Bacharuddin Jusuf Habibie atau lebih populer dikenal sebagai B.J. Habibie ialah salah satu tokoh bangsa. Lahir di Pare-Pare pada tahun 1936 dan meninggal di Jakarta tahun 2019. Sebagai tokoh bangsa, kiprah Habibie tidak diragukan lagi. Sejarah mencatat beliau sukses membawa Indonesia dalam proses demokratisasi saat “diminta” melanjutkan kepemimpinan Soeharto pada saat yang genting.

Reformasi menyeluruh yang dilakukan pemerintah di era Habibie dianggap mampu mengeluarkan Indonesia dari ambang “balkanisasi”. Namun, tidak sedikit juga yang menyimpulkan Habibie gagal dan tidak jauh berbeda dengan pendahulunya.

Dinamika proses kejatuhan Soeharto hingga penunjukan Habibie sebagai Presiden Ketiga disajikan secara menyeluruh oleh Habibie dalam buku “Detik-Detik Yang Menentukan – Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi”. Mulai dari bagaimana upaya-upaya yang dilakukan pemerintah hingga pandangan kebangsaan Habibie. Salah satu yang menarik adalah bagaimana Habibie melihat keberagaman masyarakat Indonesia.

Cikal bakal proklamasi kemerdekaan Indonesia menurut Habibie adalah perasaan senasib sepenanggungan. Hal itu ditulis pada halaman 45, kutipannya berikut ini “pada proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, sekitar 53 tahun yang lalu, yang menjadi pemersatu bangsa Indonesia adalah sejarah yang sama, yakni dijajah selama 350 tahun oleh penjajah yang sama. Bukan budaya, bukan agama, bukan ras, dan bukan kelompok etnik yang mempersatukan kita, tetapi nasib dijajah oleh Belanda selama 350 tahun. Perasaan senasib akibat penjajahan Belanda tersebut adalah pemersatu dan perekat bangsa”.

Kedekatan dan keterbukaan Habibie dengan banyak kalangan menurutnya menjadi poin penting dalam membangun Indonesia. Kesimpulan tersebut dapat di lihat pada paragraf yang terdapat pada halaman 115, “situasi yang berkembang di kalangan umat Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha juga saya perhatikan. Saya beruntung karena mempunyai banyak kawan yang menjadi tokoh dari komunitas umat agama tersebut. Di samping itu, saya juga memperoleh masukan dari para cendekiawan agama mereka, yang telah lama menjalin kerja sama dengan ICMI. Organisasi cendekiawan agama tersebut adalah Ikatan Sarjana Katolik (ISKA), Persatuan Intelektual Kristen Indonesia (PIKI), Keluarga Cendekiawan Buddhis Indonesia (KCBI), dan Forum Cendekiawan Hindu Indonesia (FCHI)”.

Lebih lanjut diutarakan pada halaman 156, “dalam pengembangan SDM, peran organisasi cendekiawan umat Islam, umat Kristiani Katolik, umat Kristiani Protestan, umat Buddha, umat Hindu, dan umat lain sangat menentukan. Mereka berhasil melalui dialog antar cendekiawan memupuk saling pengertian dan mengembangkan toleransi yang memungkinkan memelihara ketenteraman.

Sejak tahun 1993, saya sebagai Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), telah melaksanakan dialog secara teratur dengan pimpinan Ikatan Sarjana Katolik (ISKA), Persatuan Intelektual Kristen Indonesia (PIKI), Keluarga Cendekiawan Buddhis Indonesia (KCBI), dan Forum Cendekiawan Hindu Indonesia (FCHI). Pengalaman saya tersebut sangat bermanfaat untuk mencegah salah pengertian yang berakibat negatif terhada persatuan dan kesatuan bangsa.

Habibie menilai, modal keberagaman sangat penting bagi kemajuan Indonesia. Hal tersebut diungkapkan melalui, “Indonesia negara Kesatuan, yang terdiri atas ratusan masyarakat etnik dengan budaya dan bahasa tersendiri. Oleh karena itu, Bhinneka Tunggal Ika atau “satu dalam kebinekaan” adalah semboyan lambang negara Kesatuan Republik Indonesia. Hanya dalam bentuk NKRI seperti sekarang ini, bangsa Indonesia dapat berperan dan menentukan nasibnya sendiri. Sebagai contoh saya sebut Amerika Serikat yang justru karena kebhinekaannya, kebebasan dan demokrasi di atas nilai HAM dapat berkembang menghasilkan produktivitas tertinggi di dunia, sehingga masyarakat Amerika menikmati kualitas hidup yang tinggi”.

Lebih lanjut, “dari barat sampai ke timur dan dari utara sampai ke selatan di kepulauan Nusantara, yang merupakan satu- satunya benua maritim di dunia, hidup ribuan tahun lamanya suatu masyarakat yang memiliki budaya, agama dan kebiasaan yang berbeda. Bhinneka Tunggal Ika, atau persatuan dalam kebinekaan atau kehidupan dalam toleransi koeksistensi, atau kehidupan dalam suatu sistem yang plural sudah menjadi kebiasan dan budaya masyarakat Indonesia. Ini adalah kenyataan. Karena itu, saya harus pandai-pandai menyesuaikan kenyataan tersebut untuk melaksanakan reformasi dan transformasi menuju masyarakat madani atau civil society yang bermoral, beretika, berbudaya, dan bertanggung jawab, damai, tanpa perang saudara, tanpa pertumpahan darah, dan tanpa perpecahan.

Habibie meyakini, bahwa hanya dengan dialog yang mendalam disertai iktikad yang baik dan tanpa rasa curiga, maka dapat diperoleh saling pengertian. Pengertian ini amat penting artinya untuk terjadinya toleransi, sementara toleransi ini merupakan elemen yang penting bagi terjadinya perdamaian dan ketenteraman.

Tidak hanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Habibie secara pribadi juga berhubungan langsung dengan tokoh non Islam. Hal itu terlihat bagaimana Habibie menjelaskan kedekatannya dengan Sintong Panjaitan pada halaman 98, “Letjen Sintong Panjaitan saya kenal sebagai seorang perwira tinggi yang profesional,
jujur, berdedikasi, berdisiplin, sangat taat beragama. Ia memeluk agama Kristen Protestan dan menjadi kawan dekat saya. Kerja sama saya dengan Letjen Sintong Panjaitan selanjutnya menjadi semakin akrab dan demikian pula dengan keluarga dan marga beliau”.

Demikianlah sekelumit gambaran pluralisme dan keberagaman Habibie yang digambarkan dalam buku “Detik-Detik Yang Menentukan”. Bahkan, sesuai janjinya, Habibie juga telah membentuk lembaga think thank yang fokus pada isu keberagaman, penegakan HAM dan demokrasi

Sumber : Detik- Detik Yang Menentukan Karya B.J. Habibie

Onriza Putra

Pesantren Modal Membangun Islam yang Toleran di Indonesia

Previous article

Mekanisme Sebelum Melakukan Aksi Demonstrasi

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Opini