Ini hanya sebuah untaian cerita pengalaman.
Beberapa bulan lalu penulis mendapatkan tugas dari tempat kerja untuk meliput suatu peristiwa kecelakaan laut. Dimana kala itu ada sebuah kapal miniboat tenggelam di tengah perairan sudut kota Pulau Sumatera.
Diketahui, kapal yang tenggelam merupakan kapal untuk menolong komunitas pemancing. Dimana kala itu kapal dari pemancing mengalami gangguan berupa kerusakan teknis.
Penulis ditugaskan untuk mewawancarai salah satu keluarga korban (anak perempuan dari pemilik kapal) untuk menceritakan tentang bagaimana kontak atau momen terakhir dengan sang ayah pada detik-detik sebelum kejadian hingga alur proses evakuasi di mana kala itu sudah memasuki proses pencarian hari ke 4.
Dengan raut wajah sedih yang diiringi sesekali tetesan air mata, sang anak perempuan mencoba menjawab beberapa pertanyaan dari penulis dan alhasil proses wawancara berlangsung lancar tanpa adanya kendala.
Namun….
Ketika usai wawancara, sang anak itu secara tidak sengaja melihat informasi di salah satu akun media pada platfrom instagram yang mana turut memberitakan kejadian tenggelam nya kapal malang itu. Alih-alih mendapatkan perkembangan proses evakuasi, sang anak justru mendapatkan informasi yang tidak akurat (Hoax).
Dengan bederai air mata ia pun menatap mata penulis, lalu meminta agar dibantu mengklarifikasi berita yang tidak akurat itu melalui platfrom tempat penulis bekerja.
Dalam hati kecil ini bisa dirasakan bagaimana rasa sakit yang ia terima. Sudahlah nasib kondisi sang ayah yang tak kunjung ada titik terang, eh malah beredar informasi hoax tentang kejadian yang menimpanya.
Selama 2 hari berturut-turut, penulis beserta beberapa keluarga korban turut memantau update info secara langsung dari tim SAR.
Berjalannya waktu beredarlah sebuah informasi dari mulut ke mulut, yaitu berupa sebuah alat yang diduga mesin kapal di temukan oleh salah seorang nelayan di kawasan Pesisir Laut.
Mendengar itu, pihak keluarga merasa adanya harapan dan titik terang mengenai nasib kerabat mereka. Akan tetapi sangat di sayangkan ketika penulis mengkonfirmasi kembali ke koor lapangan tim SAR, ternyata informasi yang beredar itu hanya sebatas rumor dan tidak bisa di pertanggung jawabkan, bisa dibilang juga Hoax.
Sontak titik terang yang diharapkan pihak keluarga pun sirna, senyum sesaat berubah menjadi sebuah kesedihan, lagi-lagi kecewa dan luka pun dirasakan.
Dengan mata bengkak serta suara mulai serak, sang anak perempuan yang pernah penulis wawancara pun berkata :
“Kenapa kek gini kali ya ? Tolong deh untuk masyarakat dalam menyebarkan informasi itu di cerna dulu benar atau tidaknya, jangan belum ada kejelasan apa-apa udah di sebar sana-sini, kami keluarga udah sedih, capek, ditambah lagi kecewa. Itu rasanya sakit loh dan gaenak banget” ucapnya.
Senja pun datang, namun benang merah masih belumlah tampak. Pihak keluarga sudah mulai membuat beberapa rencana tentang apa yang harus mereka lakukan andaikan besoknya (hari terakhir pencarian oleh tim SAR) tidak membuahkan hasil.
Dari yang penulis tangkap, pihak keluarga berencana menyewa kapal serta meminta bantuan kepada beberapa nelayan dan pihak terkait untuk membantu melakukan pencarian secara pribadi. Ada juga niat mengadakan pengajian serta do’a bersama warga di salah satu mesjid dekat posko pencarian.
Setelah membuat beberapa rencana, anak perempuan korban dari pemilik kapal tiba-tiba menangis. Dari wajahnya tampak sudah terlihat mulai down. Ia pun berkata sembari bertanya…
“Pa, papa dimana ? bagaimana kondisi papa di tengah laut sana? Kami sekeluarga sangat rindu. Papa orang baik, niat ke laut untuk membantu teman-teman papa”
Ditengah tangisan itu, seorang pria yang merupakan kakak kandung korban mendekat sembari berkata :
“Kamu sudah letih dan capek, saatnya kita istirahat pulang , jangan lupa shalat dan berdo’a biar hatimu tenang dan mendapat kan petunjuk”.
Sepintas kata-kata itu memang terlihat biasa saja. Namun setelah penulis telusuri secara tak sengaja, ternyata sang kakak kandung ialah seorang pemeluk agama Kristen.
Mengetahui hal itu sontak penulis jadi teringat kembali semua momen-momen kebersamaan mereka dalam berkeluarga saat dilanda duka. Meski berbeda keyakinan itu tidak menjadi sebuah batasan dalam hubungan berkeluarga. Mereka tetap saling menguatkan serta saling menaruh rasa cinta, dikala menjalankan ibadah untuk mendapatkan sebuah petunjuk pun sama-sama saling mengingatkan.
Ini merupakan suatu kekaguman tersendiri bagi penulis karena disisi lain banyak keluarga yang hubungannya tidak harmonis bahkan cenderung saling benci dikarenakan salah satu saudara sedarah mereka berbeda keyakinan. Padahal sejatinya dalam silsilah kekeluargaan apapun sikap dan bentuk keyakinan, ia tetaplah merupakan bagian dari keluarga.
Sahabat damai, kira-kira apakah pelajaran atau nilai yang bisa di ambil dari rangkaian cerita penulis di atas ?
Silahkan dijawab ya !
Comments