semesta Alam.
  2. Memandikan pusaka baik itu Keris, Pedang, serta Tombak, merupakan simbol rasa syukur karena Keris, Pedagang, serta Tombak pada masanya sebagai alat perlindungan diri dari bahaya, dan sekarang pusaka tadi sebagai simbol penghargaan terhadap karya seni nenek moyang.
    Sebenarnya pada saat 1 Suro senjata seperti golok, pisau, sabit, kapak, bahkan cangkul juga di mandikan karena alat-alat tersebut telah membatu meringankan pekerjaan para petani dan bersyukur tidak melukai si petani.
  3. Puasa berguna untuk melatih kesabaran, karena dipercaya bahwa selama bulan Suro banyak ujian atau rintangan hidup, hal tersebut terjadi lantaran kepercayaan masyarakat Jawa bahwa bulan Suro di bawah naungan makhluk raksasa (Asura) yang mencari mangsa.
  4. Mandi bunga tujuh rupa memiliki makna untuk membersikan diri dari segala angkara murka sehingga nama kita menjadi harum di lingkungan masyarakat.
  5. Mandi air tujuh sumber sendiri mengajarkan manusia untuk ulet dan bekerja keras dalam mencari sumber kehidupan.

Dari hal tersebut akankah ada yang bertentangan dengan ajaran kebenaran sehingga di klaim sebagai sesuatu yang sesaat?
Dan herannya kelompok yang mengatakan perayaan seperti itu syirik, musrik hanya berani menyerang kelompok kecil dan rakyat jelata atau yang tertinggal pendidikannya. Lihat saja hingga kini Kesultanan Surakarta dan Yogyakarta masih menyelenggaran ritual memandikan Pusaka Keris, Pedang, serta Tombak dan diarak keliling kota sebagai Kirab Budaya tetapi tidak ada kelompok yang berani merusak atau membubarkan ritual tersebut.

Jika memang hal tersebut salah mengapa tidak satupun yang berani menghentikan dan membubarkannya? Jawabannya adalah mereka berusaha membuang budaya luhur warisan nenek moyang, dan yang paling mudah untuk dipersekusi adalah rakyat kecil yang terbelakang.

Penulis mengajak para generasi muda untuk terus menjaga dan merawat tradisi budaya luhur warisan nenek moyang. Jika kita tidak menjaganya niscaya budaya yang luhur tersebut akan hancur karena perubahan zaman, dan tanpa sadar kita menjadi bagian dari kehancuran budaya bangsa.

Suyadi

Mengenal “Batu Lantak Tigo” Jejak sejarah Asal Usul Etnis Minangkabau

Previous article

MELALUI KEGIATAN PENGABDIAN MASYARAKAT DOSEN POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PAYAKUMBUH PERKENALKAN TEKNIK BUDIDAYA PINANG BATARA KEPADA KELOMPOK TANI

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Edukasi