Gambar oleh Dicky Vernando

Indonesia negara dengan berjuta kekayaan bermacam keanekaragaman yang terbentang dari Sabang hingga Marauke. Bermacam identitas yang tersebar dengan simbol-simbol keunikannya masing-masing tidak ada negara luar menyerupai indonesia, begitu bersyukur kita sebagai anak bangsa terlahir ini bumi ibu pertiwi ini, menjadi penerus keanekaragamaan yang kita miliki dengan keperbedaan itu sepatut nya dapat membawa kita menjadi contoh untuk bangsa-bangsa lainnya.

Namun dibalik kalimat yang indah sebelumnya ada masalah-masalah yang tidak kunjung dapat terselesaikan, yang kita selama ini abaikan tapi tidak terabaikan karna masih ada beberapa orang-orang yang perduli, masalah itu ialah tentang “keperbedaan” dan “intoleransi”. Ini adalah dua kata yang saling berkaitan.

“Walau berbeda namun tetap satu jua” kalimat itu sudah tidak ganjil lagi pastinya di telinga kita apa lagi kaum muda yang sudah belajar sedari bangku sekolah dasar.  Lalu coba kita pikirkan lagi arti dari semoyan negara kita sendiri, apakah kita sudah melakukannya? Jawabannya belum. Mungkin terdengar ambigu, apa yang belum kita lakukan? Yang belum kita lakukan ialah mewujudkan kesatuan didalam keperbedaan. Maka dari itu muncul tindakan yang bersifat intoleran.

 Sebelum kita lanjut tentang masalah apa dibalik intoleransi itu ada baiknya kita untuk meluruskan sebenarnya intoleransi ini apa?, karena belum tentu apa yang kita lihat itu ialah sebuah intoleransi.

Intoleransi adalah sebuah “tindakan” yang mengandung unsur tidak adanya tengang rasa, seperti yang disampaikan dalam buku (choen 2004, hal 69) yaitu “defenisi toleran-intoleran adalah merupakan sebuah “tindakan”, bukan pikiran, apalagi sebuah aturan. Disebut toleran, menurut Cohen adalah  tindakan yang disengaja oleh actor dengan berprinsip menahan diri dari campur tangan (menentang) perilaku mereka dalam situasi keragaman, sekalipun actor percaya dia memiliki kekuatan untuk menganganggu. Terlihat bahwa tindakan yang intoleran dan toleran itu ada pada tindakan  berbeda dengan fikiran apalagi sebuah aturan, jangan mengartikan seseorang dapat dikatakan intoleran karna pemikirannya.

Tindakan intoleransi kian meluas pada dasarnya penyebab tindakan seperti kasus-kasus yang sering kita temukan seperti salah satu yang menarik perhatian media masa, pemotongan salib di sebuah pemakaman yang dimana itu adalah makan ber agama Non-Muslim salah satu daerah di Yogyakarta dengan jawaban perjanjian tidak  boleh adanya atribut Non-Muslim. Walaupun kasus itu berujung perdamaian antar kedua belah pihak namun yang perlu kita perhatikan apa yang salah dari sebuah tanda salib yang ada di pemakaman? Apakah itu akan menganggu kita dalam beribadah bagi agama lainnya?. Bukankah sudah ada aturan bagi setiap pemeluk agama bebas dalam mengekspresikan cara mereka dalam beragama UU Nomor 39 Tahun 1999 “Tentang Hak Asasi Manusia. … “Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”

Jadi sebenarnya objek penyebab tindakan intoleran itu adalah diri kita sendiri dan mengapa tindakan itu bisa terjadi, yaitu di latar belakangi oleh simplifikasi palsu atau prasangka yang berlebihan terhadap suatu hal yang kita lihat namun belum tentu ke validasiannya. Itulah penyebab mengapa seseorang bisa melakukan tindakan intoleran, menurut (Hunsberger’s 1995) komponen terjadinya intoleran ada tiga yaitu (1) kognitif, yaitu sebuah stereotip kelompok luar yang di rendahkan; (2) afektif, berwujud kedalam sikap muak yang mendalam terhadap kelompok luar; (3) tindakan  terhadap anggota kelompok-luar, baik secara interpersonal maupun dalam hal kebijakan politik-sosial.

Dan pada intinya tindakan intoleran terjadi karena ketidak mampuan kita menahan diri terhadap ketidak sukaan kita  dan sikap yang selalu ingin mencampuri urusan orang lain yang tidak ada kaitan pada diri kita sendiri, dan hal itu terjadinya pure karna kesengajaan yang membuat orang lain merasa terganggu. Budaya bukanlah sesuatu yang diwariskan melalui gen – paulo coelho.

Lalu hal apa yang perlu kita lakukan agar mengugurkan sedikit demi sedikit tindakan intoleransi? Cara sederhana ialah berusaha untuk menahan diri akan hal-hal yang tidak kita sukai dan menghargai adanya keperbedaan, sesungguhnya kita tidak dapat menyamakan kemajemukan menjadi satu.

Bukankah dengan adanya keperbedaan ini bisa melahirkan cinta, cinta tidak selalu tentang dua insan tapi dengan adanya toleransi dapat menjadikan cinta dalam keperbedaan dengan itu kedamaian bisa kita rasakan. Seperti yang dikatakan oleh, Abdurahman Wahid “agama melarang perpecahan bukan perbedaan”.

Sebelumnya Tuhan sudah mengatakan dalam Kitab Suci Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi Terjemah Arti: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Sudah jelas bahwa allah sudah mengaris bawahi mengapa kita diciptakan dengan keperbedaan itu semua agar kita bisa saling mengenali satu dengan yang lainnya, karena dibalik pelangi yang indah berasal dari warna yang berbeda dengan satu padu garis yang sejajar. Maka dari itu mulai dari diri kita sendiri untuk menerima keperbedaan dan tidak memandang rendah orang lain meski dia tidak sama dengan kita dengan begitu kebahagian dan kedamaian akan kita dapatkan.

Gambar oleh : Dicky Vernando

MENATA ULANG KEBERAGAMAN

Previous article

Keagungan Istano Pagaruyuang Dimasa Lalu Dalam Pemerintahannya

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Opini