Oleh Ust. Masykurudin Hafidz

Manusia menempati posisi yang sangat sentral dalam Islam. Manusia adalah obyek ajaran, sekaligus subyek dan pelaksana dari ajaran tersebut. Allah Swt menciptakan manusia sebagai makhluk yang terhormat dan bermartabat. Manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna (QS. Al-Tin: 4). Allah juga memuliakan manusia sebagai keturunan Adam dengan kelebihan-kelebihan yang mereka miliki (QS. Al-Isra: 70).


Tentu saja, status manusia yang demikian mulia, terhormat dan bermartabat, merupakan rahmat Allah Swt. Dan sekiranya tidak karena karunia Allah atas kamu dan rahmat-Nya, niscaya tidak sekali-kali seorangpun dari kamu jadi bersih, tetapi Allah membersihkan siapa yang Ia kehendaki (QS. al-Nur: 21). Watak manusiawi tak memiliki nilai sejati kecuali karena kebaikan Tuhan yang menciptakan manusia yang lemah (QS. al-Nisa: 28).


Keistimewaan manusia dibanding mahluk-mahluk lain sebagai ciptaan Tuhan karena kedudukannya sebagai wakil Allah di dunia (QS. al-Baqarah: 30) yang mempunyai kemampuan khusus. Dalam kondisinya yang asli dan tinggi, manusia adalah suatu tanda yang ajaib dari suatu kekuasaan dan rahmat Tuhan (QS. Fushshilat: 53).
Sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang paling mulia, tentu saja manusia harus diperlakukan secara mulia juga. Anjuran untuk berbuat baik terhadap sesama manusia adalah salah satu ajaran inti dari Islam. Itulah sebabnya, tidak ada satu pun alasan yang membolehkan seseorang untuk melecehkan orang lain.

Islam menganjurkan berbuat baik tidak hanya kepada sesama manusia, bahkan terhadap budak sekalipun, kita diharuskan berbuat baik, sebagaimana firman Allah:
Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.

(An-Nisa, 36)
Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah? (An-Nahl, 71)


Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barang siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu). (An-Nur, 33)

Ketiga ayat ini menekankan agar budak tidak semata-mata diperlakukan sebagai “alat” bagi majikannya, tetapi juga diimbangi dengan sikap dan perlakuan yang lebih manusiawi terhadap budak.
Itulah sebabnya, kekerasan merupakan tindakan yang sama sekali tidak dibenarkan. Kekerasan dalam pengertian tindakan yang melukai orang lain, baik secara fisik maupun secara psikis.

Boleh untuk Pembelaan
Pada prinsipnya, tindakan melukai orang lain, baik fisik maupun psikis, apalagi tindakan yang dapat mengancam keselamatan jiwa, tidak dibenarkan dalam Islam. Namun, ada sejumlah ayat dan hadits yang seringkali digunakan untuk melakukan kekerasan terhadap orang lain, seperti:


“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: Tuhan kami hanyalah Allah.” (QS Al-Hajj [22]: 3940)


“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang menyukai batas.” (QS Al-Baqarah [2]: 190)
“Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), padahal mereka telah keras kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama kali memulai memerangi kamu.” (QS At-Taubah [9]: 13)
Aku (Muhammad) diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan lafadz la ilaha illa Allah (HR. Imam Bukhori, Imam Muslim, Turmudzi, NasaI, Ibn Majah, Daramy, Abu Dawud, dan Imam Ahmad).


Barang siapa melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan dengan tangan, jika tidak bisa maka gunakanlisan; jika tidak bisa, gunakan dengan hati. Sesungguhnya (menggunakan hati) itu termasuk selemah-lemahnya iman. (HR Bukhari)

Sejumlah ayat dan hadits di atas memang memberi legitimasi bagi penggunaan kekerasan. Namun, nash di atas harus dipahami dalam konteks yang tepat, baik konteks kesejarahan maupun konteks dengan ayat dan hadits yang lain. Dalam kenyataannya, ayat dan hadits di atas tidak dalam konteks menyerang (ofensif), tetapi lebih dalam konteks mempertahankan diri (defensive). Kita dibolehkan menyerang hanya dalam keadaan kita diserang.
Namun, sebagian kelompok muslim mengartikulasikan ayat-ayat di atas secara ofensif. Makna jihad, misalnya, bagi mereka tidak lain adalah perang suci.

Dan memenuhi panggilan jihad, menurut mereka, adalah kewajiban setiap muslim.
Inilah yang menyebabkan citra Islam seolah-olah tidak bisa dilepaskan dari kekerasan. Bahkan sebagian pengamat Barat mengidentikkan Islam dengan terorisme. Pendapat ini, meskipun keliru, didasarkan pada tindakan sejumlah kaum muslim yang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan, seperti terjadi dalam kasus bom Bali, Bom di Kedubes Australia dan sejumlah kasus lainnya.


Maraknya kekerasan atas nama agama menunjukkan betapa beragamnya pandangan dan eksresi keberagamaan umat Islam. Ekspresi keberagamaan seperti ini mewakili pandangan yang menganggap manusia hanya sebagai obyek dari kehendak Tuhan. Manusia dianggap tidak memiliki hak. Atas dasar inilah mereka menolak konsep hak asasi manusia (HAM). Hak sepenuhnya milik Allah. Sedangkan manusia hanya menjalani apa yang sudah disyariatkan oleh Allah.


Perspektif seperti ini perlu dikritisi bukan hanya karena mudah terjebak dalam kategori hitam putih sesuai dengan apa yang dinyatakan Al-Quran dan Hadits, terutama dalam memandang kelompok lain, tetapi karena doktrin Islam sendiri terlalu kompeks untuk direduksi hanya sebagai kitab undang-undang yang sudah final tanpa ada usaha yang sungguh-sungguh untuk mendalami konteks kesejarahan serta makna tersirat yang terdapat di balik teks suci tersebut.


Baik Quran maupun Sunnah tidak cukup dipahami secara harfiah seperti yang tersurat dalam bunyi teksnya. Disamping konteks kesejarahannya perlu ditelusuri, makna di balik teks juga perlu disingkap untuk memperoleh pesan yang paling substansial dari teks suci tersebut. Usaha seperti ini perlu dilakukan agar pemahaman terhadap teks suci tersebut lebih dekat dengan apa yang dalam ushl fiqh disebut maqashid al-syariah (tujuan penetapan syariat).


Secara umum, maqashid al-syariah telah terangkum Surat al-Anbiya, 107: Dan tidaklah Kami utus engkau Muhammad kecuali untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam. Islam datang untuk menjawab berbagai masalah yang dihadapi umat manusia, untuk menyelamatkan manusia dari jalan yang sesat menuju jalan yang benar; dari jalan gelap menuju jalan terang; dari kemungkaran, kedzaliman dan ketertindasan menuju kearifan, kedamaian dan keadilan.

Kewenangan Negara
Dalam kehidupan sehari-hari, kekerasan merupakan salah satu problem serius yang dihadapi bangsa ini. Kita layak prihatin bukan semata-mata karena gejala kekerasan menunjukkan grafik yang kian naik dengan tingkat eskalasi yang terus meluas, tetapi juga karena negara sebagai satu-satunya lembaga yang diberi otoritas menggunakan kerasan untuk mewujudkan tertib sosial, justru justru seolah-olah tidak berdaya menghadapi masalah itu.

Kegagalan negara mengatasi masalah kekerasan membuat bangsa ini seperti kembali ke zaman primitif di mana penyelesaian masalah selalu menggunakan cara-cara kekerasan.
Kekerasan yang terjadi belakangan ini lebih dari sekadar patologi individu seperti terlihat pada berbagai kasus kriminalitas. Kekerasan juga mencerminkan patologi sosial, di mana masyarakat cenderung main hakim sendiri menghadapi kasus-kasus kriminal seperti pencurian, penjamberetan, pencopetan.

Ada semacam dendam sosial terhadap kejahatan yang kian berani dan terang-terangan dengan menghukum pelakunya dengan cara yang lebih sadis.
Lebih dari itu, seringkali kekerasan dilakukan dengan mengatasnamakan agama. Tindakan main hakim sendiri terhadap tempat-tempat yang dianggap sebagai sarang maksiat dengan mengobrak-abrik secara bringas justru membuat citra Islam semakin tercoreng.


Sebagaimana kisah agama-agama samawi lainnya, Islam hadir pada saat masyarakat betul-betul membutuhkan semacam “juru selamat” dari keterpurukan moral, sosial, ekonomi maupun politik. Melalui Nabi sebagai pembawa risalah Tuhan, agama hadir untuk melawan berbagai bentuk penindasan dan kedzaliman guna mewujudkan tatanan baru yang lebih berkeadilan, berkemanusiaan dan berkeadaban.


Sebagaimana ditunjukkan dalam masa-masa awal Islam, Nabi Muhammad ditentang keras oleh kaum Quraisy Mekkah, bukan semata-mata karena Nabi membawa agama baru yang sama sekali berbeda dengan kepercayaan sebelumnya, tetapi terutama karena ajaran yang dibawa Nabi dapat mengancam kepentingan kaum elite Quraisy yang begitu dominan menguasai berbagai sumber daya, baik ekonomi, sosial maupun politik. Dan, sebagaimana kita lihat dalam sejarah, keberhasilan Nabi membangun tatanan ekonomi, sosial dan politik yang berkeadilan, berkemanusiaan dan berkeadaban lebih mengutamakan jalan damai melalui musyawarah ketimbang jalan kekerasan melalui perang.***

Masykurudin Hafidz, direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat.

dutadamaisumbar

Belajar Dari Bobon Santoso “Mabuk Hela atuh”

Previous article

Relasi Iman dan Amal Shaleh

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Opini