Dalam era 4.0, masyarakat dan lingkungan mengalami perkembangan yang sedemikian pesat. Masyarakat di setiap belahan dunia, melebur ke dalam tatanan global. Tak hanya dampak positif, berbagai dampak negatif juga mewarnai perkembangan tersebut.
Mereka yang tidak memiliki akar kebangsaan kuat, akan tergerus. Salah satu dampaknya adalah krisis nilai, hilangnya karakter bangsa. Contoh, nilai-nilai keteladanan luntur akibat figur-figur panutan masyarakat, jarang ditemukan dewasa ini.
Nilai-nilai seperti tolong-menolong, gotong-royong, saling menghargai dan menghormati berubah menjadi individualis, mementingkan diri sendiri atau kelompoknya, dan cenderung bergunjing di sosial media. Lebih fasih di dunia maya, ketimbang aktif di dunia nyata.
Saat gelombang era reformasi bergulir di negeri ini (tahun 1998), terdapat kesalahan kolektif bangsa ketika semua pendidikan karakter – seperti pendidikan etika, Kewiraan, Pancasila dan lain-lain – dihapuskan. Alasannya, pelajaran tersebut dianggap bagian proses doktrinasi dari sebuah sistem yang melanggengkan rezim berkuasa.
Padahal, pentingnya pendidikan karakter tersebut tidak dapat dilepaskan dari perjalanan bangsa ini yang dipenuhi sejarah kelam. Seperti gerakan-gerakan DI/TII, Kahar Muzakar, Komunis, dan lainnya.
Kini, gerakan-gerakan lama yang mengendap sebagai sleeping cell alias sel tidur bermunculan dalam bentuk wajah baru. Berjejaring, hingga merongrong kembali negara kesatuan Indonesia.Fenomena itu dapat dikaitkan sebagai dampak dari hilangnya pendidikan karakter bangsa.
Krisis multidimensi yang mendera bangsa ini, tidak cukup dihadapi secara tambal sulam. Kita harus mempersiapkan langkah komprehensif, agar perkembangan era saat ini berdampak positif bagi masyarakat kita. Bukan sebaliknya.Oleh karena itu, dalam menghadapi era ini, diperlukan kesiapsiagaan nasional. Kita harus mempersiapkan generasi bangsa, yang siap menghadapi pesatnya perkembangan era teknologi. Sekaligus generasi yang siap bela negara.
Namun, lebih dahulu dan utama adalah mempersiapkan generasi yang memiliki karakter bangsanya. Generasi yang memiliki jati diri bangsanya.
“Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya,” sepenggal lagu Indonesia Raya yang didalamnya menyerukan untuk membangun jiwanya rohnya dahulu, baru kemudian membangun badan atau raganya.
Maknanya, jiwa bangsa yang ada dalam diri kita, harus dibangun terlebih dahulu. Jiwa kokoh dalam jati diri bangsa, dapat membangun resilience (daya tahan atau kemampuan diri dalam merespon/menghadapi perkembangan lingkungan) bagi generasi bangsa Indonesia.
Pendidikan Usia Dini dan Peran Keluarga
Kesiapsiagaan nasional dengan mempersiapkan generasi jati diri bangsa yang berkualitas, dapat dilakukan dengan menanamkan pendidikan karakter sejak usia dini. Karena pendidikan anak usia dini, sangat berpengaruh terhadap masa depan anak.
Pola pendidikan sejak usia dini yang baik, akan mengubah bangsa ke arah kemajuan dan peradaban yang modern. Kita dapat mencontoh Jepang sebagai negara maju. Di Negeri Sakura, pendidikan usia dini menitikberatkan pada moral dan tanggung jawab. Pendidikan moral tidak diajarkan dalam satu pelajaran khusus. Tetapi menjadi pondasi yang ditanamkan pada seluruh aspek pendidikan. Menjadi nilai utama yang ditekankan untuk seluruh mata pelajaran. Selain itu, anak-anak usia dini juga dilatih untuk peka pada lingkungan, dan diajari untuk mengembangkan kreativitasnya. Dengan sistem pendidikan yang demikian, Jepang tumbuh menjadi negara yang penduduknya sangat mandiri, dan memiliki nasionalisme tinggi.
Pendidikan usia dini menuntut pentingnya peran keluarga, karena keluarga merupakan lingkungan pertama dan dimulainya suatu proses pendidikan. Anak sebagai generasi penerus, banyak mendapatkan pendidikan dari orang tua dan keluarga. Karena sebagian besar kehidupan anak berada dalam keluarga. Lebih dari 15 jam sehari, waktu anak berada dalam lingkungan keluarga. Sebagaimana pula hasil riset mengungkap, sekitar 80 persen perkembangan otak terjadi dalam tiga tahun pertama. Sementara 10 persen lainnya, berlangsung dalam dua tahun berikutnya. Hal itu menandakan bahwa 90 persen perkembangan otak, ditentukan oleh pengalaman yang mereka miliki. Baik positif atau negatif. Sebelum mereka pertama kali menginjakkan kaki di ruang kelas/sekolah. Artinya, peranan orang tua dan keluarga merupakan pengasuh utama dan penting bagi usia dini.
Pendidikan Utuh : Knowledge dan Moral
Pendidikan adalah unsur terpenting yang harus dipenuhi sepanjang manusia hidup, agar tercipta generasi yang berkualitas. Pendidikan adalah suatu usaha manusia untuk membina kepribadian, agar bisa selaras dengan norma.
Fukuyama (2002) menekankan, pendidikan hakikatnya sebuah keniscayaan untuk mengembangkan sumberdaya manusia sebagai modal sosial (social capital). Dalam pendidikan itu, dikembangkan nilai-nilai yang dikategorikan high–trust seperti nilai kebersamaan, saling kepercayaan, keberdayaan sebagai bagian dari nilai-nilai dasar bangsa.
Sejauh ini, sistem pendidikan Indonesia lebih berorientasi pada pengisian kognisi yang ekuivalen, dengan peningkatan IQ semata. Padahal, pendidikan memuat integrasi yang utuh antara IQ (intelligence quotient), EQ (emotional quotient), dan SQ (spiritual quotient). Banyak lembaga pendidikan yang melupakan ini, yaitu pembangunan karakter (moral) dikalahkan, dengan kepentingan mengejar nilai ujian nasional yang tinggi.
Padahal, dalam ujian nasional yang dilihat adalah hanya kemampuan kognitif. Sejatinya, pendidikan akan melahirkan manusia yang kompeten. Bukan hanya kompeten dalam hal kemampuan kognitifnya saja, tetapi juga kemampuan afektif dan psikomotoriknya. Hal tersebut tidak saja berguna bagi dirinya, tetapi juga dapat membangun bangsa dan negaranya. Sistem pendidikan yang dibangun, tidak cukup dengan meningkatkan aspek knowledge (iptek) saja, tetapi perlu aspek moral yang menjadi karakter generasi bangsa.
Nilai-nilai moral dibangun dari attitude (sikap) dan etika (hasil perilakunya) yang baik, seperti jujur, berbuat baik, akhlak mulia, dll. Oleh karena itu, semua mata pelajaran dalam pendidikan hendaknya menuntut kompetensi yang mengandung nilai-nilai kebajikan. Seperti kebaikan, kejujuran, keadilan, disiplin, dan sebagainya. Dengan demikian, nilai-nilai moral tersebut terpelihara dan mengisi kultur sosial kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kita.
Menanamkan Karakter Bangsa
Presiden RI pertama Ir Soekarno pernah mengatakan, “Dari sudut positif, kita tidak bisa membangunkan kultur kepribadian kita dengan sebaik-baiknya, kalau tidak ada rasa kebangsaan yang sehat.”
Oleh karena itu, menanamkan karakter bangsa tidak sekadar mengingatkan kita terhadap sejarah berdirinya NKRI. Tetapi juga harus mampu membangkitkan generasi bangsa, menginspirasi, mengembangkan, dan memelihara semangat kebangsaan. Serta hasrat mewujudkan cita-cita menuju bangsa yang makmur.
Meningkatkan kesadaran terhadap karakter bangsa dalam pendidikan, seperti, berbuat baik, hidup guyub-rukun, sopan santun, dan budaya malu berbuat jahat.
Begitu pula dengan pelaksanaan upacara bendera di sekolah. Hal itu merupakan salah satu upaya penting dalam menumbuhkembangkan rasa tanggung jawab, yang mendorong lahirnya sikap dan kesadaran berbangsa dan bernegara serta cinta Tanah Air. Jika penanaman nilai-nilai di atas berjalan dengan efektif dan maksimal, dimungkinkan akan timbul kesadaran bagi anak didik. Hingga ketika mereka lulus nanti, agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan tercela (amoral), yang jelas-jelas tidak mencerminkan karakter bangsa kita.
Pendidikan yang membangun karakter bangsa, menjadikan generasi bangsa memiliki rasa nasionalisme dan kebanggaan terhadap bangsanya. Mereka akan bekerja dan berkarya, dengan dilandasi nilai-nilai kebanggaan dan pengabdian pada negeri ini. Menjadi generasi yang mampu menolak berbagai paham, dan upaya yang merusak nasionalisme.
Pendidikan membangun karakter bangsa menjadi landasan yang kokoh ke dalam dan ke luar. Ke dalam artinya, pendidikan memiliki peran dalam meningkatkan harkat, martabat dan kualitas SDM Indonesia. Pendidikan menjadi upaya pembentukan pribadi-pribadi yang hidup rukun dengan sesama, memiliki integritas, akhlak yang santun dan mulia. Sedangkan kokoh ke luar, artinya pendidikan mesti mampu membangun karakter anak bangsa dalam sebuah masyarakat sipil global (global civil society). Sehingga, mampu bersaing dengan warga dunia lainnya, tanpa kehilangan jati diri bangsa.
Sumber: https://rmco.id/baca-berita/nasional/25293/kepala-bnpt-suhardi-alius-membangun-resilience-generasi-muda-bangsa-sejak-usia-dini dengan perubahan seperlunya.
Comments