Penulis : Faizatul Ummah

Kasus intoleransi kembali mengisi ruang publik beragama di Indonesia. Dalam sebuah negara yang menyimpan banyak perbedaan, seperti agama, suku, dan ras, potensi terjadinya intoleransi memang lebih terbuka. Seperti di Indonesia, banyak ruang-ruang yang menyimpan perbedaan. Tak ayal, intoleransi akrab ditemui. Tapi bukan untuk dibiasakan. Sebab intoleransi adalah sikap tercela.

Hunsberger (1995), mendefinisikan Intoleransi sebagai sikap ketidakmampuan menahan diri tidak suka kepada orang lain, mencampuri atau menentang keyakinan orang lain dan melakukan aktivitas yang sengaja mengganggu orang lain. Lebih lanjut, Hunsberger menyebut intoleransi sebagai tindakan negatif yang didorong oleh prasangka yang berlebihan.

Apabila ditarik kepada kasus pembakaran masjid Ahmadiyah di Sintang, Kalimantan Barat, prasangka yang berlebihan mewujud pada dugaan kesesatan kelompok yang berkiblat pada Mirza Ghulam Ahmad tersebut. Prasangka bahwa setiap Ahmadiyah adalah sesat, bisa mengganggu, dan mengancam stabilitas beragama bahkan mengancam kedaulatan bangsa.

Paradigma berpikir demikian yang mudah dihasut, disulut emosinya untuk membenci suatu kelompok yang diduga bersalah, dan biasanya sasarannya adalah kelompok minoritas karena mayoritas merasa memiliki power dan pemegang kebenaran. Klaim-klaim subjektif dari mayoritas disuarakan dengan nyaring sehingga berujung pada tindakan diskriminatif semisal peminggiran, pengusiran dan pembakaran.

Dalam konteks kehidupan beragama, idealnya ruang beragama harus nihil dari klaim-klaim subjektif yang bisa berdampak terhadap tindakan diskriminatif. Agama manapun melarang tindakan seperti ini. Semua agama tidak memberikan titah kepada penganutnya untuk memaksa orang lain masuk dan memeluk agama seperti dirinya. Tidak ada juga titah untuk meminggirkan atau membakar tempat ibadahnya.

Islam juga demikian. Agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia ini tidak melegalkan tindakan diskriminatif. Kekerasan atas nama agama sangat dilarang. Juga melarang mengusir seseorang dari kediamannya tanpa alasan yang benar. Demikian pula menuduh sesat, kafir dan sebagainya, selama pengaku penganut Islam masih melafalkan dua kalimat syahadat yang mengakui keesaan Allah dan Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir.

Mengikis Intoleransi dari Ruang Publik

Agama Islam mengajarkan, ruang publik beragama yang ideal adalah wilayah bersama yang menampung segala cetusan keberagamaan tanpa halangan apapun. Tegasnya, semua agama maupun aliran, mayoritas maupun minoritas, memiliki hak dan kewajiban yang sama di bawah payung Undang-undang negara tanpa diskriminasi. Segala sikap dan simbol kelompok agama manapun bebas berkibar.

Kebebasan ini tidak berarti mengakui agama lain dalam ranah teologis. Bukan mempersatukan agama-agama dalam konteks teologis, melainkan semata hanya dalam ruang dialogis-sosiologis. Bahwa meyakini agama yang kita anut sebagai kebenaran mutlak merupakan keharusan, tapi meminggirkan dan mengucilkan penganut agama lain merupakan larangan.

Toleransi bukan mengakui kebenaran yang diyakini orang lain, melainkan hanya menghormati keberadaan mereka sebagai sunnatullah dengan segala kekhasan yang mereka miliki. Dalam Islam, toleransi dibahasakan dengan tasamuh. Menghormati agama orang lain tanpa perlu mempersinggungkan keyakinan. “Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku”. Allah mengingatkan, hidayah itu prioritas-Nya, pendakwah hanya melakukan upaya tanpa memaksa.

Bagaimana mengikis intoleransi dalam publik beragama di Indonesia? Kita semua harus menanamkan satu keyakinan bahwa keberagaman dalam publik beragama merupakan sesuatu yang niscaya. Keniscayaan yang lahir tanpa diminta dan merupakan kodrat Tuhan. Untuk itu, kita semua harus menerimanya.

Sebagai umat beragama, selayaknya tidak melakukan tindakan intoleransi sebab agama melarang hal itu. Ruang publik keagamaan seharusnya terbuka bagi penganut agama apapun, aliran apapun. Menutup sebagian atau keseluruhan ruang publik keagamaan bagi penganut agama atau aliran tertentu menaifkan identitas kita sebagai orang beriman. Tindakan tersebut bukan perilaku manusia yang meyakini adanya Tuhan. Tapi hanya bisa dilakukan oleh manusia yang dikuasai oleh hasrat duniawi dan hewani.

Sumber : Jalandamai.org

dutadamaisumbar

Lima Strategi Mengikis Intoleransi dengan Pendidikan Multikultural

Previous article

Intoleransi: Penyebab dan Upaya Penyelesaiannya Untuk Keutuhan NKRI

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Opini