Baru-baru kembali lagi terjadi penghancuran rumah ibadah di Indonesia. Kali ini kembali yang menjadi sasaran adalah jemaah Ahmadiyah. Masjid Ahmadiyah di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat diserang oleh sekitar 200 orang pada Jumat (3/9/2021). Akibatnya, bangunan masjid rusah dan satu bangunan di belakangnya dibakar.

Foto by CNN Indonesia

Di sejumlah negara muncul tuntutan agar penganut Ahmadiyah tidak mendefinisikan diri mereka sebagai Muslim. Di Pakistan bahkan tidak hanya sebatas tuntutan, tetapi sudah dalam bentuk larangan dengan ancaman pidana.

Tapi apakah Ahmadi non-Muslim?

“Tidak mungkin mereka disebut dengan agama yang bukan Islam, misalnya mereka disuruh mengambil nama lain. Karena praktik agama mereka adalah Islam,” papar dosen teologi di Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Profesor DR. Qasim Mathar.

“Masjid dan cara sembahyang mereka itu Islam. Mereka puasa bulan Ramadan, mereka pergi haji juga, dan seterusnya.”

Sebagaimana yang dilaporkan oleh reporter BBC Indonesia pada tahun 2018 yang lalu.

Hanya, ditandaskannya, “Kita harus mengerti bahwa pada setiap kelompok mazhab atau aliran Islam, selalu saja ada kelompok ekstrem di dalamnya yang merugikan mazhab itu sendiri.”

Intelektual muda Nahdlatul Ulama, Zuhairi Misrawi, dalam pengantar buku Ahmadiyah Menggugat! mengatakan biasanya mereka yang sering menyudutkan Ahmadiyah cenderung abai bahwa sebagai bagian dari umat Islam, Ahmadiyah sudah memenuhi prasyarat utama sebagai umat Nabi Muhammad SAW.

“Indikatornya, jemaat Ahmadiyah telah melaksanakan Rukun Iman dan Rukun Islam secara sempurna,” tandasnya.

Merujuk pada sabda Nabi Muhammad SAW sebagai salah satu landasan keyakinan keislamannya, juru bicara Jemaah Ahmadiyah Indonesia, Yendra Budiandra menjelaskan bahwa Muslim Ahmadiyah bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan mengakui Muhammad adalah Utusan Allah, menunaikan kewajiban salat, memberikan zakat, berpuasa di bulan Ramadan, dan juga menunaikan ibadah haji.

Di atas adalah kriteria Islam menurut pembawa ajaran Islam Yang Mulia Nabi Muhammad SAW, kami Muslim Ahmadiyah persis sama mengikuti dan mengimani kriteria tersebut baik dari syahadat, Rukun Iman, Rukun Islam dan Kitab Suci Alquran,” tegasnya.

Lagi-lagi karena perbedaan keyakinan soal kenabian, Rabithah Alam al Islami, Liga Muslim Dunia yang berpengaruh, pada tahun 1974 menyatakan Ahmadiyah bukan Muslim.

Langkah serupa ditempuh oleh Akademi Fiqh Islam di Organisasi Konferensi Islam (OKI) -yang kini dikenal dengan Organisasi Kerja Sama Islam- ketika pada tahun 1985 menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sesudah Nabi Muhammad dan menerima wahyu adalah murtad dan keluar dari Islam.

Meskipun pada awalnya Ahmadiyah relatif dapat diterima oleh umat Islam di Indonesia, para ulama terang-terangan tidak menyukai Ahmadiyah setelah organisasi Rabithah Alam al Islami menyatakan Ahmadiyah bukan Muslim.

Maka Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa sesat terhadap Ahmadiyah pada tahun 1980 yang kemudian diperkuat dengan fatwa lagi pada tahun 2005 ,yang berisi bahwa Ahmadiyah merupakan aliran sesat, menyesatkan dan sudah keluar dari Islam.

Gelombang protes dan fatwa MUI juga menuntut agar Ahmadiyah dibubarkan meskipun gerakan itu sahih sebagai organisasi. Basis-basis Ahmadiyah marak menjadi sasaran, termasuk rumah pribadi, tempat ibadah dan bahkan banyak pula Ahmadi yang mendapat serangan fisik. Imbas dari fatwa MUI dituding memicu ‘kekerasan’ atas nama agama.

Pada tahun 2018 Mahkamah Konstitusi tengah menangani gugatan atas Undang-Undang Penodaan Agama tahun 1965, yang diajukan oleh sembilan anggota Jemaah Ahmadiyah Indonesia. Namun Mahkamah Konstitusi (MK) menolak perkara pengujian Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama juncto Undang-undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-undang terhadap UUD 1945. Uji materi tersebut diajukan oleh sejumlah anggota Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI).

Dalam permohonannya, beberapa jamaah Ahmadiyah menyatakan frasa penodaan agama dalam pasal 1, 2, dan 3 UU Nomor 1/PNPS/1965 bersifat multitafsir. Akibatnya, frasa tersebut seringkali dimanfaatkan untuk menutup rumah-rumah ibadah Ahmadiyah. Hal tersebut pun dipandang bertentangan dengan UUD 1945 dan bersifat inkonstitusional. 

Sejumlah pasal dalam peraturan itu, kata mereka, bisa ditafsirkan sangat luas tapi malangnya, menjadi landasan dari Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri tentang Ahmadiyah. SKB tersebut dijadikan dasar bagi pembuatan aturan-aturan pemerintah daerah yang dianggap mempersekusi Ahmadiyah.

“Melainkan pada makin meluasnya tindakan main hakim sendiri atau persekusi terhadap seseorang atau sekelompok orang lainnya dinilai melanggar Pasal 1 UU 1/PNPS/1965, termasuk para pemohon,” ujar Hakim MK Wahiduddin Adams.

Selain itu, Mahkamah juga memandang, pokok permasalahan bukanlah pada pasal 1, 2, dan 3 UU Nomor 1/PNPS/1965. Namun, masalah terjadi pada pembuatan aturan turunannya, antara lain Surat Keputusan Bersama atau Peraturan Daerah.

Apa yang menimpa Ahmadiyah di Indonesia, menurut sejumlah lembaga HAM, tergolong persekusi sebab terjadi di banyak tempat dan berulang-ulang.

Pada akhirnya ketika undang-undang tidak dipahami secara menyeluruh oleh pemegang kebijakan baik di pusat maupun daerah yang nantinya akan mengeluarkan peraturan turunan dari undang-undang itu sendiri maka tindakan persekusi akan selalu terjadi. Hal ini diakibatkan oleh mudahnya masyarakat terpancing dengan hal yang sifatnya provokasi. Terutama provokasi yang sifatnya keagamaan atau kepercayaan.

Suka atau tidak suka Ahmadiyah tetaplah bagian dari Islam walaupun ada beberapa perbedaan dalam menjalankan ajaran Islam itu sendiri namun ketika masyarakat memandang perbedaan adalah sesuatu yang harus dihancurkan maka artinya masyarakat itu sebenarnya sudah hancurkan dalam beragama. Anda boleh mengaku beragama Islam namun ketika anda menghancurkan keyakinan orang lain pada dasarnya anda telah menghancurkan Islam itu sendiri tanpa anda sadari.

Jika anda yakin ajaran Ahmadiyah yang berkaitan dengan keyakinan bahwa ada nabi selain 25 nabi dan rasul yang wajib di yakini adalah salah. Seharusnya anda luruskan mereka dengan lemah lembut dan penuh kesopanan secara terus menerus. Namun ketika anda telah tidak sanggup lagi yakinlah masih ada orang lain lagi yang akan melakukan hal yang sama untuk menasehati mereka. Jika tidak ada dan anda telah menyerahkan untuk berbuat maka hormatilah apa yang menjadi keyakinan mereka. Tanpa merusak tempat ibadah mereka tanpa mempersekusi mereka, tanpa mencibir, menghardik atau menyiksa mereka. Karena Islam mengajarkan kasih sayang dan semua agama juga melakukan hal yang sama.

Gusveri Handiko
Blogger Duta Damai Sumbar Tamatan Universitas Andalas Padang Menulis Adalah Salah Satu Cara Untuk Berbuat Baik

    Bagaimana Cara Merangkul Sebuah Keberagaman Di Indonesia?

    Previous article

    Lima Strategi Mengikis Intoleransi dengan Pendidikan Multikultural

    Next article

    You may also like

    Comments

    Leave a reply

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    More in Edukasi