Onriza Putra – Duta Damai Regional Sumatera Barat
Tahukah kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapapun? Karena kau menulis. Suaramu tak kan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari, itulah sepenggal kalimat yang disampaikan Nyai Ontosaroh kepada Minke dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Dalam novel ini, Pram secara gamblang menggambarkan bagaimana Minke melakukan perlawanan terhadap feodalisme dan kolonialisme melalui tulisan-tulisannya. Dalam sejarah kita, banyak tokoh-tokoh yang melakukan perlawanannya dengan menulis, salah satunya adalah Kartini (Pram juga menulis Novel : Panggil Aku Kartini Saja).
Kartini lahir pada tahun 1879 dimana feodalisme dan kolonialisme masih mengakar kuat dalam masyarakat Hindia-Belanda, termasuk dalam kehidupan masyarakat jawa dimana Kartini lahir dan dibesarkan. Feodalisme dan kolonialisme yang dijumpai Kartini menjadi pelecut dirinya untuk melawan dan menunjukkan perlawananya melalui surat-suratnya.
Dalam Buku Habis Gelap Terbitlah Terang terjemahan Armijn Pane, Kartini sering menulis dan berkirim surat dengan teman-teman Belandanya. Melalui surat-surat itu, Kartini mencurahkan cita-cita, penanggungan dan perjuanganya melawan keterkungkungannya dari budaya patriarki. Adapun nama-nama tujuan surat-surat Kartini adalah Nona Estelle H. Zeehandelaar, Nyonya M.C.E Ovink-Soer (Kartini memanggilnya Ibu), Tuan Prof. Dr.G.K Anton dan Nyonya, Nyonya H.G de Booij-Boissevain, Tuan H.H van Kol, Mr. J.H Abendanon dan Tuan E.C Abendanon. Melalui kerjasamanya dengan Mr. Abendanon, tulisan-tulisan Kartini diterbitkan pada tahun 1911 dan membentuk perhimpunan Kartinifonds di Den Haag, yang bermaksud untuk mendirikan dan membantu anak-anak perempuan. Pada tahun 1913, didirikan sekolah Kartini yang pertama di Semarang.
Dalam catatannya pada pada 25 Mei 1899, Kartini menulis kepada Nona Zehandelaar (paragraf kedua), “bila boleh oleh adat lembaga negeri saya, inilah kehendak dan upaya saya, ialah menghambakan diri semata-mata kepada daya upaya dari usaha perempuan kaum muda di Eropa. Tetapi adat dan kebiasaan yang sudah berabad-abad itu, ada yang tak mudah merombaknya, membelenggu dalam genggamannya yang amat teguh. Suatu ketika akan terlepas jua kami dari genggaman itu, akan tetapi masa itu masih jauh lagi, bukan main!”. Pada tanggal 18 Agustus 1899 kartini juga menulis “bagi saya hanya dua macam bangsawan, bangsawan pikiran dan bangswan budi. Tiada yang lebih gila dan bodoh pada pandangan saya daripada melihat orang, yang membanggakan asal keturunannya itu”.
Selain menulis, Kartini adalah perempuan yang mempunyai wawasan yang sangat luas dengan membaca buku-buku yang sangat beragam dan surat kabar, termasuk majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Diantara buku yang dibaca Kartini adalah Max Havelaar Karya Multatuli. Pada umur 16 tahun, Kartini menulis esai dengan mengunakan Bahasa Belanda tentang Upacara Perkawinan pada Suku Koja.
Hingga sekarang, dalam setiap gerakan perempuan, kita tidak bisa lepas dari Kartini dan tulisan-tulisan perlawanannya. Dalam novel Rumah Kaca, Pram menulis “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah”. Dan Kartini adalah salah satu bukti nyata pandangan Pram tersebut. Kita mengenang Kartini sebagai seorang yang mempunyai gagasan dan pemikiran luar biasa dari tulisan-tulisannya.
Melalui tulisan Kartini menuliskan perlawanannya terhadap apa yang menimpanya dan menyampaikan pemikirannya terkait peran perempuan dalam pendidikan dan masyarakat. Menulis sebagai bentuk perlawanan menunjukan kematangan dalam menelurkan ide dan gagasan, membentuk kita berpikir kritis, sistematis dan analitis. Contoh perlawanan melalui tulisan juga banyak dilakukan oleh tokoh-tokoh perempuan lain seperti Rohana Kudus yang mendirikan surat kabar Sunting Melayu pada tahun 1912. Melalui tulisannya, Rohana Kudus menuliskan gagasan dan pemikirannya kepada pembaca.
Perjuangan yang dilakukan Kartini sejatinya tidak hanya bermanfaat bagi dirinya rpibadi, melainkan bagi perempuan lain dan masyarakat itu sendiri. Melalui tulisannya, Kartini berhak untuk diabadikan dalam setiap usaha-usaha meningkatkan martabat perempuan.
Comments