Tulisan ini bermula ketika penulis diajak untuk berbuka puasa bersama oleh Duta Damai Sumatera Barat (DD Sumbar) yang diadakan di sekretariat yang beralamatkan di jalan Cinduamato, Lapai – Padang. Seusai berbuka, panitia berbuka puasa dari DD Sumbar memanggil satu persatu peserta berbuka ke ruangan studio yang ada di sekretariat tersebut yang katanya untuk keperluan konten. Hingga akhirnya tiba giliran penulis untuk masuk ke dalam ruangan tersebut, setelah masuk penulis di minta untuk duduk di kursi yang telah di sediakan dan langsung diajukan beberapa pertanyaan, terkait puasa. Sontak penulis bingung mengingat saat ini adalah bulan Ramadhan dimana teman-teman yang muslim sedang menjalankan ibadah puasa, dan penulis hingga kini masih ber-KTP non muslim.

“Mas Yadi, sejak umur berapa mas menjalankan ibadah puasa?” tanya panitia.

Penulis pun tersenyum, melihat penulis yang malah tersenyum panitia pun akhirnya melanjutkan pertanyaan nya,
“Ada apa mas, ada yang salah?”

Penulis pun akhirnya menjawab
“Jujur saya bingung jawabnya, mengingat KTP saya sampai saat ini masih non muslim, Tapi ada pengalaman lucu terkait puasa ini, ketika saya kelas 4 SD saat bulan Ramadhan tiba, teman-teman yang muslim melaksanakan puasa. Saya dan teman-teman non muslim berkeinginan untuk ikut serta puasa, tetapi namanya juga masih anak-anak jam 16.00 sudah tidak sanggup lagi dan akhirnya tidak jadi puasa, dan lebih lucunya lagi niat puasa dimulai jam 12.30 selepas makan siang”.

Mengetahui bahwa KTP saya berbeda, panitia yang bernama Onriza, yang ternyata adalah Koordinator DD Sumbar ini berhenti sejenak dan terlihat sedang memutar otak untuk memberikan pertanyaan selanjutnya,

“Dalam agama Buddha tentunya juga ada puasa, bagaimana puasa dalam agama Buddha? Bisakah mas berbagi pengetahuan tentang puasa dalam agama Buddha, sehingga bisa menambah wawasan kami?” Tanya Bang On, panggilan akrab koor DD Sumbar ini.

“Ok Siap, saya coba jelaskan sebatas pengetahuan saya ya”.

Penulis pun bercerita tentang bagaimana umat Buddha berpuasa;

Dalam agama Buddha, tidak ada bulan khusus untuk melakukan ibadah puasa, hanya saja umat Buddha biasanya akan berpuasa 7 hari, 15 hari atau 30 hari saat menjelang hari raya keagamaan Buddha. Puasa dalam istilah agama Buddha dikenal dengan sebutan Uposatha yang dilakukan saat hari pertama, kedelapan, kelima belas, dan kedua puluh tiga berdasarkan peredaran bulan mengelilingi bumi.

Menurut ilmu Astronomi, benda-benda langit mempengaruhi kondisi di bumi, sebagai contoh saat bulan gelap air laut mengalami kondisi surut sedangkan saat bulan purnama air laut mengalami kondisi pasang. Menurut ilmu Astrologi, benda-benda langit mempengaruhi kondisi kehidupan manusia. Mengingat bahwa kandungan air dalam tubuh manusia mencapai 60%-70% hal tersebut tentunya akan ikut mengalami pergolakan saat terjadi bulan gelap maupun bulan purnama, sehingga puasa pada hari tersebut sangat di anjurkan agar manusia bisa mengendalikan emosinya dengan baik.

Uposatha dimulai dengan sarapan pagi yang di lakukan jam 06.00, hal tersebut di latar belakangi dari petunjuk Buddha kepada para bhikkhu untuk tidak meminta dana makanan kepada umat perumah tangga sebelum matahari terbit, mengingat saat itu para perumah tangga sedang sibuk memasak dan melaksanakan berbagai aktifitas pagi. Buddha juga membatasi agar para bhikkhu tidak makan setelah jam 12.00, namun demikian masih di izinkan untuk minum, dal hal ini Buddha tahu bahwa lebih dari separuh unsur tubuh adalah air. Inilah yang kemudian di jadikan pedoman bagi umat Buddha untuk menjalankan puasa.

Hal-hal yang dilakukan saat menjalankan puasa oleh umat Buddha adalah;

  1. Berlatih untuk tidak menyakiti maupun membunuh makhluk hidup,
  2. Berlatih untuk tidak mengambil barang yang tidak diberikan,
  3. Berlatih untuk hidup suci (pada point ini suami istri pun tidak diizinkan untuk tidur dalam satu ranjang apa lagi melakukan hubungan suami-istri, )
  4. Berlatih untuk tidak berkata yang tidak benar (berbohong, memfitnah, omong kosong, kata kotor, kata kasar, mencaci-maki, dan sebagainya)
  5. Berlatih untuk tidak mengonsumsi makanan ataupun minuman yang merupakan hasil fermentasi karena dapat menyebabkan mabuk, atau hilangnya kewaspadaan,
  6. Berlatih untuk tidak makan diluar waktu yang sudah ditetapkan (Sebelum jam 06.00 dan setelah jam 12.00, biasanya juga umat akan mengkonsumsi makanan Vegetarian),
  7. Berlatih untuk tidak menyaksikan tari-tarian/pertunjukan, tidak mendengarkan musik, lagu, tidak mengenakan perhiasan maupun menggunakan wewangian/parfum.
  8. Berlatih untuk tidak duduk atau tidur di tempat yang tinggi dan mewah.

Selain berlatih tentang delapan moralitas tersebut, umat Buddha yang menjalankan ibadah puasa juga akan melakukan upacara ritual keagamaan seperti pembacaan Paritta, Sutra, Mantra, Meditasi, pelepasan satwa ke alam bebas, membersihkan lingkungan rumah ibadah, hingga memberi batuan pada fakir miskin, anak yatim, bahkan memberi persembahan dana kepada Bhikkhu.

Diakhir cerita, Bang On menyampaikan ucapan terima kasih kepada penulis karena hal tersebut dapat menambah wawasan bagi dirinya sendiri dan teman-teman yang lain.

“Terimakasih banyak atas informasinya mas, tentunya hal ini menambah wawasan dan pengetahuan saya dan teman-teman Duta Damai Sumatera Barat, tentang puasa yang dilaksanakan dalam agama Buddha” terang Bang On.

Penulis pun berterimakasih karena sudah di undang untuk ikut berbuka puasa bersama dan diberi kesempatan untuk berbagi pengetahuan tentang puasa dalam agama Buddha.

Penulis juga berpesan agar kita generasi muda penerus bangsa, dapat menghargai perbedaan agama ataupun keyakinan yang dianut oleh masyarakat Indonesia, sehingga kerukunan dan kedamaian di negeri ini dapat tercipta.

Suyadi

Jadilah Pelita

Previous article

Beragam, Beragama dan Berpuasa

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Opini