26 Januari 2021 lalu, kembali lagi terjadi kasus diskriminasi.
Media social dihebohkan dengan kasus pemaksaan penggunaan jilbab oleh salah satu sekolah negeri di Kota Padang kepada siswinya yang merupakan non muslim. Alih-alih upaya untuk menyelaraskan keragaman peraturan sekolah yang telah ditetapkan oleh pihak setempat. Namun, keselarasan atribut ini justru menganggu keyakinan yang dipeluknya.
Kasus ini diketahui oleh warganet usai melihat sebuah video viral dari akun Facebook EH, selaku orang tua dari JCH. JCH membuat surat pernyataan yang juga ditandatangani oleh orang tuanya bahwa dia tidak bersedia memakai kerudung seperti yang telah digariskan oleh pihak sekolah.


Tidak hanya berakhir disitu, kasus ini langsung menarik perhatian pihak-pihak terkait seperti, penegak HAM, KEMENAG hingga Nadiem Makarim selaku menteri pendidikan.
Bersamaan dengan itu pemerintah langsung mengambil tindakan lanjut dalam menangani upaya menyelesaikan kasus tersebut. Pada Rabu, 3 Februari 2021, pukul 15.00 WIB diadakannya ‘Pengumuman Keputusan Bersama Tiga Menteri: M. Tito Karnavia (Menteri Dalam Negeri), Nadiem Anwar Makarim (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) dan Yaqut Cholil Qoumas (Mentri Agama) dengan membahas Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Bagi Peserta Didik, Pendidik dan Tenaga Pendidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah’ langsung dari kanal YouTube KEMENDIKBUD RI.
Mendikbud Nadiem Makariem menyebutkan ada enam keputusan utama dalam SKB 3 Menteri ini.
Pertama, SKB ini untuk mengatur sekolah negeri, yang beroperasi dan diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
Kedua, SKB 3 Menteri mengatur peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan berhak memilih antara:

1) menggunakan seragam atau atribut tanpa kekhususan agamaa; atau

2) menggunakan seragam dan atribut dengan kekhususan agama.


“Peserta didik dan tenaga kependidikan berhak memilih seragam tanpa kekhususan agama, atau dengan kekhusuan agama. Ini bukan keputusan sekolah,” tegas Nadiem, Rabu (3/2/2021).
Ketiga, Pemerintah Daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang penggunaan seragam dan atribut dengan kekhususan agama.
Keempat, Pemerintah Derah dan Kepala Sekolah diwajibkan mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang penggunaan atribut atau seragam kekhususan agama tertentu.
“Pemda wajib mencabut aturan 30 hari sejak SKB diterapkan, kalau ada peraturan kewajiban atau melarang penggunaan atribut keagamaan,” imbuh Nadiem.
Kelima, jika terjadi pelanggaran terhadap SKB ini, baik Pemda maupun kepala sekolah, pendidik, atau tenaga kependidikan akan diberikan sanksi menggunakan berbagai instrumen yang bisa digunakan.
“Dalam hal ini juga bisa Gubernur bisa memberikan sanksi kepada Bupati/Walikota, Kemendagri bisa memberi sanksi kepada Gubernur, dan sebagainya. Dari pusat juga akan kami monitor untuk memastikan pelanggaran-pelanggaran ini tidak terjadi,” jelas Nadiem.
Adapun, sanksi yang diberikan antara lain bisa berupa evaluasi pemberian Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan bantuan dari pemerintah lainnya.
Keenam, untuk peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan di Provinsi Aceh, dan disesuaikan denngan kekhususan di Aceh berdasarkan peraturan perundang-undangan terkait pemerintahan Aceh.
Keputusan ini merupakan wujud dalam menegakkan “Bhineka Tunggal Ika”, membangun karakter toleransi masyarakat dan menindak tegas praktik-praktik pada sector pendidikan yang melanggar semangat kebangsaan.

ditulis oleh husnul hayati

Gambar oleh Fadlan

Politik Dan Masyarakat Indonesia

Previous article

MENGUGURKAN INTOLERANSI MELAHIRKAN CINTA DALAM KEDAMAIAN

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Berita