Penulis : Suwanto
Perusakan masjid Ahmadiyah di Kabupaten Sintang Kalimantan Barat pada Jum’at (3/9) oleh ratusan orang adalah salah contoh nyata tindakan intoleransi yang wajib kita kikis. Dan berbicara mengenai tindakan intoleransi ini, strategi pemberantasannya tentu bukan soal penanganan, tetapi juga mengenai upaya pencegahan. Salah satu strategi utama menangkal tindakan intoleransi adalah dengan membumikan pendidikan multicultural sejak dini baik di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Tipologi masyarakat Indonesia merupakan masyarakat multikultural, sehingga bangsa ini membutuhkan pendidikan yang mampu mengakomodasi beragam kebudayaan. Oleh karenanya, kehadiran pendidikan multikultural sangatlah penting di negara bhinneka ini. Pendidikan multikultural merupakan bentuk pendidikan yang menerapkan strategi dan konsep berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, seperti keragaman teknis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan umur, dan ras. Dan yang terpenting bertujuan untuk meningkatkan kesadaran peserta didik agar berperilaku humanis, pluralis, dan demokratis (Mania, 2010).
Kita juga tahu bahwa pendidikan multikultural ini sangat strategis dalam mengikis intoleransi. Kasus perusakan Masjid Ahmadiyah bukanlah contoh satu-satunya berkaitan tindakan intoleransi. Masih terekam peristiwa perusakan Masjid Al-Kautsar di Kendal Jawa Tengah (2016); perusakan masjid oleh anggota FPI (2012); pembakaran 14 rumah, 1 masjid dan 1 musholla hancur terbakar di Dusun Sambielen, Lombok, Nusa Tenggara Barat (2001); serta pembakaran 5 rumah, 1 Masjid dan 1 Musholla milik JAI di Keruak, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (1998). Belum lagi masih banyak fenomena konflik etnis, sosial budaya, yang kerap muncul di kalangan masyarakat Indonesia.
Adapun ada beberapa karakteristik dan hal-hal prinsip yang patut kita pahami terkait dengan penerapan pendidikan multikultural ini. Pertama, belajar hidup dalam perbedaan. Dalam hal ini diperlukan pilar strategis di antaranya belajar saling menghargai akan perbedaan, sehingga akan terbangun relasi antara personal dan intra-personal. Kondisi di sekolah umum yang notabene warga sekolahnya sangat beragam suku, agama, dan budaya dituntut untuk seluruh elemen warga sekolah belajar saling menghargai dan menghormati, termasuk dalam kegiatan persekolahan ataupun pembelajaran.
Kedua, membangun mutual trust (salingpercaya), mutual understanding (saling pengertian),dan mutual respect (saling menghargai). Tiga hal ini sebagai konsekuensi logis akan kemajemukan dan kehegemonikan, maka diperlukan pendidikan yang berorientasi kepada kebersamaan dan penanaman sikap toleran, demokratis, serta kesetaraan hak. Dan salah satu terobosan yang kiranya mampu menjadi jawabannya adalah dengan adanya penerapan pendidikan multkultural di sekolah-sekolah.
Ketiga, terbuka dalam berpikir. Pendidikan seyogyanya memberi pengetahuan baru tentang bagaimana berpikir dan bertindak, bahkan mengadopsi dan beradaptasi terhadap kultur baru yang berbeda, kemudian direspons dengan fikiran terbuka dan tidak terkesan eksklusif. Itu artinya, sekolah wajib memberikan wadah seluas-luasnya bagi semua suku, agama, dan budaya dengan asas inklusifnya (terbuka). Ini juga selaras dengan apa yang disebut dengan merdeka belajar.
Selanjutnya keempat, apresiasi dan interdependensi. Karakteristik ini mengedepankan tatanan sosial yang peduli, di mana semua anggota masyarakat dapat saling mewujudkan apresiasi dan memelihara relasi, keterikatan, kohesi, dan keterkaitan sosial yang rekat. Karena bagaimanapun juga manusia tidak bisa survive tanpa ikatan sosial yang dinamis.
Kelima, resolusi konflik dan rekonsiliasi nirkekerasan. Konflik dalam berbagai hal harus dihindari, dan pendidikan harus memfungsikan diri sebagai satu cara dalam resolusi konflik. Adapun resolusi konflik belum cukup tanpa rekonsiliasi, yakni upaya pendamaian melalui sarana pengampunan atau memaafkan.
Oleh karena itu, pendidikan yang kini dibutuhkan bangsa Indonesia yang multikultural adalah pendidikan yang memberikan peran sebagai media transformasi budaya (transformation of culture) dan transformasi pengetahuan (transformation of knowledge). Mengingat selama ini pendidikan di Indonesia lebih cenderung berorientasi hanya pada peranannya sebagai media trasformasi pengetahuan saja.
Melalui pendidikan multikultural, peserta didik yang datang dari berbagai golongan penduduk dididik untuk saling mengenal agama, budaya, cara hidup, adat istiadat, dan kebiasaan yang berbeda. Dengan mengajarkan pendidikan multikultural, para peserta didik sedini mungkin dibimbing untuk memahami makna Bhinneka Tunggal Ika serta mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Harapannya ke depan kasus-kasus intoleransi lenyap di bumi pertiwi ini, semoga.
Sumber : Jalandamai.org
Comments