Oleh : Harfani
Peneliti di Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Bukittinggi

Sumber Gambar : Media Indonesia

“Pemilu bukan hanya satu- satunya instrumen demokrasi. Pemilu harus didukung oleh instrumen lainnya dan mengatur guna mendorong komunikasi dan kerjasama. Namun, pemilu tetaplah merupakan instrumen demokrasi yang utama. Pemilu mengklaim membentuk sistem yang memaksa atau mendorong pembuat undang-undang agar memperhatikan aspirasi rakyatnya. Konsensus kolektif menghendaki pemilu yang kompetitif, lebih dari sekedar fungsi lainnya, akan melahirkan negara yang memiliki sistem politik demokratis.”- Bingham powell JR
Setelah Soekarno memproklamirkan Demokrasi Terpimpin dan kemudian menjadikan dirinya sebagai “Presiden Seumur Hidup”, maka menurut kriteria demokrasi, Indonesia bergerak menjadi negara yang non-demokratis (otoritarian). Transisi dari Soekarno ke Soeharto adalah transisi dari otoritarianisme ke demokrasi melalui jalan modernisasi (pembangunan). Pada era Soeharto di kenal dengan konsep demokrasi pancasila yang menggunakan instrumen-instrumen demokrasi bercirikan pola yang tetap, misalnya pemilihan umum mulai dapat dilakukan secara rutin satu kali lima tahun
. Lembaga legislatif, yudikatif, eksekutif dikembangkan. Partai politik berkembang. Media massa tumbuh. Namun, semua dalam koridor yang cukup sempit. Dengan tetap melaksanakan Visi utama pemerintahan Orde Baru dengan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Walaupun demikian pelaksanaan demokrasi Pancasila masih jauh dari harapan rakyat indonesia
Perjalanan transisi demokrasi pasca Pemerintahan Soeharto yang digantikan oleh BJ Habibie antara lain ditandai dengan dibahasnya paket undang-undang (UU) bidang politik yang menghasilkan UU Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, UU Nomor 3 Tahun1999 tentang Pemilu, dan UU Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Upaya tersebut mengarah pada terciptanya sebuah sistem politik yang lebih demokratis dibandingkan masa sebelumnya, seperti tumbuh dan terbentuknya Partai politik (Parpol) yang diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 1999 karena adanya kebebasan warga negara untuk mendirikan Parpol. Hasilnya sekitar 141 parpol berdiri dan terdaftar di departemen kehakiman, meskipun pada akhirnya hanya 48 parpol yang menjadi peserta Pemilu 1999. Sementara itu, UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu tetap menggunakan sistem Pemilu perwakilan berimbang (proportional representation) atau sistem proporsional.

Pemilu di tengah arus reformasi
Pemilu 1999 merupakan pemilu pertama pada masa reformasi yang menggunakan sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan asas Luber Jurdil. Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998, jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan publik, Pemilu segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti. Pada 29 Januari 1999, sekitar 6 bulan setelah Tim Tujuh merampungkan rancangannya, DPR mengesahkan 3 UU, yakni UU Nomor 2 Tahun 1999 tentang partai politik, UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu, dan UU Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR/DPR/DPRD. Tidak semua usulan Tim Tujuh dipenuhi DPR, tetapi 3 UU ini memberikan keleluasaan bagi siapa pun untuk mendirikan parpol. Pemilu tak dibatasi hanya boleh diikuti PDI, PPP, dan Golkar seperti di zaman Orde Baru.
Demi keperluan itu, Pemerintah dalam hal ini Departemen Dalam Negeri, dengan segala keterbatasan legitimasinya, membentuk Panitia Persiapan Pembentukan Komisi Pemilihan Umum (P3KPU) yang terdiri atas 11 orang, sehingga dikenal dengan Tim Sebelas.Tim terdiri atas Nurcholis Madjid (yang ditunjuk sebagai ketua tim), Adnan Buyung Nasution (wakil ketua), Adi Andojo Soetjipto (wakil ketua), Andi A. Malarangeng (sekretaris), Rama Pratama (wakil sekretaris), dan anggota-anggota Afan Gaffar, Mulyana W.Kusumah, Miriam Budiarjo, Kastorius Sinaga, Eep Saifullah Fatah dan Anas Urbaningrum. Salah satu tugas yang diemban tim ini adalah melakukan verifikasi Partai politik.
Dalam waktu hanya 5 bulan sejak menjelang berhentinya Soeharto sampai memasuki masa awal reformasi, partai politik baru bermunculan. Semakin mendekati pelaksanaan pemilihan umum, rakyat Indonesia tampak semakin semangat mendirikan partai politik. Data pada Litbang Kompas mencatat, hingga april 1999, terdapat 181 partai politik, 141 di antaranya tercatat di dalam Lembar Negara dan memperoleh pengesahan dari Departemen Kehakiman yang berarti sah sebagai partai politik. Sesuai dengan UU No. 2 tahun 1999 tentang Partai Politik, pendirian partai politik harus didaftarkan ke Departemen Kehakiman.
Kala itu, jumlah pemilih yang ikut Pemilu mencapai 105.786.661 suara. Jumlah ini nantinya akan dibagi sesuai dengan total 462 kursi di parlemen. Setelah penghitungan, ada 18 partai politik yang masuk ke parlemen. Hasil pembagian itu menunjukkan, lima partai besar memborong 417 kursi DPR atau 90,26 persen dari 462 kursi yang diperebutkan. Sebagai pemenangnya adalah PDI-P yang meraih 35.689.073 suara atau 33,74 persen dengan perolehan 153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44 persen sehingga mendapatkan 120 kursi atau kehilangan 205 kursi dibanding Pemilu 1997. PKB dengan 13.336.982 suara atau 12,61 persen, mendapatkan 51 kursi. PPP dengan 11.329.905 suara atau 10,71 persen, mendapatkan 58 kursi atau kehilangan 31 kursi dibanding Pemilu 1997. PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen, mendapatkan 34 kursi. Hasil-hasil pada Pemilu 1999 yang membuat KH. Abdurrahman wahid dari partai PKB menjadi presiden terpilih dengan 53,28% dan megawati soekarno putri dari partai PDI-P sebagai wakil presiden terpilih 44,72% kemudian menghasilkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan adalah partai politik terkuat. Partai Golkar secara mengejutkan masih tetap kuat berada di pencapaian posisi kedua, meskipun dari sisi jumlah pemilihnya menunjukkan penurunan yang sangat signifikan dibandingan pencapaian pemilu zaman Orde Baru. Partai Persatuan Pembangun (PPP) yang merupakan partai lama juga berhasil menempati posisi ketiga dan diikuti oleh Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Keadilan (PK)

Konsolidasi demokrasi, sebuah jalan tempuh menuju demokrasi yang di inginkan
Syarat terjadinya transisi demokratis, menurut Huntington (1991), adalah: a) berakhirnya rezim authoritarian; b) munculnya pemerintahan demokratis; dan c) adanya konsolidasi demokrasi. Dua syarat pertama itu telah terjadi di Indonesia, yaitu (a) berakhirnya rezim otoriter yang ditandai oleh jatuhnya pemerintahan Soeharto pada 21 Mei 1998 kemudian digeser kepada B.J. Habibie, dan (b) munculnya Pemerintahan demokratis yang ditandai dengan dilantiknya Abdurrahman Wahid sebagai presiden RI melalui hasil Pemilu demokratis tahun 1999. Sedangkan, syarat ketiga tentang tahap konsolidasi demokrasi masih menjadi perdebatan di kalangan pengamat politik. Sebagian besar pengamat menganggap sampai saat ini Indonesia belum mengalami konsolidasi demokrasi. Konsolidasi demokrasi merupakan stabilitas dan ketahanan demokrasi (O’Donnell, 1993). Walaupun setelah pemilu 1999 terpilih KH Abdurrahman Wahid menjadi presiden lalu di ganti dengan Megawati Soekarno Putri menjadi presiden di lanjutkan Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden Pada pemilu 2004 dan 2009 dan joko widodo pada Pemilu 2014 dan 2019. Cita-cita konsolidasi demokrasi terus menjadi tujuan mulia untuk demokrasi bangsa ini
Kemudian Samuel P. Huntington (1991) pernah mencatat bahwa era transisi mestinya berakhir setelah ada dua kali Pemilu berkala yang demokratis, di mana Pemilu
-Pemilu tersebut mengantarkan suatu rezim demokratis, yang bekerja atas dasar konstitusi yang demokratis pula. Apabila merujuk pada hal tersebut kita lihat di indonesia sudah lebih dari 2 kali menyelenggarakan Pemilu pasca Orde baru yaitu pada 1999, 2004, 2009, 2014 dan 2019 . Dari perjalanan demokrasi ini indonesia sudah melewati era transisi akan tetapi belum mencapai era konsolidasi demokrasi. Menurut
M. Alfan Alfian (2009) ada beberapa catatan yang meragukannya. Pertama, aturan main dan teknis pemilu masih berubah-ubah. DPR menyetujui Undang-Undang tentang Pemilu, lantas MK “merevisinya”, dan pemerintah pun belakangan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU) tentang Pemilu.
Melihat dari fenomena demikian, sepertinya tidak ada proses penguatan atas electoral law oleh Pemerintah, yang ada selalu berubah dan perubahan itu membawa ekses yang mengganggu proses konsolidasi demokrasi. Kedua, proses demokrasi kita juga belum mengarah pada penguatan kelembagaan (institusi) partai-partai politik, yang terjadi justru deinstitusionalisasi dan pragmatisme partai politik. Mestinya partai bukan semata-mata untuk arena “main-main” para “petualang politik”. Oleh sebab itulah, proses demokrasi di Indonesia masih berada dalam wilayah unconsolidated democracy. Sparringa (2009) menuturkan bahwa era konsolidasi demokrasi justru sudah dimulai sejak 10 tahun terakhir. Konsolidasi sama dengan masa transisi yang menurut ukuran progresif, berlangsung dua tahun. Adapun dalam ukuran konservatif lamanya sekitar 10 tahun. Dengan perhitungan tersebut, setelah tahun 2009 Indonesia seharusnya sudah dapat memetik buah dari demokrasi yang dijalankan selama ini. Namun, hal itu sepertinya belum dapat terwujud karena Parpol masih butuh waktu lebih lama lagi untuk mengonsolidasikan dirinya. Masih belum berhasilnya konsolidasi parpol selama ini, antara lain terlihat dari kualitas parlemen di Indonesia. Parlemen dibangun dari dua unsur, yaitu Pemilu dan Parpol. Dalam 10 tahun terakhir, pemilu sudah berjalan demokratis. Namun, representasi dan akuntabilitas parlemen masih jauh dari harapan, yang antara lain terlihat dari maraknya korupsi dan lemahnya penegakan hukum di lembaga itu. Kondisi itu semakin diperparah oleh tiadanya pemimpin nasional yang kuat untuk segera mengakhiri era transisi Indonesia.
Pengukuhan demokrasi melalui transisi demokrasi, instalansi demokrasi dan konsolidasi demokrasi menjadi harapan rakyat Indonesia untuk mengembangkan sistem demokratis secara baik yang berdasarkan pada kemajemukkan negeri, kultur yang banyak, keragaman suku dan banyaknya agama. Namun, sampai saat ini ada beberapa kendala untuk mencapai hal itu. Masalah paling mendasar yang dihadapi pasca transisi adalah sejauh mana kesanggupan rezim pasca otoritarian membangun (instalasi) demokrasi yang ujungnya bermuara pada konsolidasi demokrasi. Instalasi demokrasi di Indonesia dimulai setelah melewati perancangan UU pemilu, Pemilu yang demokratis dan Sidang Umum MPR 1999 hingga pemilu 2019.

Daya tahan transisi demokrasi yang terus di uji
Di indonesia Pemilu menjadi salah satu penyumbang instrumen demokrasi bagi seluruh proses politik di indonesia, tanpa Pemilu bangsa kita tidak akan bisa mengenal dan menerapkan indentitas demokrasi secara hakiki, menyampaikan aspirasi secara hak kemudian pemilu adalah peristiwa penting bagi negara Indonesia untuk belajar menjadi bangsa yang demokratis Besarnya jasa presiden BJ Habibie pada tahun 1999 membangun fase instalasi demokrasi dan fase konsolidasi demokrasi yang menginginkan terciptanya free and fair, terciptanya manajamen Pemilu yang bagus, terciptanya investasi demokrasi dan tercipta demokrasi yang ber integritas membuat indonesia terus maju menguatkan demokrasinya
Dari pemilu 1999 hingga pemilu 2004 bangsa Indonesia telah menunjukkan tingkat partisipasi rakyatnya dalam berdemokrasi, dari kedua tahun pemilu tersebut indonesia masih berada pada dalam political gray zone (zona politik abu-abu). Dalam konteks political gray zone, seorang peneliti dari Carnegie Endowment for International Peace, Thomas Carothers, sebagaimana dikutip Bara Hasibuan, bahwa negara dalam zona abu-abu ini menganut sindrom feckless pluralism yang berarti, bahwa walaupun di permukaan negara ini kelihatan demokratis, namun di dalamnya kualitas kehidupan politiknya ternyata tidak baik.
Krisis ekonomi global yang terjadi pada tahun 2009 tidak menyurutkan pelaksanaan Pemilu 2009 ada beberapa permasalahan yang terjadi ditandai dengan buruknya manajemen pemilu oleh KPU. Mahkamah Konstitusi sendiri menyebut penyelenggara Pemilu telah bertindak tidak profesional. Pelaksanaan Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD 2009 (Pemilu 2009) menuai banyak kritik. Kritik berkaitan dengan ketidaksiapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) baik sebagai penyelenggara maupun dalam menerapkan aturan Pemilu 2009 secara konsisten. Yang membuat kita amat prihatin adalah buruknya kinerja penyelenggaraan Pemilu tersebut dipertontonkan secara konsisten dari semenjak masa-masa awal pelaksanaan Pemilu hingga ke tahapan akhir pada penetapan hasil, yakni tatkala penetapan hasil pemilu legislatif tertunda-tunda dan senantiasa berubah-ubah, sebagai akibat adanya perbedaan penafsiran mengenai penetapan pembagian kursi.
Perselisihan hasil Pemilu menyangkut konversi suara menjadi kursi dan penentuan kursi anggota DPR tersebut berpuncak pada terbitnya Putusan Mahkamah Agung Nomor: 15P/HUM/2009 yang membatalkan Keputusan KPU Nomor 259 dan 256 tentang Penghitungan Kursi dan Penetapan Anggota DPR, DPD dan DPRD. Sebelum itu, pada tahapan awal kita telah menyaksikan bagaimana kritik yang tajam yang beberapa kali menerpa KPU menyangkut masalah carut-marutnya Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Pada Pemilu 2014 ada beberapa kejadian tidak bisa dihindari terjadi saat proses pelaksanaannya, seperti Pertama, Beredarnya informasi yang negatif dan tidak valid pada lawan pasangan calon. Fitnah yang berisi isu Suku, Agama, Ras, Antar Golongan (SARA) intensitasnya meningkat pada saat kampanye. Kasus tabloid “Obor Rakyat” yang isinya mendeskriditkan salah satu pasagan calon. Kedua, Klaim dari parpol terhadap daftar pemilih tetap (DPT) yang bermasalah. Selain itu berdasarkan pemberitaan dan isu di sosial media, banyak WNI di luar negeri tidak bisa menggunakan hak pilihnya, disamping panitia pemilihan juga dinilai tidak netral dan berpihak pada

salah satu pasangan kandidat. Ketiga, dari sisi media massa, didapati keberpihakan pemilik dan pengurus media, khususnya televisi kepada salah satu kandidat
Kita lihat dari proses Pemilu 2019 yang merupakan pemilu yang di laksakan yang ke 13 kali, berdasarkan “Catatan Awal Penyelenggaraan Pemilu 2019” yang di terbitkan oleh PERLUDEM di antara : (1) keterwakilan perempuan di dalam pemilu 2019 melalui pencalonan di partai politik yang masih tertutup, belum sepenuhnya demokratis. (2) isu terkait dengan nomor urut caleg. Hasil Pemilu 2009 dan 2014 menunjukkan bahwa 60% anggota legislative terpilih adalah mereka yang bernomor urut 1. Artinya, nomor urut kecil masih sangat berpengaruh terhadap keterpilihan calon, terutama dari sudut pandang pemilih. (3) ketidakjujuran peserta pemilu di dalam melaporkan dana kampanye. (4) masih cukup tingginya angka pemilih yang toleran terhadap politik uang.
Kemudian pasca pemilu 2019 iklim demokrasi di Indonesia mengalami guncangan, bayangkan tersiar berita bahwa Pemilu dan Pemilihan akan diundur dari tahun 2024 ke tahun 2027, yang bersumber dari cnnindonesia.com tayang tanggal 23 Juni 2020, kemudian berita ini pun di klarifikasi oleh KPU RI. Wacana pemunduran pelaksanaan Pemilu dan Pemilihan di tahun 2027 adalah respon kondisi saat itu (Juni 2020) dimana tengah muncul usulan revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan. Pada poin selanjutnya, juga disampaikan bahwa KPU RI melalui Ilham Saputra yang pada saat itu menjabat sebagai anggota KPU RI juga telah menyampaikan klarifikasi kepada media massa bahwa sesuai UU Pemilu dan Pemilihan dilaksanakan di tahun 2024.
Semua hal yang diperdebatkan dan yang disanksikan pada akhirnya akan bermuara pada
tujuan akhir yaitu terbangunnya sebuah perubahan untuk memperoleh penyelenggaraan pemilu yang berkeadilan agar terbentuknya pemerintahan yang baik dan demokrasi yang baik dan berharap demokrasi di indonesia menjadi “the will of the people and the common good” kehendak rakyat dan kebaikan bersama” (Joseph Schumpeter).

Harfani, sekarang sedang melanjutkan pendidikan S2 Magister jurusan Ekonomi Syariah di IAIN Bukittinggi , selesai kuliah S1 pada tahun 2014 di STAIN Sjech M. Djamil DJambek Bukittinggi terus menguatkan pemikiran dan passion pada sektor ekonomi, sosial, politik, demokrasi dan HAM. Kemudian mengabdikan diri pada dunia pemberdayagunaan potensi manusia di ruang-ruang yang membutuhkan perubahan. Masih terus belajar menulis dan menciptakan narasi yang berbeda dengan orang lain. Memiliki motto hidup “in solitude in revolution” silahkan kunjungi blog pribadi harfanisme.wordpress.com untuk melihat dan membaca pemikiran saya.

dutadamaisumbar

BNPT DUKUNG FKPT DKI JAKARTA CEGAH INTOLERANSI MELALUI KAMPUNG PANCASILA

Previous article

Mengenal Hukuman Kebiri Kimia Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual Pada Anak

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Opini