Masyarakat minangkabau mempunyai tataran hukum adat yang berbeda dengan daerah lain atau suku lainnya. Di Sumatera Barat ada wilayah yang disebut nagari, berdasarkan ketentuan perda ini pasal 1 ayat (5) yang dimaksud dengan nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat dalam Provinsi Sumatera Barat yang terdiri dari suku dan kumpulan suku mempunyai wilayah dengan batas-batas tertentu.

Jenis tanah ulayat bagi masyarakat minangkabau dibagi 4 sesuai dengan Pasal 5 Perda ini yaitu tanah ulayat nagari, tanah ulayat suku tanah ulayat kaum dan tanah ulayat rajo. Dalam Pasal 1 perda ini diterangkan bahwa Tanah ulayat nagari adalah tanah ulayat beserta sumber daya alam yang ada di atas dan didalamnya merupakan hak penguasaan oleh ninik mamak kerapatan adat nagari (KAN) dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat nagari, sedangkan pemerintahan nagari bertindak sebagai pihak yang mengatur untuk pemanfaatannya. Tanah ulayat suku adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya alam yang berada diatasnya dan didalamnya merupakan hak milik kolektif semua anggota suku tertentu yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh penghulu-penghulu suku. Tanah ulayat kaum adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya alam yang berada diatasnya dan didalamnya merupakan hak milik semua anggota kaum yang terdiri dari jurai/paruik yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh mamak jurai/mamak kepala waris. Tanah ulayat rajo adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya alam yang berada diatasnya dan didalamnya yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh laki-laki tertua dari garis keturunan ibu yang saat ini masih hidup disebagian nagari di Provinsi Sumatera Barat.

Memang dalam masyarakat hukum adat minangkabau, penghulu dan mamak kepala waris punya kedudukan penting. Sehingga mereka mempunyai amanah untuk menjaga dan memelihara serta memanfaatkan tanah adat kaumnya untuk kebaikan mereka bersama.

Ilustrasi

Dalam Pasal 1 perda ini dijelaskan yang dimaksud dengan penghulu adalah pemimpin dalam suku ataupun kaum, ia adalah pemegang hak ulayat atas sako (gelar kebesaran pemimpin) dan pusako (harta pusaka berupa tanah ulayat dan harta benda). Sedangkan mamak kepala waris adalah laki-laki tertua atau yang dituakan di jurai/paruik dalam suatu keluarga.

Perda ini secara jelas menyebutkan adanya pendaftaran atas tanah ulayat bahkan menjadi Bab khusus dalam perda ini yaitu Bab V Pasal 8 dengan menerangkan siapa-siapa yang menjadi pemegang hak tanah ulayat dimasing-masing nagari, suku, kaum dan rajo. Yang amat disayangkan dalam Pasal 8 huruf e menyebutkan bahwa penguasa dan pemilik tanah ulayat bisa memberikan bagian tanah ulayat kepada perorangan dan bisa didaftarkan karena dikerjakan secara terus menerus dan menjadi sumber kehidupan.

Yang perlu dipahami bersama, konflik akan terjadi apabila tidak ada kepastian hukum berupa aturan hukum yang jelas mengenai tanah ulayat. Dari sekian pasal dalam perda ini, posisi penghulu dan mamak kepala waris akan menjadi rawan godaan bagi pihak manapun untuk menguasai tanah ulayat. Walaupun memang dapat sekilas dipahami perda ini bertujuan agar para investor tidak perlu takut menanamkan modal usaha/investasinya di tanah minangkabau akibat trauma dengan sengketa tanah ulayat yang tidak berujung di Sumatera Barat.

Dan pemerintah daerah Sumatera Barat seolah-olah lepas tangan dalam menghadapi permasalahan yang ada dengan menyerahkan persoalan sengketa ini ke pengadilan bila tidak bisa diselesaikan secara musyawarah dan mufakat ditingkat KAN. Kalau memang perda ini dimaksudkan untuk menyelesaikan sengketa maka seharusnya didominasi pasal-pasal yang menghormati tanah ulayat serta jangan sampai tanah ulayat sebagai pemersatu kemenakan-kemenakan atau anggota keluarga-anggota keluarga masyarakat hukum adat dibagi-bagi bahkan menjadi hak milik perseorangan dan badan hukum dan diobral hingga identitas lokalnya mulai luntur dan satu persatu anggota keluarga dan kemenakan pergi merantau dan tidak mengurus tanah ulayat tersebut.

Dengan dikeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan tersebut dari mulai peraturan menteri hingga peraturan daerah dan gubernur, apakah akan menjamin eksistensi tanah adat untuk masa yang akan datang. Hal ini perlu dijawab kalau memang tanah ulayat perlu dipertahankan di bumi Indonesia ini bahkan di Sumatera Barat.

Jangan sampai tanah ulayat menjadi bahan komoditas jual beli dan transaksi bagi pihak-pihak yang ingin menguasai tanah ulayat yang pada ujungnya untuk dimiliki secara pribadi, apalagi penghulu dan mamak kepala warisnya tidak paham dengan aturan hukum tanah ulayat akan mudah tergoda dengan bujukan dan rayuan agar mau menjual tanah milik kaumnya.

Dan memang di Sumatera Barat tidak ada tanah yang tak bertuan, pasti ada pemiliknya walaupun diujung gunung atau sungai, baik itu milik perseorangan dan badan hukum bahkan mayoritasnya adalah tanah ulayat yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat minangkabau yang terdiri dari suku-suku, kaum-kaum dan nagari-nagari.

Konsekuensi amanat Undang-Undang Pokok Agraria yang mana seharusnya tanah ulayat tersebut harus dijaga sedemikian rupa tidak berkesesuaian dengan peraturan pelaksana dibawahnya yang malah mengobral habis tanah ulayat agar cepat punah dari bumi Indonesia, dan yang tersisa adalah hak-hak milik pribadi yang membuat masyarakat Indonesia terutama minangkabau kehilangan identitas komunalnya demi menjaga persatuan dan kekeluargaan.

Bagi masyarakat Minangkabau, tanah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari mereka. Sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya, mayoritas masyarakat adat minangkabau masih berkaitan dengan tanah yaitu bertani, berkebun dan beternak. Sehingga ketergantungan ini beralasan penting bagi masyarakat minangkabau untuk menjaga status tanah ulayatnya. Sekiranya tanah tersebut dikelola oleh para investor tanpa melibatkan masyarakat hukum adat, maka ini merupakan upaya penghapusan status kepemilikan tanah ulayat bagi masyarakat minangkabau perlahan-lahan dan pada akhirnya mematikan kehidupan mereka dan membuat satu keluarga, satu suku dan satu kaum tercerai berai pergi kedaerah lain atau merantau akibat tanah ulayatnya hilang atau beralih kepada orang lain.

Memang diakui, kalau tanah itu dikelola masyarakat hukum adat tidak akan menghasilkan nilai manfaat bagi daerah. Akan tetapi bagi masyarakat hukum adat minangkabau setempat hal itu merupakan sumber penghidupan mereka dan mereka tidak punya keahlian yang lain dan akan tetap menjadi budak ditanah sendiri.

Dan yang paling utama, tanah bagi masyarakat minangkabau lambang harga diri dan lambang kehormatan kaum adatnya, keluarganya dan sukunya. Dan ini yang akan menjadi bencana sengketa konflik tanah ditingkat horizontal apabila penguasaan tanah adat oleh pihak-pihak lain diluar masyarakat hukum adat minangkabau dilakukan dengan cara penghilangan status tanah adat itu sendiri, bahkan sekarang ini banyak tanah ulayat sudah menjadi tanah milik pribadi-pribadi atau individu-individu dan badan hukum.

Sehingga dapat disimpulkan, kedepannya tanah ulayat hanya sekedar nama saja atau sebatas bahan kajian dan penelitian tanpa memiliki status kepastian hukum yang jelas dan akan hilang perlahan-lahan dari bumi Minangkabau di Sumatera Barat. Dan ini tentu tidak senyawa dengan amanat Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Gusveri Handiko
Blogger Duta Damai Sumbar Tamatan Universitas Andalas Padang Menulis Adalah Salah Satu Cara Untuk Berbuat Baik

    Apa Yang Salah dengan Indonesia?

    Previous article

    Lagu Minang Goes to Korea

    Next article

    You may also like

    Comments

    Leave a reply

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    More in Edukasi