Penulis : Saidun Fiddaraini

Beberapa hari ini, kita dihebohkan kembali dengan berbagai peristiwa yang banyak menyita perhatian publik. Mulai dari kasus Yahya Waloni hingga aksi penyerangan terhadap masjid Ahmadiyah di Tempunak, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat (Kalbar) oleh sekitar 200 orang pada Jumat (3/9/2021). Peristiwa ini, tentu menyisakan luka mendalam bagi kita secara khusus dan pemerintah secara umum.

Pun, menjadi bukti konkret bahwa; kasus intoleransi di negara kita masih eksis sampai saat ini. Itu artinya, tantangan kebangsaan ke-depannya semakin berat selain persoalan radikalisme, ekstremisme dan terorisme, tetapi melainkan juga sikap intoleransi yang semakin hari kian membahayakan bak virus di tengah masyarakat.

Indonesia misalnya, sebagai negara yang dikenal kekayaannya akan keragaman etnis, suku, bahasa, budaya, dan agama serta kepercayaan lokal nyaris tiada tandingannya di dunia. Tentu, hal ini selain menjadi nilai “lebih” (dalam menguatkan keutuhan dan kesatuan yang disertai keharmonisan hidup beragama), ia juga berpotensi menjadi ancaman bagi bangsa Indonesia sendiri, terutama terkait dengan maraknya sikap intoleransi dan kekerasan. (Misrawi, Kesadaran Multikultural dan Deradikalisasi Pendidikan Islam, Pengalaman Bhinneka Tunggal Ika dan Qabul Al-akhar, 2012)

Bahkan lebih dari itu, perilaku intoleransi juga dapat memunculkan sikap saling menyalahkan dan penuh kecurigaan bahwa; agama adalah sumber penyebab segala bentuk konflik, seperti tindak kekerasan, kebencian, permusuhan, dan peperangan dahsyat di antara sesama manusia yang berujung pada aksi radikal-terorisme.

Penyebab Lahirnya Sikap Intoleran

Oleh karena itu, pelbagai cara perlu kita lakukan agar masa depan bangsa Indonesia menuju masa depan yang harmonis, sejahtera, damai dan saling menghargai antar-golongan. Akan tetapi, untuk membendung sikap intoleran tersebut tentu memerlukan pemahaman mendalam dan strategi yang terstruktur, sistematis dan masif. Sebab, terdapat beberapa faktor yang melatar-belakangi munculnya sikap demikian di antaranya;

Pertama, pemahaman keagamaan para pelaku intoleran yang dinilai dangkal, parsial, radikal dan tidak mendalam. Kedua, semakin kentalnya nuansa politik, baik terkait Pilkada dengan memanfaatkan agama untuk kepentingan politik, maupun terkait solusi pemerintah dalam menyelesaikan masalah terkadang bernuansa politis daripada pendekatan hukum yang jelas, tegas dan ber-keadilan. Ketiga, sistem pendidikan yang hanya sekadar transfer ilmu pengetahuan, pengakuan akan keberagaman dan keberagamaan tanpa mengajarkan pengalaman nyata di lapangan. Dan Keempat, defisit cinta Tanah Air, rasa kebangsaan, ke-Bhinneka-an, dan rendahnya rasa nasionalisme.

Tentu keempat hal tersebut, dinilai berpotensi sangat membahayakan apabila tidak segera diselesaikan dengan cepat dan tegas. Bukan sekadar hanya mencederai nilai-nilai keberagaman dan keharmonisan antar-umat beragama, tetapi lebih dari itu dapat mengancam terhadap keutuhan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Strategi Penyelesaiannya

Maka, upaya yang bisa dilakukan untuk meminimalisir hal tersebut adalah; Pertama, dalam menyelesaikan konflik intoleransi, pemerintah hendaknya melalui pendekatan hukum seadil-adilnya dan tidak bernuansa politis. Kedua, para tokoh agama (khususnya para da’i) sebisa mungkin membangun komunikasi secara dialogis dan persuasif antar umat beragama secara intens dan kontinu. Pun, memberikan pendidikan keagamaan kepada masyarakat ihwal urgennya meningkatkan kesadaran akan keberagamaan yang mendalam, moderat, dan tidak ekstrem.

Ketiga, seorang ulama (khususnya para da’i) dituntut untuk memiliki sikap toleran (tidak memaksa orang lain) untuk mengikutinya dan tidak-pula melakukan aksi teror. Keempat, seorang pendidik dituntut untuk mampu memberikan pengalaman toleransi keagamaan dan keberagamaan secara lebih nyata, dan tidak sekadar berkutat pada tataran konsep dan teori semata.

Kelima, pentingnya literasi digital bagi generasi muda. Karena, selain dapat membentengi dirinya dari berbagai informasi Hoax, hasutan dan ujaran kebencian, ia juga dapat mendorong mereka untuk melakukan kreativitas dalam memproduksi konten-konten digital yang bernuansa positif sebagai daya tangkal dari sikap intoleran yang dapat meluluh-lantakkan bangsa Indonesia.

Namun demikian, untuk menangkal dan melakukan penyelesaian terhadap kasus intoleransi di Indonesia tentu menuntut sinergi-tas dari pelbagai elemen yang ada, mulai dari penegak hukum hingga keterlibatan masyarakat secara langsung dalam mengontrol benih-benih yang dapat melahirkan sikap intoleran. Mengingat dampak yang ditimbulkan sikap ini begitu membahayakan bagi kita semua dan bangsa Indonesia.

Dengan begitu, masa depan bangsa Indonesia menjadi negara yang harmonis, adil, damai dan sejahtera serta mampu menangkal segala hal yang dapat ‘menjatuhkan’ keutuhan dan kesatuan NKRI serta hidup secara berdampingan antara seluruh warga-negara di bawah naungan falsafah bangsa, yakni Pancasila. Wallahu A’lam

Sumber : Jalandamai.org

dutadamaisumbar

Membangun Ruang Publik Beragama yang Ideal Bebas dari Intoleransi

Previous article

AL-QUR’AN SEBAGAI PEDOMAN HIDUP

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Opini