Wisata halal merupakan program pemerintah yang di canangkan oleh menteri pariwisata Arif Yahya. Wisata halal merupakan segmen pasar dinamis dan tumbuh sangat mengesankan. Pada 2020, pasar wisata Muslim diperkirakan mencapai 220 miliar dolar AS dan diperkirakan meningkat 36 persen menjadi 300 miliar dolar AS selama enam tahun berikutnya.
Sedangkan prediksi kenaikan jumlah wisatawan halal, dari 140 juta wisatawan pada 2018 menjadi 230 juta wisatawan pada 2026. Ini potensi wisatawan yang begitu besar bagi Indonesia sebagai negara populasi Muslim terbesar di dunia.
Pemerintah menyiapkan tim untuk mengambil potensi ini dengan membentuk Tim Percepatan Pengembangan Pariwisata Halal Kementerian Pariwisata juga menyelenggarakan Halal Travel Business Forum sejak 2017 di Jakarta. Konsep wisata halal ini sendiri menargetkan wisatawan muslim dari timur tengah.
Persoalan demi persoalan pun muncul dengan penerapan konsep wisata halal ini di indonesia. Dimana ada beberapa wilayah yang memang terkenal dengan keindahan alamnya dan memang menjadi icon wisata di indonesia menolak konsep wisata halal ini. Kenapa hal tersebut bisa terjadi?
Hal ini tidak jauh-jauh dari faktor politik di indonesia. Dimana beberapa tahun belakangan politik identitas sangat di gaungkan oleh beberapa politikus di indonesia. Dimana agama islam dijadikan bahan untuk berpolitik dan islam dijadikan kendaraan politik oleh mereka. Hal ini sangat membawa imbas kepada pola pikir masyarakat terutama non muslim di indonesia dan sayangnya daerah wisata yang memberikan potensi terbesar untuk wisata halal banyak dihuni oleh masyarakat yang beragama non muslim. Muncullah di pola pikir mereka kenapa harus ada kata “HALAL” apakah wisata mereka “HARAM” sehingga harus di jadikan halal.
Ada beberapa hal yang harus di cermati oleh pemerintah dalam hal ini kementerian pariwisata.
Pertama, sosialisasi akan wisata halal yang dirasakan masih kurang. Walaupun wisata halal ini di katakan dapat membawa pemasukan yang sangat besar bagi indonesia namun dalam kenyataannya masyarakat masih belum paham dengan konsep wisata halal ini.
Kedua, penamaan wisata halal dirasakan masih kurang tepat jika dicanangkan oleh pemerintah pusat dalam hal ini oleh kementerian pariwisata indonesia. Hal ini dipengaruhi oleh kata “Halal” sangat identik dengan islam. Jika mengkaji kata halal dalam islam tidak hanya dari asal makanan saja namun semua pendukung wisata halal pun juga harus halal. Masyarakat mungkin akan menerima jika gubernur atau walikota/bupati yang mencanangkan wisata halal di daerahnya, karena kalau pemerintah yang mencanangkan, pemerintah tidak boleh ada kesan mementingkan satu agama saja yaitu islam. Akan jauh lebih Pancasila kalau wisata halal di ganti menjadi Wisata “Budaya”.
Ketiga, jika memang harus ada wisata halal seharusnya di canangkan bukan di daerah potensi wisata yang mayoritas penduduknya non muslim karena justru akan berdampak kepada penolakan dari masyarakat itu sendiri.
Keempat, wisata halal seharusnya tidak diterapkan di daerah-daerah yang sudah menjadi ikon wisata namun di daerah-daerah yang mempunyai potensi wisata namun belum tergali dengan baik. Hal ini penting karena daerah-daerah potensi wisata tersebut butuh penarik wisatawan asing/lokal ke daerahnya. Sehingga akan jauh lebih berdampak siknifikan kepada perekonomian di seluruh daerah di indonesia karena uang tidak hanya berputar di wilayah wisata yang sudah terkenal saja.
Akhirnya program wisata halal yang memang punya konsep menarik dan berpotensi besar untuk pendapat indonesia harus melakukan perbaikan-perbaikan dalam konsepnya. Hal ini penting karena wisata merupakan sumber penghasilan yang besar bagi indonesia karenanya harus mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah. Kementerian pariwisata harus berbenah dalam wisata halalnya dengan tidak kaku dalam menerapkan konsep wisata halal ini.
Comments