Baru beberapa hari pasca tidak diterimanya ustad Abdul Samad yang sering disebut UAS di negara tetangga yaitu singapura. Tentunya pro-kontra bersilewaran di ranah media sosial Indonesia sampai ke media mainstream sekalipun ikut menyoroti hal ini. Tiba-tiba media sosial dibanjiri dengan hal yang tidak terlalu penting untuk di persoalkan. Karena tidak menyangkut kepentingan ataupun keamanan negara Indonesia.
Menarik untuk di kaji kenapa hal remeh ini bisa sangat hangat di perbincangkan sampai mengundang antusiasme yang sangat tinggi dari masyarakat Indonesia. Jawabannya cuma satu karena UAS sudah di anggap publik figur bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Karena hanya publik figur yang sering di perbincangkan oleh nitizen masyarakat. Tentunya diluar urusan politik karena politik akan terus diperbincangkan oleh orang lain.
UAS di anggap sebagai seseorang yang bukan hanya pembuka agama namun sebagai publik figur yang layak untuk di idolakan. Yang harus di pahami disini adalah tidak semua publik figur dapat di contoh baik perbuatannya ataupun ucapannya. Harus di akui tidak semua ulama, pendeta, biarawan atau pembuka agama lain dapat mengundang animo yang tinggi dari masyarakat di luar ceramah agamanya.
Seluruh penganut agama, termasuk tokoh atau penceramah hendaknya memahami bahwa kehidupan beragama dan kehidupan bernegara ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Asumsi ini tentu tidak dimaknai sebagai kewajiban mendirikan negara Islam seperti diyakini oleh kalangan konservatif. Namun, asumsi ini bermakna bahwa segala urusan keagamaan hendaknya juga mempertimbangkan aspek kemaslahatan bersama. Tidak terkecuali urusan kehidupan bernegara dan berbangsa.
Penceramah agama sebagai role-model alias panutan umat, dengan demikian memiliki peran ganda yang tidak dapat dipisahkan. Di satu sisi, ia berperan sebagai semacam motor penggerak dari aktivitas spiritualisme. Di sisi lain, ia juga diharuskan berperan sebagai agen nasionalisme. Kedua paham tersebut, yaitu spiritualisme dan nasionalisme seolah saling berbeda satu sama lain. Padahal, pada kenyataannya tidak demikian. Spiritualisme dan nasionalisme disatukan oleh satu prinsip dasar yang sama, yakni imajinasi.
Spiritualisme secara definitif dapat diartikan sebagai sebuah paham yang meyakini bahwa agama merupakan sumber etika dan moral bagi kehidupan manusia. Dalam nalar spiritualisme, agama bukanlah seperangkat dogma yang kaku dan bersifat simbolistik. Paradigma spiritualisme meyakini bahwa beragama yang hakiki ialah mengejawantahkan nilai-nilai agama ke dalam kehidupan sehari-hari. Nalar spiritualisme ini dibangun di atas imajinasi bahwa seluruh manusia dan alam semesta ini diciptakan oleh satu Tuhan. Keyakinan itu memunculkan kesadaran bahwa perbedaan agama, aliran, mazhab, dan golongan tidak menghalangi umat manusia untuk membangun persaudaraan sesamanya.
Spiritualisme menempatkan agama bukan semata sebagai identitas pembeda dari individu atau kelompok lain. Lebih dari itu, agama ditempatkan sebagai inspirasi untuk melakukan kebaikan tanpa pamrih (altruisme). Bagi para spiritualis, identitas agama, aliran, golongan itu tidak perlu. Selama kita berbuat baik, pada dasarnya kita tengah ada di jalan yang benar menuju Tuhan.
Sedangkan nasionalisme ialah sebuah kesadaran bahwa tanah air merupakan sesuatu yang harus dicintai, dijunjung tinggi, dibela serta ditempatkan posisinya di atas kepentingan individu atau golongan. Sejumlah teoretikus sosial, mulai dari Ernest Renant sampai Ben Anderson sepakat bahwa nasionalisme lahir karena imajinasi manusia akan masa lalu dan masa depan. Misalnya, dalam konteks keindonesiaan, nasionalisme lahir karena kesamaan pengalaman masa lalu (kolonialisme) dan kesamaan imajinasi akan masa depan.
Nasionalisme Indonesia mustahil terbangun tanpa kesamaan imajinasi kolektif masyarakat yang mendiami wilayah Nusantara. Imajinasi akan kemerdekaan dan kebebasan lantas melahirkan gerakan revolusi kemerdekaan melawan penjajah. Terbukti, masyarakat Nusantara kala itu mengesampingkan perbedaan suku, agama, warna kulit, ras, dan golongan demi terwujudnya kemerdekaan NKRI. Nasionalisme Indonesia berakar dari persatuan masyarakat Nusantara.
Dimensi spiritualisme dan nasionalisme ini hendaknya ada dalam satu tarikan nafas para penceramah agama. Lantaran keduanya tidak dapat dipisahkan. Di satu sisi, penceramah agama harus memperkuat dimensi spiritualitas umat. Di sisi lain, penceramah juga wajib memperkokoh dimensi nasionalisme masyarakat.
Dalam konteks memperkuat dimensi spiritualisme, peran penceramah agama ialah mengajarkan umat agar beragama secara subtantif, bukan simbolik. Beragama secara subtantif ialah mengkontekstualisasikan ajaran dan nilai agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penceramah harus membangun kesadaran umat bahwa inti agama terletak pada sisi terdalam (esoteris), bukan sisi terluar (eksoteris).
Sedangkan dalam konteks memperkokoh dimensi nasionalisme, penceramah agama dituntut untuk berpartisipasi aktif menjaga kondusifitas sosial dan stabilitas politik. Cara yang paling mudah ialah dengan menjaga lisannya dari pernyataan-pernyataan yang mengundang polemik atau kontroversi. Apalagi sampai memecah-belah umat. Intinya, para penceramah harus memastikan bahwa ceramahnya tidak merusak tatanan sosial dan politik.
Comments